Oleh : Siti Rima Sarinah
#Wacana - Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI resmi meluncurkan kebijakan visa rumah kedua (second home visa). Menurut Widodo Ekatjahjana sebagai pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal imigrasi, bahwa menjelang pelaksanaan KTT G20, kebijakan second home visa bertujuan untuk menarik wisatawan mancanegara datang ke Bali dan berbagai destinasi lainnya. Pasalnya, subyek second home visa adalah orang asing tertentu atau ex WNI yang ingin tinggal dan berkontribusi positif dalam perekonomian Indonesia.
Kebijakan second home visa ini sontak menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Salah satunya oleh Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi yang menganggap kebijakan tersebut sangat berbahaya dan akan mengancam stabilitas negara. Karena kebijakan ini akan berdampak pada terjadinya migrasi besar-besaran Warga Negara Asing (WNA). Pada saat PPKM saja arus deras warga China datang tanpa dikontrol, apalagi diberi second home visa (Rmol, 28/10/2022).
Pernyataan senada juga disampaikan Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat, Syahrial Nasution. Dari sudut pandang politik, kebijakan second home visa yang dikeluarkan diujung kekuasaan Presiden Jokowi dan menjelang Pemilu 2024 memunculkan kecurigaan. Ia menduga ada indikasi memanfaatkan melalui tangan kekuasaan menjelang pemilu 2024 (Rmol, 29/10/2022).
Wajar jika kemudian muncul pertanyaan adakah maksud terselubung di balik kebijakan ini. Karena seperti kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya, selalu saja menjadikan rakyat sebagai korban. Apalagi dengan kebijakan second home visa, memberikan keleluasaan bagi WNA untuk menetap 5 atau 10 tahun dengan dalih berkontribusi dalam ekonomi.
Kita tentu masih ingat serbuan warga China yang masuk ke Indonesia kala badai Covid-19 melanda negeri ini. Video kedatangan WNA China viral di dunia maya, sehingga membuat Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting angkat bicara. Jhoni mengatakan, kedatangan warga China sudah mendapatkan rekomendasi dari instansi terkait dan kedatangan mereka untuk bekerja di proyek strategis nasional (CNBC Indonesia, 09/05/2021).
Kita pun belum lupa, Covid-19 berdampak badai PHK terjadi di mana-mana. Hasil Survei Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 72.983 karyawan menjadi korban PHK akibat pandemi. Dan hasil tersebut menemukan 4.156 perusahaan yang telah melakukan PHK terhadap karyawannya, dikarenakan kondisi keuangan perusahaan tertekan akibat dampak dari pandemi covid-19 (Merdeka.com, 14/12/2021).
Hingga hari ini pun angka pengangguran di negeri ini masih tinggi. Dan bisa dipastikan angka ini akan terus meningkat seiring dengan keberadaan kebijakan second home visa. Sungguh ironis, di tengah rakyat kesulitan mendapatkan pekerjaan, pemerintah justru memberi peluang bagi warga asing untuk tinggal dan bekerja di negeri ini.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah bukan untuk kepentingan rakyat yang notabene menjadi tanggung jawabnya. Alih-alih berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, yang dilakukan malah sebaliknya yaitu menyejahterakan WNA.
Inilah potret penguasa kapitalis hari ini. Demi kepentingan politik dan kekuasaan, segala cara pun dilakukan, walaupun harus menjadikan rakyat sebagai tumbal. Hal ini juga menjadi bukti bahwa ketidakberdayaan penguasa-penguasa negeri muslim yang tunduk dan patuh terhadap apa yang diinginkan oleh negara-negara asing. Kerjasama seringkali menjadi dalih, namun nyatanya hanya menguntungkan pihak asing dan merugikan negara dan rakyat.
Negara-negara muslim tak memiliki bargaining position di hadapan Barat, sehingga mereka dengan leluasa menguasai kekayaan alam dan menekan penguasa muslim membuat kebijakan untuk kepentingan mereka. Inilah bukti nyata penjajahan yang dialami negeri-negeri muslim. Jumlahnya besar tapi tak memiliki kekuatan bak buih di tengah lautan. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme yang sukses menguasai negara-negara muslim. Penguasanya bertekuk lutut tak mampu menjaga rakyat dan negaranya dari ancaman negara-negara Barat.
Negeri muslim yang kuat, independen dan ditakuti oleh negera-negara Barat hanya tampak dalam Sistem Khilafah. Khilafah tidak akan memberikan celah kepada Barat untuk mengintervensi dan menguasai negeri muslim. Hal ini pun telah ditegaskan Allah Swt dalam firmannya, ”Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya). Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” (Al Baqarah : 120).
Adapun kebijakan second home visa, dalam Islam sangatlah berbahaya dan sama saja memberikan peluang bagi orang-orang kafir menguasai negeri muslim. Apalagi China yang terkategori muhariban fi’lan, negara yang jelas-jelas memerangi kaum muslim. Hubungan dengan negara kafir muhariban fi’lan hanyalah jihad fi sabilillah, tidak ada yang lain.
Syariat Islam telah memberikan seperangkat aturan interaksi yang boleh dilakukan dengan negara kafir, selain negara kafir muhariban fi’lan seperti China, Amerika dan negara sekutunya. Dalam buku sistem ekonomi Islam yang ditulis oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa, Khilafah mengizinkan warga negara kafir hukkam (negara kafir yang terikat perjanjian dengan Khilafah) untuk berdagang dan masuk ke wilayah negara Khilafah. Kebolehan ini karena ada keperluan untuk berdagang atau membeli barang dagangan dari wilayah negara Khilafah dan kemudian dijual kembali di negara mereka.
Dalam kondisi ini Khilafah memberi ijin dengan memberikan paspor kepada mereka. Akan tetapi apabila mereka ingin masuk tanpa ada keperluan, maka tidak akan diberi ijin. Apalagi seperti kebijakan second home visa yang membolehkan warga kafir ikut berkontribusi dalam perekonomian. Maka hal ini dilarang secara mutlak.
Karena keberadaan warga asing, apalagi yang berasal dari negara kafir muhariban fi’lan sangat berbahaya bagi Khilafah. Oleh karena itu, Khilafah akan menjaga ketat rakyat dan negaranya dari berbagai ancaman yang muncul dari negara-negara kafir. Sejarah mencatat kekuatan militer negara Khilafah terbukti mampu menggentarkan negara-negara kafir.
Tak satupun kebijakan yang diterapkan oleh Khilafah, kecuali untuk kemaslahatan rakyatnya. Karena pemimpin yang lahir dalam sistem Khilafah, adalah para penguasa yang menjadikan ketakwaan dan keimanan sebagai landasan kepemimpinan. Dan rasa takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak apabila mereka abai terhadap rakyatnya.
Dalam naungan Khilafah, semua persoalan kehidupan dapat diatasi dengan mudah, karena syariatnya berasal dari zat yang maha sempurna. Sedangkan, kapitalisme hanya sistem buatan manusia yang rusak dan merusak, memunculkan berbagai persoalan yang tak berkesudahan. Jadi, hanya Khilafah solusi umat manusia, bukan yang lain.
0 Komentar