DOMPLENGAN MODERASI BERAGAMA DALAM NARASI ISLAM WASATHIYAH


Oleh Karina Fitriani Fatimah

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
Multaqa Ulama Alquran yang digelar di Pesantren Al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta, dan berlangsung selama tiga hari yakni 15 - 17 November 2022, mengangkat tema “Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara”. Acara akbar tersebut telah melahirkan enam rekomendasi untuk metode pembelajaran Alquran berbasis perguruan tinggi dan pesantren di Indonesia, yang dalam pelaksanaannya diharuskan merujuk pada sikap wasathiyah atau jalan tengah sebagai metode berpikir, bersikap dan beraktivitas. Disebutkan dalam gelaran Multaqa Ulama bahwa esensi Islam “jalan tengah” adalah mewujudkan keberagamaan yang moderat, toleran, ramah, dan rahmah di tengah kebhinekaan Indonesia.
Dalam perkembangan narasi Islam Wasathiyah tampak jelas bagaimana ide tersebut sangat kental dengan persepsi Barat. Kata “wasath” yang sesungguhnya dinyatakan oleh at-Thabari adalah moderat dalam beragama; tidak ekstrem seperti kaum Kristen dalam beragama, yang terlalu ekstrem dalam menjadi pendeta, dan menyatakan Isa sebagaimana yang mereka katakan, Isa anak Allah; atau tidak merendahkan agama, sebagaimana kaum Yahudi merendahkan agama, dengan mengubah kitab Allah, membunuh para nabi mereka, mendustakan Tuhan mereka, dan mengingkari-Nya, justru direka ulang menjadi moderat versi penjajah.
Moderasi beragama yang merujuk pada konteks Islam Wasathiyah kini justru diartikan sebagai Islam yang mau berkompromi dengan hukum Barat, tidak “fanatik” terhadap agama (Islam) serta memberikan kebebasan yang lebih luas dalam koridor prinsip fleksibilitas fikih dan syariat Islam. Yang kemudian disebutkan bahwa umat harus kembali kepada “Islam fundamental” yang diartikan oleh para pengusung moderasi beragama sebagai upaya mengembalikan Islam hanya sebatas nilai-nilai kemanusiaan, ritual dan kebaikan. Pada akhirnya hukum-hukum Allah pun dimutilasi dan secara membabi-buta dipaksa untuk dilenyapkan dari benak umat tatkala syariat berseberangan dengan agenda sekularisasi umat.
Hakikat moderasi Islam dapat dipahami, salah satunya dari buku keluaran Rand Corporation, “Building Moderate Muslim Network” (Membangun Jaringan Muslim Moderat). Disebutkan di dalamnya bahwa muslim moderat adalah orang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi; termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM (Hak Asasi Manusia), kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum nonsektarian, serta melawan terorisme (versi Barat) dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan. Maka jelas Islam moderat tidak lain adalah “Islam” yang menerima sistem busuk demokrasi. Sebaliknya, Islam “radikal” adalah yang menolak demokrasi dan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Dari sini kita melihat bagaimana istilah moderat yang disematkan pada narasi Islam Wasathiyah adalah pemaksaan yang terlalu dibuat-buat. Menyamakan keduanya tentu akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat dan pengarusutamaan moderasi agama melalui embel-embel Islam Wasathiyah adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham atas Islam yang sesungguhnya.
Narasi moderasi agama yang saat ini selalu digaungkan atas nama Islam Wasathiyah sangatlah berbahaya, setidaknya karena empat sebab. Pertama, konsep moderasi beragama tidak memiliki akar teologis, ideologis maupun historis di dalam Islam. Kedua, bertentangan dengan Islam dari sisi esensi yang justru memutarbalikkan makna “wasath” dalam Islam sebenarnya. Ketiga, moderasi agama hanyalah alat licik Barat guna melemahkan Islam dan kaum muslim. Keempat, pada akhirnya target dari moderasi agama adalah untuk menghalangi kebangkitan Islam dan kaum musIim agar mereka tidak pernah lepas dari cengkeraman penjajahan Barat.
Lebih lanjut metode pembelajaran Alquran versi gelaran Multaqa Ulama memerlukan pelurusan visi dan misi serta pelaksanaannya yang harus dijauhkan dari agenda moderasi beragama. Karena mengadopsi Islam moderat sebagai ruh dalam kurikulum pendidikan Islam terutama dalam pembelajaran Alquran bukan hanya salah kaprah, tetapi sangat berbahaya dan menyesatkan. Celakanya pengadopsian moderasi beragama dalam pendidikan Alquran secara pasti akan menjauhkan generasi muda dari pemahaman Islam kafah yang bersumber dari Alquran dan assunnah. Terlebih dengan adanya rekomendasi Multaqa Ulama untuk menanamkan unsur kebangsaan dalam desain kurikulum pendidikan Alquran secara pasti akan semakin menajamkan benih-benih perpecahan di tubuh umat Islam.
Pasalnya konsep nation state (negara bangsa) secara nyata berhasil mencerai-berai kesatuan umat muslim seluruhnya. Atas nama nasionalisme dan kepentingan negara, bangsa Indonesia saat ini masih mengenyampingkan persatuan kaum muslim sebagai satu tubuh. Bahkan paham kebangsaan secara nyata menjadi legitimasi bagi bangsa-bangsa muslim di dunia termasuk Indonesia untuk tidak bertindak melawan kezaliman yang terjadi dalam tubuh umat. Lebih jauh nasionalisme dan politik negara bangsa menyebabkan rezim negeri-negeri muslim takluk pada kepentingan Barat dengan dasar manfaat, sekalipun harus menumpahkan darah umat di negeri-negeri muslim lainnya.
Dengan demikian kita melihat betapa mundurnya kondisi umat Islam yang telah dicekoki oleh ide moderasi beragama bersamaan dengan racun nasionalisme serta demokrasi. Pengarusutamaan konsep Islam Wasathiyah hanya menjadikan kaum muslim sebagai budak dari pemikiran-pemikiran Barat yang sesat, serta menjatuhkan derajat umat sebagai khairu ummah (umat terbaik). Bahkan celakanya, narasi moderasi beragama dengan embel-embel keislaman “wasath” (jalan tengah) kian menjauhkan kaum muslim dari cita-citanya menghidupkan kembali peradaban Islam di muka bumi serta memadamkan api semangat dalam dakwah Islam kafah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________________________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di

Posting Komentar

0 Komentar