Penulis: Zikra Asril
#ANALISIS — Pemerintah optimis capaian investasi pada 2023 akan lebih baik dibandingkan tahun ini, meski prospek ekonomi global suram. Kementerian Investasi menargetkan investasi 2023 sebesar Rp1.400 triliun, naik Rp200 triliun dari target tahun ini.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai target tersebut. Terbaru, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Investasi Inggris Lord Dominic Johnson. Melalui pertemuan itu, Bahlil mengatakan Inggris akan menjadi hub (pusat) bagi Indonesia dalam menjajaki pasar di negara-negara persemakmuran, Eropa, hingga Amerika.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan ekosistem investasi dengan percepatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menggaet minat investor. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno akan menarik sejumlah investor untuk berinvestasi pada KEK Singhasari di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Narasi investasi untuk membuka lapangan kerja menjadi mantra sistem kapitalisme bahwa dengan bekerja, rakyat bisa sejahtera. Namun, benarkah kenaikan investasi mampu meningkatkan lapangan kerja? Mampukah investasi menyejahterakan rakyat?
Investasi, Penjajahan Gaya Baru
“Jangan terlalu alergi dengan investasi,” inilah narasi yang dikemukakan pemerintah atau ekonom agar rakyat mau menerima para investor, baik asing maupun swasta. Tentu saja narasi seperti ini lahir dari sistem kapitalisme yang memandang investasi sebagai variabel penentu peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Selain itu, posisi negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator sehingga swasta menjadi pelaku utama ekonomi dan negara jadi bergantung pada investasi swasta. Akhirnya, mayoritas rakyat juga bergantung pada swasta.
Konsep inilah yang membuat swasta (korporasi) menjadi penguasa sebenarnya di negara yang menganut sistem kapitalisme. Kekuatan ini menjadikan investasi sebagai alat tawar swasta untuk menekan suatu negara.
Tidak ayal, investasi menjadi penjajahan gaya baru sistem kapitalisme pada era globalisasi. Para ekonom lupa bahwa sistem ini lahir dari asas sekularisme dan prinsip kebebasan. Para pemodal (swasta) akan bersaing dengan penuh tipu daya dan membabi buta untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.
Pemodal yang kuat akan melumpuhkan yang lemah, jadilah korporasi raksasa yang akan menguasai ekonomi dunia. Tidak heran jika kekayaan orang-orang terkaya dunia mengalahkan kekayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) suatu negara.
Atas nama investasi, kaum kapitalis menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara-negara berkembang (miskin). Demikian juga SDM-nya diiming-imingi lapangan kerja, tetapi dengan gaji murah.
Kenaikan gaji sulit bisa terealisasi karena tingginya tingkat pengangguran. Mau tidak mau, berapa pun gaji yang ditawarkan perusahaan, harus diterima daripada tidak ada penghasilan sama sekali. Di samping itu, harga-harga kebutuhan juga selalu naik. Akhirnya rakyat menjadi “sapi perah” korporasi.
Paradoks Badai PHK Saat Investasi Tinggi
Realisasi investasi pada triwulan III-2022 mencapai Rp307,8 triliun atau naik 42,1% secara tahunan dan 1,9% secara triwulanan. Investasi ini bukan hanya di Pulau Jawa, melainkan juga di luar Jawa. Artinya, seluruh wilayah Indonesia menjadi daerah menggiurkan bagi para investor.
Menteri Bahlil Lahadalia di Jakarta, Senin (24/10/2022), menyampaikan bahwa pertumbuhan tersebut terjadi salah satunya karena peningkatan jumlah investasi dari penanaman modal asing (PMA). Selama periode Juli—September 2022, investasi dari PMA mencapai Rp168,9 triliun atau tumbuh 63,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, Bahlil mengeklaim pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi dalam sejarah.
Namun, pada saat yang sama, badai PHK melanda beberapa perusahaan Indonesia. Tidak hanya startup, tercatat pula perusahaan telekomunikasi yang mengumumkan adanya PHK. Selama September 2022 saja, ada tiga perusahaan yang melakukan PHK karyawan. Jumlahnya bertambah 3 lagi pada Oktober sehingga ada 6 perusahaan yang melakukan PHK karyawannya.
Selain itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap badai PHK juga akan berdampak ke sektor bisnis garmen atau pakaian dan alas kaki. Hal itu karena kedua sektor tersebut tengah mengalami penurunan orderan hingga 50%. Apindo Jawa Barat mencatat, periode Januari sampai pertengahan Oktober 2022 terjadi PHK kepada sebanyak 73.000 karyawan. Angka tersebut belum termasuk dari perusahaan yang tidak tergabung dalam Apindo.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga mengatakan tingginya nilai investasi tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Ia membandingkan, selama Januari—September 2014 misalnya, serapan tenaga kerja dari investasi Rp343 triliun mencapai 960.336 orang, sedangkan tahun ini hanya 965.122 orang dari investasi Rp892,4 triliun.
Artinya, pemerintah telah “menipu” rakyat dengan narasi investasi untuk menciptakan lapangan kerja. Bahkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja sengaja dikebut untuk memuluskan investasi, padahal mayoritas rakyat menolaknya.
Investasi Versus Ri’ayah
Rakyat tidak butuh investasi, melainkan butuh ri’ayah (pengurusan) negara terhadap hak-hak mereka. Hak-hak itu bukan sekadar terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, atau papan (perumahan), melainkan juga hak hidup aman, sehat, mendapatkan keadilan, menuntut ilmu, serta hak untuk bahagia berkeluarga dan untuk menerapkan aturan agama secara kafah. Juga termasuk hak untuk hidup secara manusiawi (sesuai fitrah). Namun, itu tidak mungkin bisa terealisasi oleh investasi dan sistem kapitalisme sekuler.
Investasi hanya menjanjikan adanya lapangan kerja, tetapi tidak semua rakyat bisa terserap. Investasi hanya menjanjikan pekerjanya dapat gaji, tetapi tidak menjanjikan gajinya itu mampu mencukupi segala kebutuhan sandang, pangan, dan papannya. Untuk perkara ini saja, investasi tidak mampu memenuhi hak rakyat, apalagi pemenuhan hak lainnya.
Kapitalisme memang tidak memiliki konsep pemenuhan kebutuhan rakyat Individu per individu. Indikator yang dipakai hanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang dihitung secara general, sedangkan segala hak itu dibutuhkan oleh masing-masing individu.
Lantas bagaimana mungkin setiap rakyat negara ini masih berharap pada investasi bahkan kapitalisme?
Pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan korporasi; negara yang memiliki fungsi sebagai pelayan rakyat, bukan regulator. Tentu saja negara seperti ini hanya bisa ditemukan dalam sistem Islam.
Negara dalam Islam akan tunduk dalam aturan yang bersumber dari Wahyu Allah. Allah telah mengatur negara sebagai pelayan rakyat, termasuk tata cara (metode) negara untuk mampu melakukan itu semua. Mulai dari pemerincian hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, hingga sumber dana untuk pemenuhan hak tersebut.
Sumber dana itu telah diatur dalam bentuk pengelolaan harta milik umum berupa barang tambang, laut, hutan, dan milik negara (jizyah, kharaj, ganimah, dan zakat) oleh Baitulmal Khilafah secara langsung, bukan oleh investor. Negara tidak boleh menggunakan prinsip untung rugi atau beban, melainkan prinsip “rakyat adalah amanah” yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan dasar inilah negara akan menyediakan lapangan kerja bagi warga negara, baik dalam akad ijarah maupun pemberian (iqtha’) modal atau pinjaman tanpa riba dari kas Baitulmal bagi warga negara yang ingin berwirausaha. Bukan seperti saat ini yang menjadikan bank sebagai sumber pemodalan riba. Dengan demikian, rakyat akan memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya.
Untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara akan memberikan fasilitas secara gratis tanpa diskriminasi, baik muslim maupun nonmuslim, kaya maupun miskin. Semua pembiayaan itu bersumber dari kas Baitulmal, bukan dari pajak yang dipalak dari rakyat.
Khilafah akan menerapkan aturan Allah Taala secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dengan demikian, seluruh hak rakyat akan diatur secara amanah oleh negara, bukan diserahkan pada masing-masing individu rakyat.
Itu semua bisa terwujud tentu tidak lepas dari dukungan rakyat. Pemikiran dan perasaan rakyat akan satu frekuensi dengan peraturan yang diterapkan negara. Bagaimana cara menyamakan itu semua? Tidak lain akan lahir dari keimanan kepada Allah yang diyakini rakyat dan penguasa. Konsekuensi keimanan itu akan melahirkan kesadaran untuk menerapkan aturan Allah secara kafah. Itulah dasar membangun Khilafah, bukan asas sekularisme sebagaimana saat ini.
Khatimah
Narasi “investasi untuk kesejahteraan rakyat” hanyalah tipu daya kapitalisme untuk memalingkan umat dari solusi Islam. Investasi dalam sistem kapitalisme hanyalah harapan palsu untuk menyejahterakan rakyat.
Oleh karenanya, tipu daya itu harus disadari dan dilawan dengan konsep Islam. Suatu kebodohan bagi umat jika membiarkan tipu daya itu menjerat mereka. Padahal, Allah telah berjanji tipu daya itu hanya bisa dikalahkan dengan tuntunan wahyu Allah.
“Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS Ali Imran: 54) Wallahualam. [MNews/Gz]
0 Komentar