“Islam dari Arab” Bukan Islam Indonesia?
Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Menteri Agama (Menag) Gus Yaqut Cholil Qoumas kembali ramai diperbincangkan publik usai video podcast dirinya bersama Deddy Corbuzier. Pernyataan Menag di dalam wawancara tersebut yang menyebutkan bahwa Islam berasal dari tanah Arab dan umat Islam di Indonesia harus sesuai dengan budaya lokal terang saja menuai kritikan banyak pihak. Bahkan pentolan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, hingga Imam Masjid New York, Imam Shamsi Ali, turut berkomentar menolak pernyataan Gus Yaqut tersebut.
Sebelumnya, Yaqut juga pernah terlibat sejumlah kontroversi hingga dirinya menjadi bulan-bulanan warganet. Sejak dilantik pada 23 Desember 2020 dan dipercaya Presiden Jokowi menjadi Menteri Agama, ia sudah berulang kali memancing kemarahan publik. Beberapa aksi dan ucapan kontroversial Menag diantaranya adalah membuat sebuah kebijakan yang mengafirmasi hak beragama bagi kelompok sesat Syiah dan Ahmadiyah, mengusulkan doa semua agama untuk mengawali Rakernas Kemenag, memberikan ucapan selamat Hari Raya Naw Ruz 178 EB bagi komunitas Baha’i yang dianggap selama ini sebagai salah satu aliran sesat di Indonesia, membandingkan suara azan dengan gonggongan hewan, menyatakan Kemenag sebagai hadiah bagi NU (Nahdlatul Ulama) hingga kunjungannya ke Vatikan untuk bertemu dengan Paus Fransiskus.
Tidak hanya itu, Yaqut menegaskan bahwa dirinya bukanlah Menteri Agama Islam melainkan menteri untuk setiap agama yang diharuskan “adil” dan “merangkul” setiap agama dan kepercayaan bahkan yang sesat sekalipun. Dan kementrian agama diharuskan mewadahi seluruh kepercayaan yang ada di Indonesia meski kepercayaan tersebut adalah kepercayaan sesat nan jahiliyah. Lebih jauh Menag pun menyampaikan bahwa Menag adalah jabatan politik semata yang sah-sah saja untuk diduduki oleh siapapun sekalipun nonmuslim.
Anehnya, sekalipun Menag Yaqut adalah bagian dari umat Islam yang secara nyata berafiliasi dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni NU, tidak kemudian serta-merta ia berpihak kepada Islam dan umat. Terlihat dari banyaknya aksi maupun ucapan kontroversial Gus Yaqut yang justru “manis” untuk kaum nonmuslim tetapi “keras” kepada umat Islam. Bahkan tidak jarang pernyataan Menag sangatlah menyakiti hati umat yang berbenturan dengan permasalahan akidah, semisal ucapannya yang menganggap Islam berasal dari tanah Arab dan harus menyesuaikan dengan budaya setempat.
Menag Yaqut: Agen Kelas Kakap Narasi Moderasi Beragama
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Islam bukan dari Indonesia tetapi dari tanah Arab yang masuk ke Indonesia tentu saja merupakan pernyataan batil dan mungkar. Sekalipun benar bahwa keberagaam adalah hal yang alami dan kemudian melahirkan banyak budaya serta adat istiadat di dalam tubuh masyarakat, tidak serta-merta mengharuskan Islam melebur ke dalam budaya setempat. Sebaliknya justru adat istiadat dan budaya pribumi yang seharusnya menyesuaikan diri dengan hukum-hukum Allah guna menghilangkan kezaliman dan kemungkaran.
Namun sayang, Menag Yaqut dan pihak-pihak yang tengah mengarusderaskan narasi moderasi beragama senantiasa membenturkan budaya dan Islam. Pasalnya mereka beranggapan bahwa kerukunan dan kedamaian masyarakat hanya dapat diwujudkan jika umat memoderasi pemahaman dan pengamalan agama. Dimana terdapat empat indikator seseorang dikatakan memiliki pemahaman keagamaan yang moderasi, yakni (1) komitmen kebangsaan yang kuat, (2) toleransi beragama, (3) menghindari kekerasan, dan (4) penghargaan terhadap budaya lokal.
Dari sini terlihat jelas bagaimana konsep moderasi beragama memberi porsi khusus terhadap budaya dan kearifan lokal, yang tidak jarang dianggap lebih unggul dan utama dibanding dengan nilai-nilai akidah dan syariah. Para pengusung moderasi menyatakan bahwa untuk menyatukan keberagaman di negeri ini (termasuk agama dan suku bangsa) hanya dapat dilakukan dengan sikap inklusif atau terbuka. Artinya, setiap pemeluk agama termasuk Islam diharuskan terbuka terhadap agama lain dengan menganggap semua agama adalah sama dan benar atau biasa kita sebut dengan pluralisme. Padahal jelas pandangan demikian sangatlah bertentangan dengan Islam dimana Islam justru diturunkan oleh Allah Swt sebagai “furqan” (pembeda bagi yang hak dan batil) bagi budaya lokal.
Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian baik Menag Yaqut maupun para pengusung ide moderasi beragama, menyibukkan diri mereka dalam meruncingkan perbedaan antara Islam dengan budaya pribumi yang tidak jarang justru melanggar syariat Islam. Dengan dalih menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama, mereka tidak segan-segan mengobrak-abrik pemahaman Islam kafah dan berusaha keras menggantinya dengan nilai-nilai budaya ataupun nilai-nilai kebangsaan.
Waspada Upaya Pecah-belah Umat dalam Konsep Negara Bangsa
Tidak hanya membenturkan Islam dengan kearifan lokal, Menag Yaqut secara nyata melakukan dikotomi umat melalui konsep negara bangsa (nation state). Dimana tidak hanya Menag melainkan para pengusung moderasi beragama senantiasa memunculkan narasi “Islam Nusantara” yang dianggap terpisah dari Islam Arab, Islam Eropa ataupun Islam bangsa-bangsa lainnya. Mereka beranggapan bahwa Islam yang telah melebur dengan budaya Indonesia lebih luhur dan mulia dibanding dengan Islam “konvensional” yang berasal dari Tanah Arab. Maka tidak jarang mereka membuat jurang pemisah antara syariat Islam yang berdasarkan Alquran dan assunnah dengan Islam yang telah melebur dengan budaya dan adat istiadat Indonesia.
Celakanya tidak jarang para pengusung nasionalisme sekaligus moderasi beragama ini mengkotak-kotakkan syariat berdasarkan nilai kebangsaan. Sebagai contoh mereka yang menyebut kewajiban menutup aurat bagi kaum Muslimah dengan mengenakan jilbab dan khimar adalah budaya Arab semata yang tidak wajib diikuti oleh kaum Muslimah di Indonesia. Begitu pula dengan upaya monsterisasi hukum-hukum Islam terutama yang berkaitan dengan jihad, penerapan Islam kafah dan Khilafah yang dianggap oleh mereka tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Lebih parahnya lagi kini Menag Yaqut bahkan berani menyebut Islam sebagai agama pendatang dari Arab yang wajib bertekuk lutut pada budaya Indonesia, yang sejatinya justru banyak bercampur dengan pemahaman syirik yang merusak.
Padahal konsep nation state (negara bangsa) adalah ide yang sangat berbahaya. Ide busuk ini telah berhasil mencerai-berai kesatuan umat muslim seluruhnya. Atas nama nasionalisme dan kepentingan negara, bangsa Indonesia saat ini masih mengenyampingkan persatuan kaum muslim sebagai satu tubuh. Bahkan paham nasionalisme secara nyata memecah belah kaum muslim, memperlemah, bahkan menjadi legitimasi bagi bangsa-bangsa muslim di dunia termasuk Indonesia untuk tidak bertindak melawan kezaliman.
Nasionalisme menjadi penyakit yang membuat umat memandang penderitaan (dan penderitaan umat Islam) di negeri lain sebagai masalah asing yang tidak ada hubungannya dengan mereka, dan hanya bertindak jika berhubungan dengan kepentingan nasional mereka saja. Bahkan nasionalisme dan politik negara bangsa menyebabkan rezim muslim termasuk Indonesia mengusir muslim yang putus asa mencari perlindungan di tanah mereka, menolak mereka mendapat tempat perlindungan yang bermartabat dan kewarganegaraan karena mereka memandang mereka sebagai orang asing karena kebangsaan atau etnis mereka. Seperti halnya penguasa Indonesia yang mengusir pengungsi Rohingya dan menganggap mereka sebagai beban negara semata.
Dari sini kita dapat melihat dengan jelas kemunduran luar biasa yang tengah terjadi dalam tubuh umat Islam. Dimana ide moderasi beragama yang ditunjang dengan paham nasionalis telah nyata merusak keyakinan umat akan kebenaran Islam. Kedua ide busuk ini pun senantiasa menciptakan krisis identitas dan islamophobia (ketakutan terhadap Islam). Bahkan konsep moderasi menghasilkan generasi sekular dan benar-benar menghalangi dakwah Islam kafah. Yang celakanya, salah satu agen pemecah belah umat yang mengusung konsep nasionalisme dan moderasi beragama tidak lain adalah Menteri Agama yang menjabat di negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar