Penulis: Dedeh Wahidah Achmad
#FOKUS — Islamofobia terus terjadi di berbagai belahan dunia. Beberapa ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah dan dicontohkan oleh Baginda Rasulullah ﷺ, seperti jihad dan Khilafah, dituduh radikal. Aktivis dan lembaga yang memperjuangkan Islam kafah pun dikriminalkan. Bahkan, simbol-simbol yang mencerminkan ketaatan pada syariat, seperti jilbab dan jenggot, juga tidak luput dari serangan.
Penetapan 15 Maret sebagai Hari Anti-Islamofobia yang diajukan Pakistan dan dikukuhkan lewat Resolusi PBB, ternyata tidak mampu membendung arus para pembenci Islam. Klaim, tuduhan, dan ujaran kebencian terhadap ajaran Islam dan penganutnya masih bermunculan.
Fakta terbaru tampak dalam pernyataan Juru Bicara R20 dan Sekretaris Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Najib yang menyebut agama kerap menjadi sumber konflik di berbagai belahan dunia, mulai dari konflik ekstremisme, radikalisme, hingga komunal. Walhasil, menurutnya, perlu upaya transformasi agama, “Bersama-sama mentransformasikan agama menjadi inspirasi yang penting untuk solusi dunia.” (JPNN).
Tidak beda dengan PBNU, pernyataan Menag pun tidak kalah mengejutkan, bahkan tuduhan yang tidak main-main. Ia berujar, “Dahulu, agama datang kepada umat manusia untuk menghancurkan berhala. Namun kini, agama justru menjadi berhala, di mana ada umat beragama yang tidak kenal Tuhannya, meski mengaku beragama.” (Situs Kemenag).
Sepak Terjang para Pengadang Perjuangan Islam
Islamofobia bukan hanya terjadi di negeri minoritas muslim. Di negeri mayoritas muslim ini pun tidak lepas dari islamofobia. Banyak bukti yang bisa dihadirkan bahwa rezim saat ini sedang dihinggapi penyakit islamofobia.
Kampanye radikalisme, intoleransi, dan terorisme terus digaungkan berbagai pihak di negeri ini, bahkan sering kali ditujukan pada Islam dan kaum muslim. Tempat ibadah yang sering dihubungkan dengan terorisme adalah masjid. Klaim adanya ancaman penceramah radikal—sehingga perlu upaya penyaringan melalui sertifikasi—ternyata dialamatkan pada para ustaz dan dai yang menyampaikan Islam. Bukankah ini bukti bahwa rezim saat ini terserang islamofobia, serta takut pada ajaran Islam dan para pejuangnya?
Publik juga patut meragukan pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dalam peringatan Hari Santri Nasional 2022 di Kantor Kemenko Polhukam bahwa tidak ada islamofobia atau ketakutan terhadap Islam yang dilakukan oleh negara. Pernyataan ini jauh dari kenyataan. Faktanya, ajaran Islam masih menjadi sasaran serangan dan tetap dianggap ancaman sehingga harus ada upaya perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan kehidupan.
Ini sebagaimana penyampaian Menag saat membuka Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-21 di Mataram, NTB, Kamis (20/10/2022) malam. Menag menyatakan, “Rekontekstualisasi Islam sangat penting untuk diingat dan diresonansi kembali, apalagi dunia saat ini sedang di ambang kekacauan seiring dengan adanya perang, resesi global, kelangkaan energi dan pangan, serta pertentangan antaragama dan keyakinan yang masih saja terjadi.” (Antara News).
Keresahan mereka didukung temuan data-data, di antaranya hasil riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di 18 kota/kabupaten di Indonesia tentang literatur keislaman milenial. Riset menunjukkan bahwa milenial sangat berminat untuk melakukan akses terhadap literatur keagamaan. Menurut mereka, masalahnya terletak pada pilihan topik “jihad dan Khilafah” yang ternyata yang paling banyak diminati.
Temuan tersebut mengukuhkan data sebelumnya yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 yang menunjukkan fakta bahwa 59,1% pelaku terorisme berusia kurang dari 30 tahun. Kalangan muda usia 17—24 tahun menjadi sasaran utama penyebaran paham ekstremisme.
Data-data tersebut kemudian menjadi dasar Wamenag mengingatkan PMII akan pentingnya penguatan moderasi beragama dalam pemahaman teks-teks keagamaan dan kehidupan sosial kalangan mahasiswa. “Peran mahasiswa sangat penting sebagai katalisator mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ujarnya. (Situs Kemenag).
Sungguh, kebencian itu tampak dari mulut-mulut mereka, tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Apa salahnya jika milenial tertarik mempelajari ajaran agamanya seperti yang dicontohkan Nabi ﷺ?
Seharusnya, para pemimpin negeri ini merasa bangga terhadap generasi muda yang mencintai agamanya. Mereka akan tumbuh menjadi pemimpin yang amanah, peduli, dan bertanggung jawab terhadap nasib bangsa. Mereka akan membebaskan umat ini dari cengkeraman kezaliman kapitalisme sekularisme sebagaimana dahulu Rasulullah ﷺ menyelamatkan umat manusia dari gelapnya masa jahiliah menuju cahaya.
Islamofobia, Rekayasa Politik Barat untuk Menjegal Islam Kafah
Masifnya opini islamofobia tidak terjadi dengan alami, melainkan by design. Bahkan, ada indikasi sengaja diproduksi untuk meraih tujuan tertentu. Narasi-narasi yang mencerminkan sikap kebencian kepada Islam terus bermunculan, disampaikan dengan berbagai redaksi dan bentuk yang berbeda, tetapi hakikatnya tetap sama, yakni permusuhan luar biasa pada ajaran Islam, pengembannya, bahkan sangat anti pada apa pun terkait Islam.
Bibit-bibit islamofobia ini sudah lama dimunculkan oleh para petinggi negeri Barat penjajah, seperti pernyataan Mantan Perdana Menteri Inggris Toni Blair ketika ia menyebutkan ciri-ciri “ideologi iblis”, yaitu (1) ingin mengeliminasi Israel; (2) menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum; (30 menegakkan Khilafah; dan (4) bertentangan dengan nilai-nilai liberal. (BBC News, 16/07/2005).
Kebencian itu terus berlanjut. Ketika Donald Trump masih menjadi kandidat Presiden AS pada 2016, dalam kampanyenya ia menyatakan, “Islam memicu kebencian terhadap Amerika, dan selama pemerintah masih mencari tahu akar persoalan tersebut, ada baiknya semua orang Islam tidak boleh masuk ke Amerika.” (Antara News).
Keterkaitan berkembangnya islamofobia dengan strategi Barat ini disampaikan oleh cendekiawan muslim Dr. Adian Husaini. Menurutnya, antara Islam dan Barat terjadi perbedaan yang sangat fundamental yang akan menimbulkan benturan pandangan hidup. Menurutnya, islamofobia yang terjadi saat ini merupakan rekayasa politik yang didesain oleh kalangan intelektual anti-Islam dan menjadikan Islam sebagai ancaman.
Rekayasa ini didasari oleh ketakutan akan kekuatan Islam yang sesungguhnya. Hampir semua negara Barat saat ini menggunakan justifikasi kebebasan dalam bersikap dan berekspresi. “Memang sensitif terhadap masalah Islam, mudah dijadikan alat untuk menggalang kebencian dan menggalang kepentingan politik,” ujar Dr. Adian. (uii[dot]ac[dot]id).
Keseriusan Barat dalam memasifkan islamofobia memang sungguh luar biasa. Terbukti dana yang digelontorkan untuk mendanai proyek ini sangat fantastis, sebagaimana disebutkan oleh Prof. John L. Esposito dari Universitas Georgetown, jaringan ini didanai sangat besar oleh pihak tersebut.
Pasalnya, dari dokumentasi berbagai organisasi, seperti Center for American Progress dan islamophobianetwork[dot]com, ketakutan ini sengaja disulut sejak 2001—2012 oleh delapan donor yang menyumbang lebih dari $57 juta (kurang lebih Rp818 miliar) untuk mempromosikan rasa takut terhadap Islam, muslim, dan syariatnya. (Republika).
Khilafah Datang, Islamofobia Hengkang
Islamofobia bukanlah barang baru, ia sudah ada semenjak Islam hadir sebagaimana diberitahukan Allah Taala dalam firman-Nya, “Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’ Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS 51: 52—53).
Kalau sekarang, para penyeru Islam tidak lagi disebut “tukang sihir”. Istilah ini kurang dibenci dan tidak ditakuti. Ada sebutan lain yang lebih jitu untuk membangkitkan kebencian dan penolakan, yakni label “radikal” bagi pemikirannya, serta gelar “ekstremis dan teroris”. Umat yang termakan propaganda itu memilih berada di barisan penentang Islam kafah. Mereka lebih setuju dengan Islam moderat, “pemikiran Islam” yang sesuai dengan format Barat.
Sepak terjang mereka untuk menimpakan mudarat pada orang beriman juga sudah Allah Taala nyatakan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) mudarat bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS Ali Imran [3]: 118).
Imam Al-Qurthubi berkata, “Makna ‘mereka tidak henti-hentinya menimbulkan mudarat bagi kalian’ [adalah] mereka tidak akan lelah dalam upaya merusak kalian. Artinya, meskipun mereka tidak memerangi kalian, mereka akan tetap melakukan makar dan tipu daya.”
Barat dan antek-anteknya menyadari bahwa ideologi kapitalisme sekularisme yang diembannya sudah di ujung tanduk. Tanda-tanda kehancurannya pun makin terlihat. Mereka juga memahami betul bahwa ideologi yang akan sanggup menggantikan posisi mereka sebagai pemimpin dunia hanyalah Islam yang diemban institusi Khilafah. Oleh sebab itulah mereka berupaya keras menghalang-halangi tampilnya Islam politik yang akan mengungkap semua kezaliman dan kerusakan ideologinya.
Salah satu cara yang mereka jalankan untuk menjegal Islam politik adalah menyebarkan islamofobia. Semua yang berasal dari ajaran Islam harus dicurigai, seperti pemikiran “politik identitas” yang sering dilemparkan untuk menjegal lawan politik. Keharaman mengangkat pemimpin kafir pun dituduh sebagai politik identitas dan intoleransi yang bisa memicu konflik. Padahal, hukum tersebut digali dari wahyu-Nya.
Allah Taala berfirman dalam QS Al-Maidah [5]: 51, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi aulia bagimu; sebagian mereka adalah aulia bagi sebagian lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi aulia, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Terkait ayat ini, Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Allah Taala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132).
Mereka terus melancarkan serangannya. Syariat Islam mereka utak-atik. Menggunakan istilah “rekontekstualisasi” dan “reaktualisasi”, mereka mengganti syariat Islam dengan hukum manusia. Toleransi yang digaungkan berujung pluralisme, memaksakan pemikiran bahwa semua agama benar. Mereka juga menyerukan dakwah yang ramah, ternyata malah melarang amar makruf nahi mungkar dan membiarkan kemaksiatan.
Jadi, tidak mungkin islamofobia akan hilang selama pabrik yang memproduksinya masih ada. Mustahil islamofobia musnah jika masih digunakan untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme sekularisme, yakni sebagai senjata Barat untuk melanggengkan penjajahannya di muka bumi.
Satu-satunya cara untuk menghentikan kekejian mereka adalah dengan menghadirkan institusi Islam yang akan menerapkan syariat Islam kafah. Ketika negara menerapkan syariat Islam, kemuliaannya akan tampak. Umat pun akan mendapatkan keadilan dan merasakan kesejahteraan. Tuduhan buruk terhadap Islam dengan sendirinya akan terbantahkan. Jika ada yang masih nekat menyebarkan tuduhan buruk terhadap Islam, Khilafah tidak akan membiarkannya. Sanksi tegas menjadi balasannya.
Allah Taala telah mengabarkan kemenangan Islam atas para pendusta, “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (QS Ash-Shaff [61]: 8). Wallahualam. [MNews/Gz]
0 Komentar