Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Lagi-lagi isu radikalisme digoreng sedemikian rupa oleh pihak rezim. Isu basi radikal-radikul tampaknya masih akan dijadikan alat gebuk oleh penguasa guna melumpuhkan kubu yang tak seirama dengannya. Belum lama Kepala Staf Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, memunculkan isu terkait radikalisme yang diduga akan menguat menjelang pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 dikarenakan maraknya kampanye politik identitas. Tak jauh berselang, pihak kementrian dan jajarannya tampak kompak menyuarakan “perang” melawan radikalisme di berbagai pondok pesantren bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional (22/10/2022).
Tidak hanya itu, isu radikalisme kian mencuat dengan ditangkapnya seorang wanita bercadar yang menerobos istana sembari menodongkan pistol jenis FN ke Paspampres pada Selasa (25/10/2022). Rezim pun dengan sigap mengafiliasi wanita tersebut dengan sebuah nama kelompok Islam yang selama ini selalu dituduh sebagai pembawa “penyakit” radikalisme, yakni HTI. Menkopolhukam Mafhud MD bahkan berkelakar bahwa aksi radikal yang terjadi tepat di depan istana negara tersebut menjadi bukti nyata bahwa radikalisme masih tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Terdengar lucu memang, isu basi radikalisme yang sejak beberapa tahun terakhir ini terus-menerus digoreng oleh rezim tampaknya masih menjadi primadona. Sekalipun rakyat Indonesia sudah semakin “melek” politik, penguasa masih bersikeras menjadikan isu ini sebagai upayanya menutupi berbagai isu krusial nasional.
Pengalihan Isu Krusial dengan Cocoklogi Radikal-radikul
Sudah bukan rahasia umum bahwa stigma radikalisme hanya dijadikan sebagai pengalihan isu untuk menutupi ragam masalah yang tengah melilit bangsa. Presiden Jokowi dan jajarannya dengan sengaja mengalihkan perhatian masyarakat dengan meminta para menterinya melempar isu radikalisme. Narasi radikalisme yang dinyanyikan para menteri pun tentu bukan tanpa sebab melainkan sebagai upaya pengalihan isu karena pemerintah tidak mampu mengatasi masalah yang tengah menjadi sorotan publik.
Sebut saja berbagai kasus besar yang kini tengah melilit lembaga Polri seperti gegernya masyarakat oleh pembunuhan yang dilakukan jenderal bintang 2 Ferdy Sambo, atau terungkapnya mafia narkoba yang tidak lain adalah calon Kapolda Jatim Irjen Teddy Minahasa. Dua kasus memalukan tersebut tentulah tidak selaras dengan didaulatnya Polri sebagai institusi polisi terbaik kelima di dunia (Gallup Global Law and Order Index 2022). Parahnya lagi, pihak kepolisian tersandung tragedi Kanjuruhan yang menelan korban setidaknya hingga 135 jiwa. Ketidakbecusan kinerja Polri yang selama ini akrab dengan aktivitas pungli dan tilang illegal, kian menurunkan kredibilitasnya.
Selain itu Indonesia hingga saat ini masih belum benar-benar terlepas dari ancaman kebangkrutan ekonomi. Pandemi COVID19 yang berlangsung lebih dari 2 tahun lamanya ditambah dengan kekacauan manajemen keuangan negara, tentu saja semakin memberatkan beban rakyat. Posisi utang Indonesia kian membengkak hingga mencapai Rp 7.420,47 triliun per 30 September 2022, yang berarti dalam sebulan utang pemerintah bertambah Rp 183,86 triliun. Realisasi utang Indonesia setara dengan 39,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau naik dibandingkan dengan rasio Agustus 2022 yang mencapai 37,9% (cnbcindonesia.com, 25/10/2022).
Tidak hanya terlilit utang yang menumpuk, Indonesia terancam resesi yang diperkirakan akan menerjang perekonomian dunia pada 2023. Bahkan belum juga resesi, rakyat Indonesia harus menelan pil pahit akibat dari inflasi ekonomi yang diperkirakan terus mendekati level 6% secara tahunan atau year-on-year (ekonomi.bisnis.com, 27/10/2022). Akibatnya harga-harga bahan pokok pun terus merangkak naik, salah satunya dikarenakan oleh naiknya harga komoditas energi terutama energi bersubsidi.
Sekalipun sudah jelas bagaimana kesengsaraan rakyat sudah benar-benar mencekik rakyat, tetap saja rezim bersikukuh mempertahankan proyek-proyek besar yang sesungguhnya tidak banyak memberikan kontribusi positif bagi perekonomian rakyat. Sebut saja proyek IKN (Ibu Kota Negara) yang hingga kini terus dikebut dan secara nyata menghambur-hamburkan uang rakyat. Bukannya rezim fokus memerhatikan kesejahteraan hajat hidup orang banyak, mereka justru lebih mengutamakan kepentingan asing dan swasta melalui penawaran insentif perizinan Hak Guna Bangunan (HGB) hingga 160 tahun bagi calon investor dalam pembangunan IKN (cnnindonesia.com, 20/10/2022). Bahkan proyek “unfaedah” kereta cepat Jakarta-Bandung akan dilanjutkan untuk rute Jakarta-Surabaya.
Pengalihan berbagai isu krusial negara dengan dalih radikalisme ataupun isu-isu murahan lainnya sesungguhnya bukanlah hal baru. Pasalnya rezim sudah berkali-kali melakukan hal yang sama tatkala ia tersandung banyak kasus besar berskala nasional yang meresahkan rakyat banyak. Sebagaimana isu radikalisme yang digaungkan besar-besaran di akhir tahun 2019 guna menutupi kegagalan ekonomi dan kasus-kasus korupsi. Yang kemudian pada tahun berikutnya rezim mengkambinghitamkan pandemi sebagai biang kerok terpuruknya perekonomian rakyat. Tidak lama pada tahun 2021 label radikal-radikul kembali digulirkan seiring dengan merebaknya kasus korupsi PCR dan ricuhnya UU Ciptaker.
Isu-isu miring lainnya pun pernah sebelumnya digulirkan oleh rezim terdahulu yang tujuannya sama, yakni menutupi kebobrokan dari sistem yang ada. Pada masa Orde Baru misalnya, isu ekstrem kanan dan kiri dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus megakorupsi. Dimana isu ini dimunculkan secara sistematis dan terpusat oleh sistem politik yang korup dengan menuduh beberapa aktivis oposisi sebagai pihak ekstrem kiri dan kalangan agama terutama Islam sebagai ekstrem kanan. Pengalihan isu-isu korupsi oligharki yang tengah berkuasa saat itu dengan isu radikalisme nyatanya terbukti mampu membuat kekuasaan Orde Baru bertahan hingga 32 tahun lamanya.
Dari sini kita melihat dengan jelas bagaimana rezim secara lihai mementaskan “drama” dengan mengobral isu radikalisme, yang tidak lain adalah untuk menutupi buruknya penanganan kemakmuran rakyat. Yang ironisnya mulut rakyat bukannya dikenyangkan dengan kesejahteraan tetapi justru tengah “disumpal” dengan isu basi radikalisme agar rakyat diam tak bersuara.
Stigmatisasi Islam dan Menjamurnya Islamophobia
Sayangnya, pengalihan isu krusial nasional dengan memanfaatkan label radikal-radikul secara pasti telah menelan korban. Yang jelas, semua “nyanyian radikalisme” atau “jualan isu radikal-radikul” menyasar Islam dan kaum muslim bahkan merambah kepada ajaran-ajaran Islam. Contohnya saja ajaran Islam tentang syariat kafah, jihad, dan Khilafah dilabeli sebagai bibit-bibit pemahaman teroris yang wajib diberantas. Demikian pula kriminalisasi atas sejumlah tokoh umat yang berujung pemenjaraan serta pembubaran terhadap beberapa kelompok Islam nonkekerasan dianggap sebagai upaya memerangi radikalisme. Bahkan tidak jarang muncul berita ponpes diafiliasikan dengan aksi terorisme.
Sederet kejadian terkait radikalisme ini akhirnya semakin menguatkan persepsi masyarakat bahwa pemerintah anti-Islam atau mengidap islamophobia. Rezim secara nyata melakukan praktik diskriminasi terhadap muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Ditambah dengan banyaknya skenario reka adegan semisal kasus wanita bercadar yang membawa senapan di depan istana, yang dimainkan untuk memupuk stigma terhadap Islam.
Rezim pun secara sistematis melakukan monsterisasi hukum-hukum Islam terutama hukum yang berkaitan dengan penerapan Islam kafah, jihad dan Khilafah. Hal ini dilakukan tidak lain agar umat Islam Indonesia takut terhadap agamanya sendiri dan berpaling memilih sistem busuk kapitalis-sekular. Tidak hanya itu, rezim pun secara gencar membuat regulasi untuk menjegal dakwah Islam kafah dan memuluskan agenda Islamophobia dengan adanya UU Ormas, UU Antiterorisme, UU ITE, SKB 3 Menteri dan sederet kebijakan lainnya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar