Kapitalisme Menjamin Kesejahteraan Masa Tua, Benarkah?

 


Oleh N. Suci M.H


#wacana - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan, 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja berada dalam usia produktif akan sejahtera di masa senjanya pasca purnabakti. Selama angkatan kerja produktif ini dipersiapkan dengan baik untuk percepatan pembangunan ekonomi (kumparanBISNIS.com, 30/10/2022).


Akselerasi ini didukung Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2022, tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Tujuannya melengkapi kebutuhan industri dan pasar tenaga kerja. Sehingga, menurut Airlangga, pendidikan kerja sepanjang umur harus terus dilakukan. Selain untuk menjaga kompetensi pekerja, pendidikan maupun pelatihan vokasi adalah kebutuhan saat ini dan masa depan (kumparanBISNIS.com, 30/10/2022).


Vokasi merupakan Pendidikan Tinggi yang lebih fokus pada praktik kerja yang dapat menunjang keahlian di bidang studi tertentu (vokasi.kemdikbud.go.id). Dari tahun ke tahun, serapan tenaga kerja sektor industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terus meningkat. Pada 2018, terdapat 1,7 juta pekerja, naik sebanyak 2,8 juta pekerja pada 2019. Meski tertekan pandemi, serapan tenaga kerja di sektor TPT justru melonjak menjadi 3,9 juta orang pada 2020 (kemenperin.go.id, 21/06/2021).


Direktur Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi Ditjen Pendidikan Vokasi Kemdikbudristek RI, Beny Bandanajaja menyatakan angka penyerapan lulusan vokasi di dunia industri terus merangkak naik, sekitar 80%-90% lulusan vokasi berhasil diserap oleh industri kurang dari 1 tahun (cnbcindonesia.com, 07/06/2021).


Jika pembacaan data di atas dibatasi pada kemampuan pendidikan vokasi untuk memberikan peluang terjadinya penyerapan tenaga kerja, bisa kita pastikan benar adanya. Efisiensi kerja dan keuntungan menggaji pekerja yang terampil bisa sekaligus dirasakan pemilik industri. Namun jika fakta lapangan penggajian tetap pada standar UMP, bukankah pekerja hanya tetap akan pada posisi jauh dari sejahtera?.


Semua itu dikarenakan pendidikan vokasi sejatinya hanya mencetak tenaga kerja teknis, dan bukan ahli. Standar gajinya tentunya tidaklah tinggi. Padahal, pendidikan vokasi berbiaya tinggi dibandingkan pendidikan biasa. Tentu saja ini memastikan tidak setiap orang dapat mengakses pendidikan vokasi dengan mudah. Selain itu, kompetisi masuk dalam pasar tenaga kerja industri pun semakin sulit untuk lulusan sekolah biasa. Tidak aneh, jika jumlah pengangguran di Indonesia tetap saja tidak berkurang.


Dengan biaya pendidikan tinggi, janji kenaikan UMP yang sulit diwujudkan, ancaman resesi ekonomi, dan PHK tentu akan tetap beresiko tinggi terhadap lulusan pendidikan vokasi. Inilah sejumlah masalah yang tidak pernah dituntaskan sistem ekonomi kapitalisme. Program-program pendidikan dan pelatihan vokasi ini sebenarnya hanya tambal sulam dari kegagalan sistem pendidikan dan ekonomi yang diterapkan negeri ini.


Pasalnya sejahtera tidak hanya ditentukan dari gaji saja, namun ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteran penduduk suatu negara. Peran individu masyarakat yang dibebaskan untuk mencari pekerjaan dipaksa memenuhi semua kebutuhan pokok dan tambahan hidup dengan sendirinya tentu akan terbatasi pada kemampuan dirinya. Ketidakterjaminan biaya pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, sandang, pangan, dan papan akan selalu menjadi masalah yang tidak pernah putus untuk dipenuhi sepanjang hidupnya dengan standar UMP Indonesia. 


Negara berlepas tangan dari kemudahan hidup warga negaranya dalam sistem kapitalisme, adalah wajar. Ekonomi sebagai nafas utama berjalannya kapitalisme, hanya menjadikan manusia sebagai alat penghasil cuan. Industri diarahkan pada target investasi modal luar negeri. Sedangkan tanah dan sumber daya manusia dalam negeri adalah sebagai katalisator penanaman modal swasta agar tetap terlaksana dengan baik. Jelaslah pada dasarnya pendidikan vokasi ini hanyalah benar-benar tuntutan investor agar terjadi laju ekonomi tinggi untuk laba korporasi kapitalis yang besar. 


Tidak hanya itu, penguasa abai terhadap kemandirian ekonomi dalam negeri. Negara tidak memposisikan dirinya sebagai penghasil SDM pembangun bangsa agar mampu mengeksplorasi SDA milik negara secara langsung. Ketidakpedulian ini memang watak ekonomi kapitalis dalam menjaga “pemilik modal” dan “pekerja”. Pemilik modal bisa saja negara-negara yang memiliki kekuatan modal besar untuk mengendalikan negara-negara lemah yang hanya memiliki buruh dan tanah untuk diolah.  Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik untuk memperoleh keuntungan.


Selama watak ini dimiliki para pemangku kebijakan, kesejahteraan penduduknya di masa tua hanya akan jadi mimpi belaka. Hasilnya justru warga negara hanya dibatasi kemampuannya sekedar mengejar kemakmuran sepanjang hidupnya. Bergantung pada upah hasil bekerja. Sedangkan harta-harta negara yang seharusnya mampu memperkaya dan menjamin kehidupan masyarakat sampai akhir hayatnya, justru dikelola swasta untuk memenuhi kerakusan para penanam modal dan pembangunan yang hanya menghasilkan utang luar negeri. 


Kesejahteraan manusia hanya akan diperoleh dengan penerapan sistem ekonomi Islam melalui institusi khilafah Islamiyah. Dalam Islam, sistem pendidikan negara diarahkan pada output SDM yang beriman dan bermanfaat untuk dunia. Tidak pernah dibatasi dan dibedakan kepada para lulusan untuk menjadi seorang ahli, pengajar, pengusaha atau pekerja. 


Khilafah melalui sistem pendidikannya menjamin penduduknya untuk memiliki pribadi bertakwa dan berdayaguna sesuai tujuan penciptaannya. Yaitu insan pemimpin dan pemakmur bumi. Disamping itu, sistem ekonomi yang diimplementasikan sistem Islam akan menjamin sejahtera secara nyata. Warga negara tidak hanya akan memiliki cara pandang materi sebagai pemenuhan keperluan hajat hidupnya tetapi juga mumpuni mempersiapkan kehidupan akhiratnya. Wallahu’alam bishshawwab.



Posting Komentar

0 Komentar