Jika disebutkan Arqam bin Abi Arqam, 'Aisyan binti Abu Bakar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Iyas Adz-Dzaki bin Mu'awiyyah, Hafshah binti Sirin, Shalahuddin al-Ayyubi, Fathimah al-Fihri, Muhammad al-Fatih, maupun Sulaiman al-Qanuni, maka akan terlintas di benak kita sebuah gambaran pemuda-pemudi muslim yang shalih, cerdas, gagah, serta visioner. Mereka semuanya mampu memberikan gambaran bagaimana Islam sebagai sistem kehidupan. Mampu mencetak pemuda hebat--baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan--di sepanjang perjalanan zaman.
Sampai pada akhirnya, Islam hanya dijadikan sebagai sebuah tuntunan ibadah ritual. Sedangkan aspek kehidupan lainnya, Islam ditinggalkan dan digantikan dengan sistem kehidupan yang lahir dari hasil daya pikir manusia. Ialah sistem kapitalisme yang menjadikan 'kapital' atau materi dalam arti yang sederhana, sebagai 'pusat navigasi' dari segala apa yang dilakukan manusia dalam menjalani kehidupan dunia. Dimana segalanya, dinilai serta ditentukan baik-buruknya sesuai materi yang dihasilkan. Tanpa memperdulikan nilai adat, norma, apalagi agama.
Pun itu jualah yang dilakukan kapitalisme dalam mencetak dan membentuk generasi pemuda saat ini, termasuk pemuda muslim di dalamnya. Dalam pandangan kapitalisme, pemuda merupakan potensi yang begitu besar untuk menopang sebuah peradaban dunia. Di mana para pemuda dengan segala kelebihannya, mulai dari fisik, otak, maupun semangat jiwanya, bisa diarahkan untuk berkontribusi dalam pembangunan. Hal ini pun tak luput dari perhatian PBB, sehingga mereka mengkhususkan program dan laporan berkala bagi pemuda dunia agar memberikan sumbangsihnya terhadap pembangunan dunia yang berkelanjutan.
“Never before have there been so many young people – never again is there likely to be such potential for economic and social progress,” ucap Dr. Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif UNFPA, pada hari peluncuran laporan The State of World Population 2014, di London.
Pun pada laman PBB resmi yang membahas tentang kepemudaan (The World Youth Report), melaporkan tentang “Pemuda dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”, menyatakan bahwa, "Laporan ini memberikan wawasan tentang peran kaum muda dalam pembangunan berkelanjutan dalam konteks implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan kerangka kerja terkait, khususnya, Agenda Aksi Addis Ababa dari Konferensi Internasional Ketiga tentang Pendanaan untuk Pembangunan dan Dunia Program Aksi untuk Pemuda."
Hal di atas memberikan gambaran bahwa pelibatan pemuda dalam pembangunan dalam sistem kapitalisme, mengedepankan peran strategis mereka terkhusus dalam bidang ekonomi. Termasuk dalam pendidikan maupun sosial. Maka pada ujungnya, yang diharapkan adalah kemajuan ekonomi secara khusus bagi kehidupan dunia sebagai penopang sistem kapitalisme itu sendiri.
Maka tak heran, jika karakter konsumtif pada diri pemuda dewasa ini, semisal dengan adanya trend 'flexing' pada setiap unggahan para pemuda di media sosialnya, menjadi tren yang dibiarkan dan bahkan tak jarang diapresiasi. Pun dengan konten-konten tak jelas bahkan sarat dengan perilaku amoral, menjadi hal yang lumrah dan wajar. Bahkan menjadi 'inspirasi' yang digalakkan oleh para pejabat negara seperti fenomena Citayam Fashion Week yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.
Jelas inilah yang membuat perbedaan mendasar antara pemuda dalam sistem Islam dengan pemuda dalam sistem kapitalisme seperti saat ini. Di mana saat Islam diterapkan, karakter yang terbentuk dalam diri pemuda adalah karakter saleh, cerdas, serta gagah sebagaimana tuntutan Allah Swt. Sang Pencipta. Karakter yang menghantarkan kepada kesia-siaan terlebih yang mengarah pada kemaksiatan, sudah barang tentu tertutup rapat untuk hadir secara massif di tengah-tengah ummat. Tak peduli jika hal tersebut menghasilkan uang yang begitu banyak.
Sebagaimana dulu, kisah Sang Khalifah Umar bin Khattab yang bahkan menghardik anaknya sendiri saat dirasa hidup 'mewah'. Suatu hari sang Khalifah menemui Abdullah bin Umar sedang memakan daging, serta-merta sang Khalifah saat itu berkata, “Apakah karena engkau anak dari amirul mukminin lalu engkau makan daging dengan nikmat, sementara orang-orang di luar sana sedang dalam keadaan susah? Tidak kah cukup roti dengan garam? Roti dengan minyak?"
Begitulah Umar menghardik anaknya. Sebuah gambaran yang amat jauh dengan kondisi pemuda saat ini. Ketika budaya konsumtif dengan jalan bermewah-mewahan, bertebaran di banyak sosial media. Menyedot atensi pemuda lainnya sehingga berangan-angan menjalani hidup yang sama meski harus dengan jalan yang membuat Allah murka.
Dengan demikian, selaiknya umat tak boleh diam. Apalagi bagi mereka yang merasa tergugah dengan keadaan pemuda saat ini. Saatnya bergerak secara konsisten untuk menyelamatkan para pemuda, yang saat ini, potensinya yang luar biasa sedang dibajak sebuah sistem yang memaksa mereka mencintai dunia.
Wallahu a'lam bish-showab.
Oleh Tri Fani
0 Komentar