#EDITORIAL — Pada 13/11 lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) menggelar konferensi pers secara virtual terkait evaluasi atas kinerja 3 tahun pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Selain evaluasi, ICW pun memberikan beberapa rekomendasi yang harus diperhatikan dan mendesak untuk segera dijalankan oleh pihak pemerintah.
Beberapa hal yang dikritisi ICW antara lain soal penggunaan uang negara Rp90,4 M untuk membayar influencer alias buzzer pada periode 2017—2020 yang dinilai tidak transparan dan dipertanyakan akuntabilitasnya. ICW menyebut kebijakan ini hanya digunakan untuk memperkuat posisi pemerintah dan justru menutup ruang diskusi di dalam konteks kebijakan pemerintah, termasuk dalam narasi-narasi antikorupsi.
Dalam pandangan ICW, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf juga tampak dibayang-bayangi oleh konflik kepentingan. Terbukti, pembagian kue kekuasaan begitu mencolok dalam Kabinet Indonesia Maju. Tercatat, ada 21 kursi kabinet dan 46 kursi komisaris BUMN yang dibagi-bagi kepada para pendukung politik atau tim sukses saat kontestasi pemilu 2019.
Terkait konflik kepentingan ini, secara khusus ICW pun menyorot soal komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. Berbagai kebijakan pemerintah justru dinilai telah memberi karpet merah pada para koruptor. Antara lain tampak pada pengesahan RUU Pemasyarakatan, aturan pemilu atas calon legislatif dari mantan napi, praktik pengangkatan kepala daerah yang tidak jelas dasarnya kenapa dipilih, dan lain-lain.
Di samping itu, ICW juga mengkritisi hal-hal lain seperti soal audit defisit BPJS, soal RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal, rencana pengesahan RKUHP, dan revisi UU Tindak Pidana Korupsi. Juga soal kedaulatan pangan dan tuntutan untuk menuntaskan kasus peretasan yang akhir-akhir ini banyak menimpa masyarakat.
Demokrasi, “Mainan” Oligarki
Apa yang dikritisi oleh ICW sejatinya menunjukan wajah asli sistem demokrasi. Terbukti dari rezim ke rezim, termasuk jilid pertama rezim pemerintahan Jokowi, konflik kepentingan, bagi-bagi kue kekuasaan, keberadaan buzzer politik, dan praktik korupsi terus saja terjadi. Padahal semua rezim ini mengeklaim sebagai pemerintahan yang paling demokratis.
Di Indonesia sendiri, praktik tukar guling dan politik balas budi ini diperhalus dengan istilah koalisi gotong royong atau koalisi akomodatif. Tentu semuanya mengatasnamakan kepentingan rakyat RI. Lalu dengan dalih konsolidasi, pihak yang kalah pun tetap diberi jatah kursi.
Lain lagi di Amerika yang katanya merupakan kampiun demokrasi, kondisinya bahkan lebih parah. Para pendukung partai pemenang dan orang yang dijagokan, dipastikan akan menguasai penuh semua posisi strategis. Sementara partai yang kalah, harus siap-siap gigit jari dan menjadi pihak oposisi sejati hingga saatnya kembali bertarung dalam pemilu demokrasi nanti.
Kepentingan politik, tentu saja tidak semata-mata berebut kursi. Hal yang paling esensi dari politik demokrasi adalah menjadikan kursi kekuasaan tadi sebagai alat merealisasikan berbagai kepentingan, khususnya kepentingan bisnis para pemilik modal. Baik yang turun langsung menjadi pemain politik, maupun mereka yang bermain di belakang layar. Yakni dengan menjadi sponsor bagi parpol atau para kontestan.
Keterlibatan para pemodal dalam politik demokrasi memang wajar terjadi, mengingat politik demokrasi adalah politik berbiaya mahal. Butuh modal banyak bagi seseorang atau parpol untuk lolos dalam kursi kekuasaan. Terutama untuk biaya penyelenggaraan pesta lima tahunan, termasuk biaya iklan alias pencitraan. Alhasil tanpa kaum kapitalis oligarki ini, politik demokrasi dipastikan tidak bisa jalan.
Demokrasi Tidak Kenal Tuhan
Kontestasi dalam demokrasi memang tidak ubahnya seperti ajang perjudian. Masing-masing pihak berusaha memenangkan permainan dan melanggengkan kedudukan yang sudah ada di tangan. Segala cara pun digunakan, termasuk menjatuhkan lawan dengan fitnah dan kebohongan. Sampai-sampai profesi buzzer pun menjadi pekerjaan yang laku meski harus dibayar mahal.
Namun, eksesnya, kekuasaan menjadi kehilangan esensi. Alih-alih membawa kebaikan, kekuasaan demokrasi justru menjadi simbol kerakusan. Korupsi terbukti selalu lekat dalam pemerintahan demokrasi. Tirani minoritas pun terlegitimasi dalam bentuk kebijakan yang memihak segelintir orang. Contoh kecilnya, pengesahan UU Omnibus Law, UU Minerba, dan kapitalisasi berbagai layanan umum.
Praktik kotor politik demokrasi memang sejalan dengan penolakannya terhadap peran agama dalam kehidupan. Sekularisme adalah asasnya, sedangkan liberalisme adalah spirit amalnya. Wajar jika nilai kebebasan begitu diagung-agungkan. Sedangkan nilai-nilai akhlak tidak mendapat tempat, kecuali jika dibutuhkan sebagai alat menarik dukungan.
Bagi demokrasi, suara rakyat adalah suara tuhan. Namun, rakyat yang dimaksud adalah para pemilik cuan. Oleh karena itu, tidak heran jika kekuasaan dalam demokrasi selalu mengabdi pada kepentingan pemilik modal. Sedangkan, rakyat selalu dikorbankan, habis manis sepah dibuang.
Saatnya Disingkirkan
Kebobrokan demokrasi sebetulnya tidak bisa disembunyikan lagi. Klaim bahwa sistem ini merupakan sistem politik terbaik nyatanya tidak terbukti sama sekali. Demokrasi nyata-nyata telah gagal menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Bahkan, pada faktanya, hanya menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Pada 2018, sempat viral buku How Democracies Die. Buku yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dari Harvard University ini menyebutkan bahwa demokrasi akan mati di tangan penguasa yang dipilih melalui jalur demokrasi itu sendiri, yakni ketika mereka mulai menolak nilai-nilai toleransi dan menampakkan perilaku otoritarianisme, sebagaimana yang justru tampak saat ini.
Namun, sesungguhnya kematian demokrasi adalah hal alami, bukan semata-mata karena ada kesalahan dari pengembannya sendiri. Asas dan spiritnya yang rusak justru merupakan cacat bawaan yang lambat laun akan membunuh dirinya sendiri.
Hanya saja, mengapa hingga hari ini demokrasi belum juga mati? Bahkan, saat dunia Barat mempertanyakan kesakralan demokrasi, dunia Islam malah beramai-ramai memuja dan memilih tetap memegang teguh sistem politik demokrasi.
Masalahnya, demokrasi memiliki mekanisme memperpanjang umurnya sendiri, yakni dengan memberikan rakyat harapan panjang tentang perubahan. Mereka diberi hak memilih dan bermimpi tentang perubahan pada momen lima tahun sekali. Jika yang mereka pilih gagal mewujudkan mimpi, maka tinggal bermimpi saja lagi.
Kondisi ini memang mencerminkan taraf berpikir umat secara keseluruhan. Dominasi pola pikir yang pragmatis membuat umat mudah sekali kena prank. Bahkan, terjatuh di lubang yang sama berkali-kali.
Ndilalahnya, dunia Barat berkepentingan untuk terus menjajakan demokrasi. Mereka bungkus kebusukan demokrasi dengan narasi memukau tentang keidealan dan kehebatan politik demokrasi. Padahal, demokrasilah penyebab langgengnya hegemoni kapitalisme global yang menyengsarakan dunia saat ini, serta membuat perubahan hakiki hanya mimpi.
Pertanyaannya, akankah kita terus tertipu propaganda tentang kebaikan demokrasi?
Khatimah
Setiap muslim sejatinya wajib menjadikan akidah dan syariat sebagai asas sekaligus standar berpikir dan beramal. Dengan bekal itu, dan bekal pemahaman yang mendalam terkait hakikat demokrasi, mulai soal asas dan spiritnya hingga standar amal dan praktiknya, tentu ia akan mudah memahami bahwa sistem ini bertentangan secara diametral dengan Islam.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim, menolak demokrasi bukan lagi menjadi pilihan, tetapi merupakan sebuah kewajiban. Terlebih, ia yakin dan paham bahwa selain Islam adalah keburukan, dan hanya dengan Islam kehidupan akan baik dan diliputi keberkahan. Ini karena Islam tegak di atas asas dan spirit yang lurus. Aturan-aturannya pun dipastikan bisa menyolusi berbagai problem kehidupan karena berasal dari Zat Yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur.
Sepanjang sistem Islam ditegakkan, umat Islam hidup dalam kebaikan dan kemuliaan. Penguasa dan rakyat dalam sistem Islam memfungsikan dirinya sesuai tuntutan syariat. Satu sama lain saling mengukuhkan semata-mata karena iman.
Jika pun ada masa-masa kelam, sejatinya kesalahan bukan ada pada sistem Islam. Melainkan justru karena para penguasa telah melakukan penyimpangan, sementara itu rakyatnya tidak menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar. Tentu saja fakta ini menunjukkan sisi kemanusiaan sistem Islam. Namun, keburukannya yang sedikit tidak bisa menghapus kegemilangan sejarah peradaban Islam yang telah tegak pada masa yang sangat panjang. [MNews/SNA]
0 Komentar