Penulis: Retno Sukmaningrum
#FOKUS — Masyarakat dihebohkan dengan berita pembunuhan seorang wanita di apartemen kawasan Pramuka, Jakarta Pusat. Rekaman CCTV dalam lift apartemen tersebut menunjukkan pelaku sedang membawa jasad korban memakai troli yang terbungkus plastik dan disamarkan dengan barang-barang lainnya.
Pelaku terlihat santai dan penuh senyum tanpa merasa bersalah telah melakukan pembunuhan. Jasad korban pembunuhan tersebut ditemukan di kolong jembatan Tol Becak Kayu Bekasi, Jawa Barat.[1]
Belum usai pengusutan kasus tersebut, muncul lagi berita pembunuhan yang menimpa anak perempuan berusia 12 di daerah Kebon Kopi, Cibeureum, Cimahi Selatan. Sepulang mengaji, korban ditusuk orang tidak dikenal hingga tewas.[2]
Masih banyak lagi kasus serupa. Bukan hanya di satu tempat, melainkan menyebar di berbagai wilayah, di desa maupun kota. Bukan hanya di Jawa, di luar Jawa pun marak. Mudah sekali seseorang menumpahkan darah, seolah murah sekali harga nyawa manusia.
Belum lagi tindak kriminalitas lainnya, sangat tinggi. Berdasarkan data BPS, tindak kriminalitas di Indonesia terjadi setiap 2 menit 07 detik. Artinya, dalam setahun bisa terjadi sekitar 200 ribu lebih tindak kriminal. Subhanallah!
Kegagalan Membangun Manusia
Sangat miris, di tengah pembangunan infrastruktur yang tengah masif pada era Jokowi ini, pembangunan manusianya justru seolah terabaikan. Padahal, pada setiap Rencana Pembangunan Nasional, pembangunan manusia menjadi prioritas nasional nomor satu. Begitu pula setiap tahunnya senantiasa dilakukan pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan IPM tersebut dinyatakan bahwa IPM di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.
Lalu apa yang salah jika nyatanya tindak kriminalitas yang dilakukan manusia makin meningkat dan brutal? Tidak hanya dilakukan oleh warga sipil, tetapi aparat penegak hukum pun melakukannya. Tidak sendirian, tetapi berjemaah dalam melakukan tindak kriminal, sebagaimana kasus Sambo.
Jika kita cermati, hal tersebut tidak lepas dari standar yang digunakan dalam menetapkan keberhasilan pembangunan manusia. Standar ini juga tidak lepas dari ideologi yang diadopsi negeri ini. Meski malu-malu mengakui, senyatanya negeri ini mengadopsi ideologi kapitalisme. Dalam mengukur segala sesuatu, selalu berorientasi pada pencapaian nilai-nilai materi atau tingkat ekonomi.
Oleh karenanya, tidak heran jika tampak dalam poin pertama rencana pembangunan nasional, pembangunan manusia dikaitkan dengan pengentasan kemiskinan. Begitu pula dengan IPM, lebih menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Pembentukan IPM sendiri didasarkan pada tiga dimensi. Pertama, umur panjang dan hidup sehat. Kedua, pengetahuan. Ketiga, standar hidup layak. Semua ini mengacu pada kemampuan akses terhadap hasil pembangunan yang tidak lepas dari kemampuan ekonomi untuk mengaksesnya.
IPM sendiri diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR). UNDP sendiri dibentuk oleh negara kapitalisme dunia (AS).
Kalaupun terdapat pengetahuan sebagai salah satu pembentuknya, itu pun tidak terlepas dari aspek ekonomi. Artinya, pengetahuan yang diperoleh dalam bangku pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, dirancang dengan orientasi ekonomi semata.
Hal ini terlihat jelas dalam Perpres 68/2022. Paradigma yang diusung dalam Perpres 68/2022 adalah menjadikan kebutuhan dunia usaha dan dunia kerja sebagai acuan dan rujukan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi. Dimaksudkan untuk menjamin bahwa lulusan pendidikan dan pelatihan vokasi betul-betul mampu menjadi wirausahawan ataupun pekerja yang dibutuhkan dunia usaha dan industri.
Menindaklanjuti Perpres tersebut, Presiden menunjuk Menteri Ketenagakerjaan menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan vokasi dan Mendikbudristek bertanggung jawab dalam urusan pendidikan vokasi yang juga mencakup SMK.
Untuk pendidikan nonvokasi pun sama, juga berorientasi pada industri. Dirjen Pendidikan Tinggi Nizam mengatakan bahwa Kampus Merdeka merupakan salah satu katalis terbentuknya ekosistem pentahelix, yaitu sinergi yang menghubungkan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri, dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah. Dalam ekosistem pentahelix, perguruan tinggi berperan sebagai mata air bagi industri, dunia usaha, masyarakat, dan pembangunan bangsa.
Kebijakan pendidikan hari ini, termasuk Perpres 68/2022 tersebut, bertentangan dengan UU 20/2003 yang masih berlaku. Pasal dalam UU 20/2003 berbunyi, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Secara sengaja, pemerintah telah menyempitkan makna “pendidikan”, yakni berorientasi pada ekonomi semata. Parahnya lagi, ketika mereka menyadari penyimpangan yang terjadi, bukannya berupaya kembali merevisi kebijakan mereka yang bertentangan dengan UU, mereka justru menyiapkan RUU yang akan mengubah UU 20/2003 tersebut.
Pembangunan Manusia yang Terabaikan
Dalam buku Menantikan sang Pembebas, Direktur IMuNe Dr. Fika Komara menyampaikan bahwa kekuatan geopolitik terbesar itu adalah manusia, bukan lokasi ataupun kekayaan alamnya, bukan pula kekuatan industri dan pembangunannya.
Jika kekayaan alamnya melimpah, tetapi manusianya diliputi kebodohan dan kejumudan, kekayaan itu hanya akan menjadi kutukan. Ini karena kualitas manusia berperan membentuk capacity of agency yang mengarahkan pembangunan wilayah dan pengelolaan kekayaannya.
Kebodohan dan kejumudan yang menimpa masyarakat merupakan jalan lempeng bagi para penjarah dan penjajah menguasai negeri yang kaya ini. Memang masyarakat masih terlibat dalam hiruk-pikuk pembangunan, tetapi posisi mereka sama dengan variabel input lainnya dalam kegiatan produksi. Mereka sebatas pekerja dan tetap buta dengan kondisi yang ada di depan mata.
Kondisi inilah yang oleh Malik Bennabi, seorang pemikir dan sosiolog muslim dari Aljazair, sebut sebagai “kolonisabilitas”. Negeri yang seolah “membuka diri” untuk dijajah. Ada dua problem krusial yang terjadi dalam kondisi tersebut.
Pertama, masyarakat di negeri tersebut mengalami ketakmampuan untuk berpikir dan mengambil tindakan karena tidak mampu mengongkretkan pemikiran, yang muncul hanyalah kebingungan.
Kedua, serampangan dalam mengambil ide-ide modern. Semua diambil, semua ditiru tanpa menyaring dengan filter Islam.
Walhasil, lahir dari kondisi tersebut manusia-manusia yang lemah daya kritis dan juangnya. Kalaupun berjuang, sebatas meraih capaian dunia yang remeh-temeh. Izzah al ‘uzmah mereka hilang. Kesadaran akan kemuliaan diri dan cita-cita tinggi juga turut hilang. Oleh sebab itu, ketika harga diri tersenggol sedikit saja, muncullah luapan amarah yang luar biasa hingga bisa menikam dan membunuh.
Memuliakan Manusia dengan Islam
Islam merupakan agama yang agung dan mulia. Diinun syamilun, kamilun wa mutakamilun, sempurna syariatnya, sempurna pula pembawanya, yakni baginda Muhammad saw..
Dengan sempurnanya Islam, seorang muslim tidak butuh syariat dan aturan yang lain. Cukup dengan Islam, mereka hidup dan menyelesaikan persoalan kehidupannya.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Namun barang siapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Al Maidah: 3)
Dalam Islam, hal mendasar dalam membangun manusia adalah dengan mendidik akalnya. Mendidik akal adalah mendidik berpola pikir benar dengan menjadikan akidah sebagai asasnya.
Selanjutnya, pemahaman yang benar ini diwujudkan dalam amal perbuatan dalam bentuk keterikatan terhadap syariat Allah. Terbentuklah manusia yang berkepribadian Islam, serta berpola pikir dan sikap Islam.
Namun, perlu diingat, membangun manusia tidak bisa dipisahkan dengan membangun masyarakat sebagai ruang lingkup sosok pribadi manusia tumbuh dan berinteraksi. Pilar penting dalam pembentuk sistem bermasyarakat dan bernegara adalah afkar (pemikiran/akidah) dan anzimah (sistem/hukum) yang menghasilkan masya’ir (perasaan-perasaan), maqayis (standar-standar) dan qanaat (kepuasan-kepuasan).
Benar dan tidaknya ataupun unggul dan rendahnya masyarakat, sangat bergantung pada pemikiran dan sistem yang menyatukan mereka. Jika pemikiran dan sistem yang menyatukan mereka adalah pemikiran dan sistem yang benar serta unggul, masyarakat tersebut menjadi benar dan unggul. Sebaliknya, jika pemikiran dan sistem yang menyatukan mereka rusak dan rendah, masyarakat tersebut menjadi rusak dan rendah pula.
Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat di Madinah dengan fondasi akidah dan menerapkan syariat kafah di dalamnya. Lahirlah pribadi-pribadi takwa dari masyarakat yang mulia ini. Pribadi yang tidak gila harta dan menjadikan dunia sebagai tujuannya sebagaimana terjadi dalam masyarakat kapitalis hari ini.
Namun demikian, masyarakat Islam tetaplah masyarakat manusia yang memungkinkan terjadi di dalamnya kelalaian hingga terjadi pelanggaran syariat. Menghadapi kondisi yang demikian, Islam memberlakukan sanksi tegas yang mempunyai dua fungsi.
Fungsi zawâjir (pencegah) berarti dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan. Jika ia mengetahui apabila membunuh balasannya adalah dibunuh, ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut.
Juga sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Dengan sistem sanksi demikian, wajar jika bisa dikatakan dalam kehidupan masyarakat Islam “sepi” dari tindak kriminal. Berbeda dengan masyarakat kapitalis yang dalam setahun terjadi ratusan ribu tindak kriminal.
Rasulullah saw. juga berhasil mewujudkan masyarakat Islam dalam naungan Daulah Islam di Madinah. Mengantarkan Bangsa Arab kala itu—yang dahulunya tidak pernah dilirik sedikit pun oleh negara adidaya Persia dan Romawi—berubah menjadi negara besar yang merengkuh Persia dan Romawi ke dalam kekuasaannya.
Sistem Nabi tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khulafaurasyidin hingga Kekhalifahan Turki Utsmani. Tercatat dalam tinta sejarah, dalam naungan Khilafah Islamiah, peradaban Islam mampu menguasai 2/3 wilayah dunia selama 13 abad lamanya.
Khatimah
Kapitalisme terbukti gagal dalam membangun peradaban manusia. Pembangunan ala kapitalisme menjadikan manusia layaknya mesin produksi yang justru melahirkan manusia yang hilang nalar dan kemanusiaannya.
Hanya Islam dalam naungan Khilafah Islamiah yang mampu membangun sebuah peradaban yang memuliakan manusia. Wallahualam. [MNews/Gz]
0 Komentar