Dalam Forum G20 di Nusa Dua, Bali, Sabtu (12/11/2022), Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, mengklaim bahwa Jakarta telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020. Anies menjadi salah satu narasumber terkait kepemimpinannya di Provinsi DKI Jakarta, khususnya terkait pengendalian emisi karbon.
Anies menganggap, pencapaian luar biasa di Ibu Kota tersebut dimungkinkan berkat tiga prinsip yang selalu dipegangnya. Pertama, car oriented development menjadi transit oriented development. Kedua, kolaborasi dengan berbagai organisasi, pemangku kepentingan, dan mengajak warga kota agar terlibat. Terakhir, evidence-based policy, yakni pengambilan kebijakan berdasarkan pada data dan ilmu pengetahuan (Republika.co.id, 14/11/2022).
Lantas, benarkah turunnya emisi karbon pada 2020 hingga mencapai 26 persen di DKI Jakarta itu disebabkan karena kepemimpinan Anies? Pernyataan tersebut tampaknya perlu dikoreksi, sebab ada tiga alasan yang menjadi dapat membatalkan kesimpulan tersebut.
Pertama, ada faktor lain yang menyebabkan turunnya emisi gas rumah kaca di DKI Jakarta pada 2020. Dalam Laporan Inventarisasi Profil Emisi Gas Rumah Kaca DKI Jakarta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta yang telah dirilis pada 2019, disebutkan bahwa pada 2019 dan 2020 terjadi penurunan produksi emisi gas rumah kaca masing-masing sebesar 3,3 juta ton CO2e dan 1,39 juta ton CO2e (antaranews.com, 6/10/2021).
Seperti diketahui bersama bahwa tahun 2019 dan 2020 adalah tahun dilakukannya lockdown se-Indonesia akibat Covid-19. Berbagai aktivitas dilakukan dari rumah. Bahkan hingga Juli 2021, kawasan dalam kota Jakarta diberitakan sepi seperti film-film Zombie Hollywood saat diterapkan PPKM Darurat dengan penjagaan di 63 titik (gridoto.com, 4/7/2022). Maka dengan kondisi demikian, apakah betul ada korelasi antara penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2019 dan 2020 dengan kinerja pemerintah?
Kedua, paket kebijakan pengurangan emisi gas karbon tidak bisa parsial melingkupi DKI Jakarta saja, juga harus melibatkan banyak pihak, termasuk yang di luar DKI. Jakarta memang mengalami peningkatan emisi gas rumah kaca yang sangat mengkhawatirkan. Pada 2019, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta telah merilis Laporan Inventarisasi Profil Emisi Gas Rumah Kaca DKI Jakarta yang merinci jumlah emisi gas secara langsung (direct emission) dan tidak langsung (indirect emission).
Dari data itu diketahui bahwa pada tahun 2010, jumlah emisi langsung dan tidak langsung DKI Jakarta mencapai 38.029 ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e). Sementara itu, delapan tahun kemudian, pada 2018, jumlah emisi langsung dan tidak langsungnya meningkat sekitar 51 persen menjadi 57.554 ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Menariknya, kontributor utama meningkatnya emisi gas rumah kaca DKI Jakarta berasal dari emisi tidak langsung berupa penggunaan listrik (28.162 ton CO2e). Disusul oleh sektor energi (27.195 ton CO2e). Adapun lainnya berasal dari sektor limbah (2.194 ton CO2e), emisi Agriculture, Foresty, and Other Land Use /AFOLU atau sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (3 ton CO2e), dan Industrial Process And Product Uses /IPPU (tidak tercatat) dengan kenaikan rata-rata produksi emisi gas rumah kaca sejak 2010 hingga 2018 mencapai 2,4 juta ton CO2e.
Penggunaan listrik PLN jaringan Jawa-Madura-Bali (Jamali) menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Jakarta, melebihi konsumsi bahan bakar nabati, gas, elpiji dan lain sebagainya. Hal ini selaras dengan icon DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia, pusat bisnis dan hiburan. Jakarta sebagai hutan beton tentu tidak akan dapat tertandingi fungsinya meski sudah dibangun 100 Ruang Terbuka Hijau (RTH) berupa taman. Artinya, sumbangan terbesar emisi gas rumah kaca tidak mungkin hilang seiring dengan fungsi DKI Jakarta kini.
Penjelasan di atas juga menandakan bahwa sistem transportasi DKI Jakarta yang saat ini dielu-elukan sudah banyak perubahan dan mengubah sumbangan emisi gas rumah kaca masih sangat minim manfaat untuk menuju zero net. Diperlukan perubahan secara radikal dan menyeluruh untuk betul-betul menghasilkan nol emisi karbon.
Ketiga, adanya program penurunan emisi gas rumah kaca tidak murni muncul dari ketulusan penyelesaian masalah lingkungan. Namun di dalamnya terdapat kepentingan kapitalis yang ingin cuci tangan atas perbuatannya merusak alam.
Diketahui bahwa komitmen penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 26% secara mandiri, tanpa adanya bantuan dari internasional telah dinyatakan Indonesia dalam Conferences of Parties (COP) tahun 2009. Kemudian komitmen itu dikuatkan lagi pada tahun 2016 melalui komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) dengan ditetapkan target unconditional sebesar 29% dan target conditional 41%. Sejak peristiwa inilah Indonesia mulai melakukan berbagai aksi mitigasi pada semua sektor, termasuk Pemprof DKI Jakarta.
Peristiwa terbaru, yakni diadakannya COP26 atau Konferensi Perubahan Iklim Edisi 2021 yang dilaksanakan tahunan oleh PBB. Di dalamnya terdapat penandatangan The United Nations Framework Convension on Climate Change (UNFCCC), sebuah perjanjian yang disepakati tahun 1994 antara Uni Eropa dengan 196 negara lainnya. Konferensi ini dilaksanakan oleh Inggris dengan mitranya, Italia di Glasgow, Scotlandia sebagai pertemuan ke-26 selama 12 hari dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan tentang cara mengatasi perubahan iklim.
Penurunan derajat pemanasan global hingga 1,5 derajat dikatakan penting disebabkan beberapa hal. Pada 2 derajat pemanasan global akan berdampak luas dan parah untuk manusia dan alam. Sebagian populasi manusia akan terpapar temperatur panas yang parah dan dapat menyebabkan masalah kesehatan bahkan kematian. Hampir semua terumbu karang air hangat akan hancur, dan es laut Arktik akan mencair seluruhnya, setidaknya satu musim panas per dekade, dengan dampak yang menghancurkan satwa liar dan masyarakat yang memanfaatkannya. Lapisan es yang mencair di Greenland dan Antartika juga dapat meningkatkan permukaan air laut beberapa meter selama berabad-abad yang akan datang.
Di seluruh dunia, badai, banjir dan kebakaran hutan semakin intensif. Polusi udara mempengaruhi kesehatan puluhan jutaan orang dan cuaca yang tidak dapat diprediksi menyebabkan kerusakan yang tak terhitung pada rumah dan juga mata pencaharian. Sementara dampak perubahan iklim dapat menghancurkan alam dan manusia. Untuk mengatasinya diperlukan udara yang lebih bersih, menciptakan lapangan pekerjaan, memulihkan alam dan pada saat yang sama dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan narasi itu, maka barat menyerukan perlunya tindakan net zero, yakni seluruh negara harus memproduksi lebih sedikit karbon daripada yang dikeluarkan ke atmosfer. Padahal nyatanya, kapitalisme itu yang telah membawa planet ini menuju jurang kehancuran dan menempatkan masa depan umat manusia ke dalam bahaya.
Perubahan iklim global adalah dampak dari aktivitas negara-negara kapitalis dalam meraup cuan sebanyak-banyaknya. Menurut data tahun 2018 dari Global Carbon Project, China adalah penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia. Menyusul Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Rusia. Indonesia sendiri berada di urutan ke-10 negara yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Inilah kenyataan menyedihkan dari ideologi yang mengutamakan keuntungan dan nafsu materialistik di atas segalanya.
Para kapitalis enggan membuat perubahan yang serius untuk menyelamatkan penduduk bumi. Meski Amerika Serikat dikabarkan telah mendonasikan 102 Juta US dollar untuk negara-negara ASEAN dalam rangka perubahan iklim pada KTT ASEAN (27/10) serta sebanyak 35 negara kaya telah bersepakat akan memberikan 100 milyar US dollar untuk negara miskin dalam rangka perubahan iklim ini, sejatinya ini hanyalah bentuk cuci tangan atas dosa yang telah dilakukan.
Masalah mendasarnya bukanlah iklim itu sendiri, atau bahkan industri, melainkan kapitalisme dan nafsunya yang tak pernah terpuaskan untuk mengeksploitasi manusia dan lingkungan secara besar-besaran tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjangnya. Dorongan untuk pertumbuhan yang tak ada akhirnya; perburuan lebih banyak keuntungan yang terus menerus; kekuatan berbagai kepentingan khusus yang mencemari politik yang memungkinkan pencemaran lingkungan yang berlebihan; dorongan utang berlebihan yang didorong oleh konsumerisme yang berlebihan; semuanya mengarah pada lebih banyak pertumbuhan industri, lebih banyak penggunaan energi, lebih banyak limbah, lebih banyak polusi, dan pada akhirnya lebih banyak emisi gas CO2.
Terlepas dari retorika palsu yang dihembuskan dari mesin media-media kapitalis, perubahan iklim yang merusak hanyalah satu konsekuensi negatif lain yang ditimbulkan oleh ideologi ini. Konferensi COP26 di Glasgow memperlihatkan banyak janji palsu dan air mata buaya, tetapi pada akhirnya akan gagal menyelesaikan krisis iklim secara serius, karena penyebab yang mendasarinya tidak akan pernah ditangani. Ketidakhadiran China dan Rusia serta kemunafikan kapitalis Barat mengungkapkan fakta bahwa konferensi ini sebenarnya lebih merupakan perjuangan geopolitik daripada membantu memecahkan masalah manusia.
Selain itu, banyak yang menyadari bahwa berbagai upaya internasional untuk mengurangi emisi gas CO2 akan merugikan negara-negara berkembang secara tidak proporsional. Sementara itu, negara-negara maju telah menikmati kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi dan industri sambil mengeluarkan emisi hingga saat ini. Dengan demikian, konferensi-konferensi global menjadi ajang kompetisi untuk menentukan kerangka kerja yang akan menguntungkan masing-masing negara, bukan kemanusiaan secara keseluruhan.
Tanpa negara Khilafah yang menerapkan Islam, tidak akan pernah ada solusi yang fundamental untuk menyelesaikan masalah emisi gas rumah kaca. Sebab perlawanan nyata terhadap persaingan kapitalis, eksploitasi ekonomi, komsumerisme, dan kerusakan yang semakin dahsyat tidak akan pernah benar-benar dihentikan. Padahal itulah yang merupakan pendorong utama terjadinya berbagai krisis iklim dan lingkungan. Sebaliknya jika berpaling dari tuntunan Islam dan memegang teguh kapitalisme, sedikit keberhasilan dianggap sebuah prestasi meski tidak mengakar dan kemudian menambah kerusakan kembali.
Allah SWT berfirman:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَاد
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (kerusakan)” [QS. Al-Baqarah: 205].
Wallahualam bishawab.
Oleh Annisa Al Munawwarah
0 Komentar