Oleh Heni _ummufaiz - Ibu Pemerhati Umat
#wacana - Sepertinya umat Islam akan terus dihadapkan dengan orang-orang yang julid dan pembenci Islam. Isu radikalisme yang diarahkan kepada Islam masif digoreng jelang pemilu 2024. Khilafah dan jihad pun disudutkan dengan narasi negatif. Beberapa pejabat dengan terang-terangan menunjukkan sikap anti Islamnya, dengan meminta agar berhati-hati terhadap siapapun yang terindikasi menyuarakan syariat Islam dan Khilafah. Salah satunya yang trending di Twitter terkait ujaran Komisaris BUMN PT Pelni Dede Budhyarto yang memelesetkan kata Khilafah menjadi khilafuck. Kontan saja hal ini direspons oleh beberapa tokoh termasuk Ketua MUI Cholil Nafis.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis merespons adanya dugaan penistaan agama oleh Dede Budhyarto, dengan memelesetkan kata khilafah menjadi khilafuck. Cholil Nafis menyebut Komisaris BUMN PT Pelni tersebut sebagai orang yang terlalu bernafsu dengan politik.
(Warta Ekonomi, 26/10/2022).
Senada dengan Cholil Nafis, Politisi Partai PKS Tiffatul Sembiring pun geram terhadap Komisaris PT Pelni tersebut. Menurutnya tak pantas seorang Komisaris independen PT Pelni bertutur demikian. Menurut Tiffatul, "Sudah komisaris, digaji negara, masih jadi buzzer saja." Tifatul lanjut menambahkan, "zaman dulu memang pernah ada Khilafah Islamiah. Sekadar diketahui, khilafah sendiri merupakan sistem kepemimpinan yang memakai Al-Qur’an, Al-Hadis, Ijma, serta Qiyas sebagai acuan ideologi juga perundang-undangan." (wartaekonomi, 28 /10/ 2022).
Inilah salah satu dampak dari diterapkannya sistem demokrasi. Di mana kebebasan berpendapat dijamin oleh negara. Tak heran banyak orang yang kemudian seenaknya bersuara tanpa mempertimbangan isi ataupun dampaknya. Apakah itu melanggar norma kesopanan, norma masyarakat, hingga norma agama. Bahkan tak segan-segan mereka–atas nama demokrasi–lantas melecehkan ajaran-ajaran Islam.
Namun di sisi lain, hak kebebasan berpendapat yang sama tidak berlaku bagi umat Islam yang menyuarakan dakwah Islam kafah dan Khilafah. Inilah bukti kecacatan sistem ini. Ada standar ganda di dalamnya. Sistem demokrasi sekuler tidak akan pernah memberi keadilan kepada umat Islam. Sebab, memang tujuan aslinya adalah untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan umat dari syariatnya.
Para agen Barat melalui penguasa dan pejabatnya tak segan membungkam siapapun yang menghalangi kepentingannya. Syariat dan Khilafah dianggap sebagai musuh yang nyata. Hingga persekusi, kriminalisasi, fitnah terus disebar di media demi tercapai tujuan, yakni umat Islam tak lagi berdakwah. Namun sesungguhnya semua itu hanya untuk menutupi berbagai kebobrokan dan kegagalan mereka. Diantaranya mengguritanya korupsi, terbongkarnya kebobrokan akhlak dan pelanggaran-pelanggaran lain yang tak selayaknya dilakukan oleh pejabat negara.
Para pejabat yang merupakan wakil rakyat seharusnya mampu memberikan teladan kepada rakyatnya. Mereka digaji oleh negara dari uang rakyat. Bukan justru mengeluarkan kata-kata yang menyakiti masyarakat, khususnya Muslim yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini. Sungguh sebuah kezaliman melecehkan Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam.
Khilafah dan jihad memang menjadi momok yang menakutkan bagi Barat. Karena dengan Khilafah dan jihad Barat takkan lagi bebas “menjajah” negeri-negeri muslim sebagaimana hari ini. Tak heran Barat kemudian menggencarkan usahanya untuk menghambat dakwah Khilafah, melalui agen-agen mereka di negeri-negeri Muslim. Salah satunya dengan memonsterisasi Khilafah.
Islam Melahirkan Pejabat yang Berakhlak Mulia
Membaca lembaran-lembaran sejarah Islam, kita akan mendapati para pemimpin yang kanaah, zuhud, tawaduk, dan ikhlas. Hidupnya dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah Swt. Tutur katanya senantiasa dibasahi dengan zikir. Kebijakan yang diterapkan berpihak pada kepentingan rakyatnya. Jika pun pelanggaran hukum syarak terjadi, istigfar dan tobat menjadi solusi.
Hal ini terjadi karena para pemimpin dalam sistem Islam lahir dari ketakwaan individu. Artinya para pemimpin Islam tersebut dididik dan dibina dengan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah. Wajar jika dari sistem ini lahir para pemimpin dan pejabat yang takut kepada Allah. Mereka senantiasa menjadikan Al Quran sebagai pegangan.
"Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An Nahl: 50).
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS. Al-Anbiya: 90).
Tinta emas sejarah Islam mencatat para sahabat, generasi tabiin, tabiut tabiin, serta para khalifah dengan kepribadian yang luar biasa. Sebut saja generasi sahabat Rasulullah Saw. para Khulafaur Rasyidin. Kemudian di masa generasi selanjutnya ada Umar bin Abdulaziz, Harun Al Rasyid, Salahuddin al Ayyubi, Muhammad al Fattih, Sultan Abdul Hamid II, dan masih banyak lagi. Ketawadukan, kecerdasan, serta kebijaksanaan dalam memimpin rakyat, tak diragukan lagi. Kesantunan dalam bertutur kata, tegas dalam menyampaikan kebenaran, sulit didapatkan di masa sekarang.
Alhasil hanya dalam sistem Khilafah lah para pemimpin dan pejabatnya akan senantiasa menjaga lisan dan sikap secara baik. Sistem Islam mendorong seseorang untuk terus berada dalam ketaatan, bukan kemaksiatan. Sedangkan sistem demokrasi sekuler hanya melahirkan pemimpin serakah, gila jabatan, korup dan lain-lain. Sudah selayaknya kita tinggalkan demokrasi dan perjuangkan Islam kafah. Wallahu alam bissawab.
0 Komentar