Reporter: Noor Hidayah
#Reportase - Berbagai kasus kekerasan serta pelecehan terhadap anak dan perempuan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kembali marak belakangan ini. Di Pondok Aren, seorang anak usia 4 tahun dibanting ke lantai oleh orang tua angkatnya (metro.sindonews.com). Seorang istri di Kelurahan Kademangan dianiaya suaminya di depan anaknya hingga viral di media sosial (halobanten.com). Di Serpong, seorang anak menjadi korban perundungan dan kekerasan temannya (tribunnews.com). Hal ini menginspirasi sekelompok Muslimah Kota Tangsel untuk mengadakan acara Diskusi Konstruktif bertema “Menata Kota Layak Anak Perspektif Islam” pada Sabtu (26/11).
Acara yang dihadiri para tokoh Muslimah Kota Tangsel ini mendatangkan dua Pembicara yaitu Dra. Irma Safitri (Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak) dan Reni Tri Yuli Setiawati, S.Si (Jurnalis). Irma mengungkapkan kasus kekerasan dan pelecehan sudah terjadi sejak dulu. Saat ini negara memberi perlindungan terhadap hak anak dengan berbagai peraturan. “Dalam UU Nomor 35/2014 tentang Perubahan Pertama Atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. Kebijakan yang dimaksud terwujud melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota Layak Anak,” ujar Irma. Kota Tangsel sendiri berhasil memperoleh penghargaan KLA kategori Nindya pada tahun 2019, 2021, dan 2022. Irma menyampaikan ada 4 (empat) pilar pembangunan anak berdasarkan UU Nomor 35/2014 Pasal 72 yakni Pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan media. Terakhir, Irma menjelaskan bermacam kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan KLA. “Belum optimalnya koordinasi pengumpulan data seluruh pihak, kurangnya anggaran, minimya peran dunia usaha serta perlunya koordinasi beberapa indikator yang menjadi kewenangan provinsi, merupakan hal yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan KLA,” pungkas Irma.
Pembicara kedua, Reni menyampaikan bahwa akar masalah dalam kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan perempuan antara lain adanya disfungsi keluarga, kurangnya kontrol masyarakat, bebasnya tayangan di media massa yang memicu budaya kekerasan, serta negara yang menerapkan sistem yang tidak kapabel, menguatkan nilai HAM, liberalisme, kapitalisme, demokrasi, serta tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar secara maksimal. “Perlu ada penjagaan hakiki kepada anak dari keluarga, masyarakat, dan negara. Inilah yang ditawarkan Islam sebagai solusi atas berbagai kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi,” jelas Reni. Penerapan berbagai sistem secara menyeluruh dalam Islam seperti sistem ekonomi, Pendidikan, sosial maupun sanksi, menjadi mekanisme negara dalam mengatasi permasalahan kekerasan dan pelecehan; tidak hanya terhadap anak dan perempuan namun terhadap semua kalangan. Lebih lanjut Reni mengungkapkan bahwa KLA adalah bagian dari agenda global sekulerisme-kapitalisme yang telah nyata menghasilkan kemiskinan, ketimpangan, dan sulitnya negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warga termasuk anak-anak. Di akhir paparan, Reni menyimpulkan bahwa KLA adalah konsep yang lahir dari ide Barat yaitu sekulerisme-kapitalisme yang dikokohkan oleh UNICEF untuk melanggengkan hegemoni negara adikuasa, nilai sekulerisme yang gigih ditanamkan adalah HAM dan kesetaraan gender serta kapitalisme melalui pendekatan bottom up, dan seorang Muslim seharusnya hanya mengimani bahwa Islam adalah sistem terbaik untuk mengatur seluruh lini kehidupan.
Acara ditutup dengan foto dan makan siang bersama. Para peserta sepakat bahwa Islamlah solusi hakiki permasalahan kekerasan dan pelecehan yang ada di masyarakat sehingga perlu ada penerapan aturan Islam secara kaffah dalam bingkai daulah (negara).
0 Komentar