Hiruk pikuk kehidupan dunia sering membuat manusia terlena. Terlena bahwa dunia adalah fana. Karena sejatinya dunia hanya jembatan untuk menuju surga-Nya. Bukan tujuan yang harus mati-matian diperjuangkan. Diantara hiruk pikuk urusan dunia yang melenakan adalah keberadaan anak-anak.
Anak merupakan mutiara dan kesayangan orangtua. Berharap anak keturunannya kelak berhasil meraih cita-cita yang tinggi. Tidak ada orangtua waras yang sengaja menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Maka dari itu orangtua kemudian berusaha, bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan buah hatinya. Mulai dari pangan, sandang, papan, kepentingan pendidikan dan fasilitas kehidupan lainnya. Namun kadang lupa, bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan mereka anak-anak yang saleh dan salihah.
Pemuda Saat Ini
Derasnya arus globalisasi hari ini, memaksa orang tua harus ekstra waspada. Budaya Barat terus memborbardir pemikiran generasi muda dari berbagai arah dan dengan berbagai bentuk. Bahkan banyak dana yang digelontorkan untuk memuluskan program-program mereka. Ini bukti, bahwa budaya Barat yang merusak ini, sengaja di aruskan dan pemuda muslim lah yang menjadi sasarannya.
Seperti maraknya pemuda gemulai yang menyukai sesama jenis. Perbuatan keji kaum Nabi Luth As ini sengaja dipropagandakan secara masif di kalangan pemuda agar mereka menerima dan lama-lama mengikuti. Atau kasus narkoba di kalangan remaja, yang sampai pada status darurat narkoba untuk wilayah Jakarta. Hingga memunculkan wacana perlunya melakukan tes urin rutin setiap bulan di kampus-kampus. Belum lagi efek negatif dari media sosial dengan segala informasinya yang tak terbendung, termasuk yang sifatnya merusak.
Lambat laun terkikislah jati diri generasi muda. Hari-harinya disibukkan pada aktivitas hura-hura atau fokus mengejar dunia. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orangtua mengatur ulang, bagaimana mendidik dan mengarahkan anak-anaknya pada khususnya dan pemuda pada umumnya. Karena mereka adalah penerus estafet perjuangan, penentu nasib bangsa ini ke depan. Apalagi Indonesia diberikan nikmat oleh Allah Swt, berupa bonus demografi. Yaitu mayoritas penduduknya diisi generasi muda yang masih sangat produktif. Ini adalah potensi yang harusnya dibangun dengan serius, jika ingin negeri ini berubah menuju ke arah yang lebih baik.
Aqidah, Landasan Anak (Pemuda) Saleh
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah tercinta,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila seorang Anak Adam telah mati, maka terputus amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan untuknya” (HR. Bukhari – Muslim).
Salah satu poin penting dalam hadis di atas adalah membentuk anak yang saleh. Sehingga harusnya upaya pendidikan difokuskan dalam rangka menjadikan mereka anak yang saleh dan salihah, apapun sarana dan prasarana yang digunakan.
Untuk menjadikan anak-anak saleh dan salihah, maka yang harus dipegang adalah landasannya, yaitu akidah. Karena atas dasar akidah itulah, pemahaman seseorang dibangun. Dari pemahaman tersebut, akan lahir perilaku. Bagaimana dalam setiap perilakunya didasarkan pada pemahaman akidah yang benar. Saat anak pergi mengaji, dorongannya adalah keimanan, bukan karena paksaan. Saat pergi ke sekolah, motivasinya adalah iman, bukan karena sekedar ikut-ikutan. Begitu pula saat bermain, anak paham bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis, tidak berkata kotor, kasar dan sebagainya.
Akidah atau keimanan ini merupakan landasan untuk membangun kepribadian anak, baik dari cara berpikir maupun bersikap, yang kesemuanya harus sesuai dengan syariat. Layaknya dahulu Rasulullah saw membangun karakter para sahabat. Para sahabat bukan manusia yang cengeng, tapi mereka adalah manusia tahan banting yang tidak terpengaruh pada situasi, kondisi maupun materi.
Sebut saja keberanian Usamah bin Zaid yang dipercaya Rasulullah saw menjadi komandan pasukan kaum muslimin saat menyerbu wilayah Syam pada usia 18 tahun. Atau semangatnya Abdullah bin Umar yang saat itu masih berumur 13 tahun. Ia meminta pada Rasul agar diijinkan untuk mengikuti perang Badar walaupun akhirnya dilarang karena masih sangat belia.
Terlihat pula bagaimana Talhah bin Ubaidillah yang pada perang uhud berjanji pada Rasul, bahwa ia akan mati di jalan Allah swt demi melindungi utusan Allah Swt tersebut. Ia melindungi Nabi dengan tubuhnya, hingga belati dan panah melesat dan membuat jarinya lumpuh. Saat itu Talhah bin Ubaidillah berusia 16 tahun.
Karakter-karakter seperti sahabat inilah yang harus ditanamkan kepada anak-anak. Bagaimana menyiapkan mereka menjadi pejuang Islam. Orang tua pun harus lebih giat lagi mencari ilmu agar dapat mendidik dan mencetak anak-anaknya menjadi anak saleh dan salihah, harapan masa depan. Wallahualam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar