Menyoal Narasi “Nyeleneh” Islam Wasathiyah




Oleh Karina Fitriani Fatimah

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)


#TelaahUtama- Narasi basi nan nyeleneh Islam Wasathiyah kembali dimunculkan rezim. Konsep Islam “jadi-jadian” ini tidak hanya diobral oleh para pengusung moderasi Islam di ruang lingkup domestik dan regional, tetapi bahkan sampai pada ranah global. Hal ini tampak dari pidato kunci yang disampaikan Wapres Ma’ruf Amin dalam Abu Dhabi Forum for Peace ke-9 (Selasa, 08/11/2022) yang secara gamblang mengajak masyarakat internasional menerapkan moderasi beragama guna menjaga perdamaian dunia di tengah lingkungan global dan regional yang berubah cepat. Dimana ia mengimbau masyarakat internasional terus mendorong diplomasi Islam Wasathiyah, Islam yang rahmatan lil ‘alamin (versi kaum moderat) bagi dunia internasional.


Para pengusung moderasi beragama seperti halnya Wapres Ma’ruf Amin, berdalih bahwa Islam Wasathiyah merupakan konsep “unik” umat Islam Indonesia yang bersedia menerima perbedaan suku, etnis, budaya serta agama dalam kehidupan bermasyarakat. Berbeda dengan Islam Arab yang disebut-sebut para pejuang moderasi sebagai biang kerok berbagai konflik di wilayah Teluk, Islam Wasathiyah versi Indonesia diklaim mampu menjadi solusi dari masalah perdamaian global. 


Islam Wasathiyah yang dianggap mampu menjaga kerukunan dan perdamaian dunia, diharuskan bertumpu pada sikap toleransi baik antar kelompok Islam maupun antar agama. Dimana menurut para pemujanya konsep ini menjadikan Islam Indonesia berada di “jalan pertengahan”, tidak memihak pada dua kubu ekstrem (kanan dan kiri) dan bersikap tawazun (seimbang). Hal ini kemudian mewajibkan Islam menjadi kubu “netral” dan mengharamkan umat Islam “ekstrem” nan “radikal”.


Konsep “Keblenger” Jalan Tengah dan Toleransi dalam Islam Wasathiyah


Para pejuang moderasi beragama senantiasa memunculkan kecurigaan pada agama (Islam) sebagai sumber konflik. Agama kemudian dianggap sebagai awal dari munculnya ekstremisme dan radikalisme, yang katanya harus dilawan dengan Islam “jalan pertengahan”. Katanya lagi, ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia adalah ajaran yang menjunjung tinggi sikap toleransi dan “legowo” dalam menerima perbedaan termasuk perbedaan agama. Lebih lanjut mereka menyebutkan bahwa Islam yang penuh dengan kekerasan seperti halnya “Islam Arab” ataupun Islam yang mengajarkan konsep jihad dan Khilafah sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Benarkah demikian?


Pembenaran yang dilakukan para pengusung narasi Islam Wasathiyah guna mengobral ide rusak ini sesungguhnya tidak lain adalah fitnah besar. Kampanye Islam “jalan tengah” semacam ini tidak lain adalah upaya meredam kekuatan Islam agar tidak tampil menjadi solusi praktis permasalahan umat manusia. Mereka pun mencampuradukkan “adaptasi” Islam terhadap perkembangan zaman dalam menghukumi fakta yang ada sebagai bentuk ketundukan fikih Islam terhadap fakta tersebut. Artinya, fikih Islam dipaksa tunduk pada realitas yang rusak yang secara pasti tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan umat.


Celakanya konsep Islam “jalan tengah” yang dimunculkan kaum moderat justru tidak bersumber pada Alquran dan assunnah, melainkan berasal dari ide toleransi paham kapitalis-liberal. Dimana ide toleransi yang dipaksakan pada umat Islam ini berasaskan pada 3 (tiga) gagasan pokok Barat, yakni sekularisme, relativisme, serta pluralisme dan demokrasi.


Islam “siluman” Wasathiyah yang diagung-agungkan kaum moderat mengharuskan Islam terpisah dari kehidupan umat kecuali aspek ritual semata, atau biasa disebut sebagai sekularisme. Dengan demikian mereka membatasi ruang gerak Islam hanya pada area masjid atau tempat peribadatan saja. Islam-sekular yang katanya mampu menciptakan kerukunan dalam bermasyarakat, dilarang untuk tampil di area publik terutama dalam aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Yang kemudian ajaran Islam hanya diperkenankan menjadi konsumsi pribadi tiap-tiap individu dan tidak boleh bersinggungan dengan kehidupan bermasyarakat apalagi bernegara.


Tidak hanya itu, Islam kemudian diwajibkan tunduk pada konsep relativisme (nisbiyyah) yang menganggap nilai-nilai kebenaran bersifat relative dan tidak mutlak. Artinya, nilai kebenaran yang disampaikan di dalam Alquran dan assunnah dianggap tidak mutlak pula. Dari sini kita melihat bagaimana kemudian dengan mudahnya kaum moderat mengobrak-abrik syariat Islam dan menginterpretasikan fikih Islam sesuai dengan hawa nafsu mereka. Bahkan parahnya lagi, mereka menganggap Islam tidak selamanya benar dan membuka peluang adanya revitalisasi fikih serta syariah.


Ironisnya lagi Islam lantas disandingkan dengan konsep “rusak” pluralisme dan demokrasi. Dimana mereka memaksa umat Islam untuk menerima segala perbedaan budaya dan adat istiadat yang ada di tengah-tengah masyarakat bahkan yang merusak sekalipun. Islam pun dipaksa untuk merangkul kaum marginal semacam para penganut sesat Ahmadiyah dan L98TQ. Yang kemudian hukum-hukum Islam yang dianggap “tidak bersahabat” dengan kaum minoritas tersebut harus disesuaikan guna mencapai kerukunan dan perdamaian masyarakat.


Dari sini terlihat jelas bagaimana narasi Islam Wasathiyah kian menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus dan mulia. Kaum moderat bahkan secara nyata berupaya merusak akidah umat dengan berbagai propaganda dan jargon “menyejukkan” semisal “Islam damai”, “Islam tanpa kekerasan” atau “Islam untuk semua agama”. Pada akhirnya Islam “jadi-jadian” semacam ini justru memutilasi Islam dan menguatkan Islamophobia (ketakutan pada Islam kafah).


“Perang Istilah” dalam Narasi Islam Wasathiyah


Penamaan Islam Wasathiyah yang senantiasa dibenturkan dengan istilah Islam radikal ataupun Islam ektremis, sengaja dibuat oleh kaum moderat agar kaum muslim inferior dengan agamanya sendiri. Perang istilah ini sengaja diciptakan guna menjatuhkan mental umat yang kemudian menimbulkan ketakutan pada penerapan Islam kafah. Lebih lanjut, para pengusung moderasi beragama memprovokasi kaum muslim agar tidak mencintai agamanya dan tidak menginginkan kembalinya peradaban Islam di tengah-tengah kehidupan mereka. 


Perang istilah ini sesungguhnya meliputi dua hal, yakni “taqbiihul hasan” dan “tahsiinul qabiih”.  Yang berarti ada upaya dari kaum liberal-moderat untuk mempersepsikan sesuatu yang buruk dalam Islam sebagai hal positif dan mencitrakan hal yang mulia di dalam Islam sebagai sesuatu yang merusak. Seperti halnya konsep jihad yang saat ini dianggap tidak selaras dengan upaya menegakkan perdamaian dunia dan harus dihilangkan dari kurikulum pendidikan Islam. Pun dengan konsep Khilafah yang dikonsepsikan sebagai sesuatu yang asing bagi umat dan dianggap tidak selaras dengan perkembangan zaman.


Di sisi lain ide-ide rusak yang berasal dari Barat kemudian justru dipoles sedemikian rupa agar terlihat baik. Semisal berbagai aktivitas ekonomi semacam riba, asuransi ataupun dunia saham di sistem kapitalis yang dilabeli syariat padahal secara nyata bertentangan dengan hukum Allah. Ataupun sistem busuk demokrasi yang jelas-jelas menuhankan hukum buatan manusia, dianggap berkesesuaian dengan konsep musyawarah dalam Islam bahkan dianggap berasal dari Islam.


Dengan demikian kita melihat secara nyata bagaiman para pengusung Islam Wasathiyah berusaha merevisi Islam yang berasaskan Alquran dan assunnah. Mereka dengan lantang menggugat status kafir dan munafik yang telah Allah berikan dan menganggap hal tersebut sebagai bibit-bibit perpecahan. Bahkan mereka tidak segan menggugat kualifikasi dan status “khairu ummah” (umat terbaik) bagi kaum muslim yang berupaya keras menghidupkan kembali peradaban Islam. Mereka justru menganggap seluruh agama itu sama dan Islam tidak lebih baik dari agama maupun sistem kehidupan lainnya. Sungguh, ini adalah fitnah besar yang menimpa kaum muslim!

Wallahu a’lam bi ash-shawab.



Posting Komentar

0 Komentar