Pertemuan Empat Mata Indonesia-AS dalam Agenda G20: Hubungan Bilateral Rasa Unilateral

 



Oleh Anggun Permatasari


#Analisis - Presiden Joko Widodo bertemu empat mata dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, di sela-sela KTT G20 di Bali, Senin (14/11/2022). Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin membahas 12 hal. Berdasarkan rilis resmi Gedung Putih, AS akan terus mendukung Indonesia. Biden mengatakan bahwa Indonesia adalah mitra penting AS dan dia siap memasuki kemitraan yang lebih transformatif (cnbcindonesia.com, 14/11/2022).


Masih dikutip dari laman cnbc.indonesia.com, 14/11/2022, dua belas poin tersebut adalah Millennium Challenge Corporation (MCC) Compact, Ketahanan Maritim dan Keanekaragaman Hayati Laut, Carbon Capture, Pengembangan Kapasitas Penjaga Pantai, Investasi Rantai Pasok dan Ketahanan Pangan, Penanganan Limbah Plastik, Transportasi Hijau, Investasi Teknologi Energi, Kelestarian Keanekaragaman Hayati, Program Pendidikan, Uji Coba Teknologi Medis dan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).


Pencitraan Semu Tanpa Kemandirian


Jika dicermati lebih dalam, dua belas poin yang dibahas tersebut justru merupakan potensi dan sumber daya vital negara yang seharusnya dikelola secara mandiri, seperti minyak bumi dan gas (migas), hal-hal yang berkaitan dengan perbatasan serta ketahanan pangan. Memberikan ruang bagi negara lain untuk ikut mengelola SDA, faktanya justru melegalkan mereka mengeruk harta milik rakyat. Bahkan yang terjadi saat ini adalah pihak asinglah, terutama AS sebagai negara adidaya yang mendominasi kebijakan dan kepemilikan sumber daya strategis milik rakyat.


Atas nama investasi, sumber daya migas di Indonesia dikuasai lima perusahaan asing yakni British Petroleum (BP), Chevron, ExxonMobil, Petronas dan Premier Oil (bisnis.com, 21/6/2022). Publik tahu Chevron dan ExxonMobil merupakan perusahaan raksasa milik AS. 


Belum lagi masalah pangan yang merupakan bagian dari kebutuhan utama rakyat. Kerja Sama Kesehatan dan Keamanan Pangan antara Indonesia dan negara-negara di ASEAN tidak lebih hanya untuk melanggengkan eksistensi AS dan sekutunya. Dilansir dari situs kemlu.go.id, 3/8/2022, ditulis bahwa di bawah agenda external relations, Menlu Retno menyampaikan rencana peluncuran kemitraan Komprehensif Strategis ASEAN – AS pada KTT bulan November. Status Kemitraan baru tersebut merupakan berkontribusi terhadap perdamaian, stabilitas dan kemakmuran Indo-Pasifik.


Dalam pertemuan G20 lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken juga mengapresiasi kepemimpinan Indonesia di G20. Blinken memuji upaya Indonesia memastikan slogan G20 yakni “Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat” untuk bisa terwujud (Republika.com, 8/7/2022).


Padahal sejatinya, kedudukan Indonesia yang notabene adalah negara berkembang hanya sebagai tujuan pasar bagi negara-negara produsen. Hal itu dilihat dari potensi negeri zamrud khatulistiwa dengan 270 juta penduduk juga sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Alih-alih memperbaiki kondisi negeri, AS dan sekutunya malah semakin mencengkramkan kuku-kukunya di wilayah NKRI.


Wilayah perbatasan baik daratan maupun perairan seharusnya dikelola secara mandiri. Karena melalui pintu-pintu perbatasanlah akan masuk pengaruh buruk atau serangan baik langsung maupun tidak langsung terhadap negara. Fakta hari ini sungguh menyayat hati.


Beberapa waktu lalu terjadi ketegangan antara China dan Amerika Serikat (AS) di Laut China Selatan (LCS). Militer China mengatakan telah mengusir kapal perang AS yang masuk secara 'ilegal' ke perairannya (cnbc.com, 13/7/2021). Melansir Reuters, wilayah itu berada di dekat Kepulauan Paracel. China menyebut kapal Angkatan Laut AS, Benfold, memasuki wilayah mereka tanpa persetujuan Beijing. Batas LCS antara Indonesia dan Cina juga masih diperdebatkan.


Di wilayah daratan, Menurut kompas.com, 6/4/2010, Batam merupakan pintu masuk narkoba dari wilayah Malaysia. Selain itu, Batam merupakan salah satu pintu masuk perdagangan orang di Indonesia, miris. Hal tersebut terjadi karena lalainya negara dalam membangun dan memperhatikan kawasan perbatasan.


Banyak pihak menilai bahwa Presidensi G20 membawa dampak positif bagi Indonesia, baik dalam bidang perekonomian nasional maupun posisi Indonesia di mata dunia. Dilansir dari laman berita ekon.go.id, 10/11/2022, 

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso selaku Sekretaris Gabungan Finance Track dan Sherpa Track Presidensi G20 Indonesia menuturkan bahwa, salah satu keuntungan yang ditunjukkan adalah KTT G20 Sumbang Rp7,4 triliun terhadap Produk Domestik Bruto.


Kenyataannya, berdasarkan temuan Riset Ekonom Universitas Indonesia menunjukkan bahwa untuk jamuan tamu negara yang hadir pada pertemuan G20 di Indonesia diperkirakan menghabiskan dana sekitar Rp10 triliun (cnbcindonesia.com, 11/11/2022). 


Dari fakta-fakta di atas, jelas bahwa berbagai bentuk kerja sama yang dibangun baik bilateral maupun multilateral dalam naungan sistem demokrasi kapitalisme saat ini semu dan tidak solutif. Indonesia justru semakin masuk dalam jebakan utang dan pengaruh asing. Sadar atau tidak, mereka justru mendominasi setiap langkah yang diambil dan kebijakan yang dibuat.


Alih-alih menjadi singa di mata dunia, Indonesia tidak lebih hanya bebek yang selalu "diangon" tuannya. Alih-alih mencari solusi konkret atas berbagai permasalahan rakyat saat ini, pemerintah malah menambah beban rakyat. Atas nama investasi utang kian menjulang, integritas malah tergadai.


Menjadi Terdepan dengan Islam


Perhelatan G20 sesungguhnya tidak membawa keuntungan apapun bagi Indonesia. Keberadaan Indonesia dalam G20 ini tidak lain karena negeri dengan pemeluk Islam terbesar ini mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang berakibat pada langkah politik luar negeri yang salah. Padahal Islam memiliki sistem politik khas dan kuat.


Dalam sistem Islam, melakukan kerja sama dengan pihak luar tidak boleh sembarangan. Pemimpin negara wajib terikat dengan hukum Islam yakni Al Quran dan assunnah. Politik luar negeri Islam membuat negara menjadi negara yang independen dan bermartabat, tidak bergantung dengan negara lain, apalagi negara kafir.


Sistem Islam mengatur siapa saja negara yang boleh/tidak boleh diajak bekerja sama. Kafir harbi (negara yang memusuhi Islam), adalah negara yang tidak diperkenankan untuk menjalin kerja sama apapun. Untuk kerja sama yang dilakukan dengan selain kafir harbi tidak boleh melanggar syariat Islam, seperti utang berbasis riba juga investasi yang ternyata menjual aset dan SDA milik rakyat kepada individu dan korporasi.


Rasulullah SAW, para sahabat dan Khalifah sesudahnya telah mencontohkan bagaimana sistem Islam menjadikan negara kuat dan memiliki integritas. Dengan asas Islam sebagai pandangan hidup yang memiliki sistem aturan lengkap, negara akan dihormati dan disegani negara lain.


Selain itu, menjaga perbatasan negeri sangatlah penting dalam kacamata politik pertahanan Islam dan terdapat keutamaan untuk melakukan penjagaan di wilayah ini. Allah SWT berfirman dalam Al Quran yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung" (QS. Ali Imran 200).


Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Ribath (menjaga perbatasan wilayah Islam dari serangan musuh-musuh Islam) sehari semalam lebih baik dari pada puasa sunnah dan shalat sunnah sebulan penuh, dan jika seorang murabith mati di tengah ia melakukan ribath, maka amal perbuatannya itu akan terus berpahala, dan ia diberikan rezekinya di surga kelak, serta tidak ditanya di dalam kubur (oleh malaikat munkar dan nakir)” (HR. Muslim).


Oleh karena itu, dengan sistem Islam negara akan terjaga dari pengaruh sistem politik dan kerja sama yang membuatnya bertekuk lutut pada musuh. Dengan kembali pada Islam, Indonesia akan mandiri dan menjadi Singa di hadapan kafir penjajah, wallahualam bishawab.


Posting Komentar

0 Komentar