Pemutusan Hubungan Kerja (PKH) massal tengah terjadi di perusahaan besar dunia. Sebut saja Meta, perusahaan besutan Mark Zuckerberg November ini telah memberhentikan sebanyak 13 persen pegawainya. Dikabarkan ia sebetulnya sedih karena setelah pandemi berakhir perusahaannya justru mengalami kerugian yang tidak sedikit dan harus memberhentikan sekitar 11.000 tenaga kerjanya.
Tidak berbeda dengan Twitter, tak lama setelah dibeli oleh Elon Musk, justru di awal November 2022 ia memberhentikan hampir setengah karyawannya, yang jumlahnya ribuan, dalam rangka untuk memotong biaya operasional. Diketahui pemotongan itu terjadi ketika ia berusaha meningkatkan laba perusahaan setelah mengambil pembiayaan utang yang signifikan dalam rangka mendanai akuisisinya senilai 44 miliar dolar AS.
Begitu juga dengan Microsoft, Lyft, Shopee, Snapchat juga Netflix, perusahaan yang mendunia ini akan memberhentikan ribuan karyawannya. Dikabarkan pula Intel pun juga akan melakukan PHK ribuan tenaga kerjanya. Gelombang PHK ini juga berimbas ke Indonesia. Jumlah pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya dilaporkan mencapai 70 ribu orang.
Terdapat sepuluh pabrik tekstil di Subang, Jawa Barat dilaporkan telah melakukan PHK dengan total sebanyak 14.029 orang pekerja dan dikabarkan angka tersebut bisa saja akan semakin besar. Pabrik-pabrik garmen ini biasanya mengekspor produknya ke Amerika dan Eropa. Namun saat ini dibarengi dengan adanya krisis, maka banyak yang membatalkan pesanannya.
Hal yang sama juga terjadi di Sukabumi, di mana terdapat 19 ribu pekerja dari pabrik tekstil telah dirumahkan. Dikabarkan Sukabumi merupakan daerah tertinggi yang melakukan PHK pada karyawannya.
Begitu juga perusahaan operator telekomunikasi seluler, Indosat Ooredoo Hutchison juga akan memutuskan hubungan kerja pada sekitar 300 karyawannya. Sedangkan platform perdagangan aset kripto, Tokocrypto telah mengurangi 20 persen karyawannya.
PHK Masal di Indonesia
Gelombang PHK dari banyak perusahaan besar dunia menular ke Indonesia. Dilihat dari data BPS menyebutkan bahwa angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2022 mencapai 8,42 juta orang yang jumlah itu meningkat sekitar 20.000 jiwa bila dibanding bulan Februari 2022.
Sesunggunya maraknya PHK di negeri ini justru terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali ke level pra pendemi, yakni 5 persen. Sayangnya pertumbuhan tersebut tidak mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Sementara itu Oktober lalu, Bhima Yudistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) sudah memprediksi bahwa PHK besar-besaran akan terjadi karena tanda-tandanya telah terlihat.
Salah satu tandanya tercermin dari indikator perekonomian melemah dan menekan berbagai sektor. Tanda berikutnya adalah melemahnya minat konsumen dalam berbelanja yang bisa dilihat dari indeks harga konsumen yang menurun. Termasuk naiknya bahan baku dan biaya logistik.
Bhima menyatakan bahwa semua itu mengarah pada stagflasi, maksudnya adalah pada kenyataanya inflasi tinggi namun serapan tenaga kerja tidak banyak dan pendapatan masyarakat tidak mampu mengimbanginya. Ia juga memberikan saran pada pemerintah untuk memangkas relaksasi PPN dari 11 persen menjadi 8 persen, karena kondisi APBN sedang surplus.
Dengan melihat inflasi pangan sehingga terjadi penekanan daya beli masyarakat, pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi menegaskan agar pemerintah serius melakukan stabilitas pangan dan politik.
Alasan Melakukan PHK
Disinyalir, badai pemutusan hubungan kerja massal ini diakibatkan karena pertama, adanya penurunan permintaan pasar ekspor bahkan mencapai 50 persen. Hal ini dipicu dari perlambatan ekonomi di negara tujuan ekspor. Belum lagi hiperinflasi saat musim dingin mengakibatkan rakyat di negara tujuan ekspor megutamakan membeli makanan dan energi.
Kemudian kedua, menurut vice president corporate communications Tokocrypto, Rieka Handayani bahwa keputusan PHK diambil karena perusahaan melakukan perubahan strategi bisnis. Begitu juga yang dilakukan oleh Shopee Indonesia, mereka melakukannya sebagai strategi efisiensi perusahaan di tengah persaingan bisnis e-commerce yang ketat.
Begitupula yang terjadi pada perusahaan rintisan dalam negeri, Bukalapak. Startup Unicorn ini melakukan langkah efisiensi pada perusahaannya dengan cara memberhentikan ratusan karyawannya. Kabarnya efisiensi tersebut dalam rangka untuk mengejar predikat yang lebih tinggi lagi, yaitu Decacorn yang mempunyai valuasi mencapai 10 miliar dolar AS bila sebelumnya hanya mencapai 1 miliar dolar AS.
Rakyat Menjadi Korban
Di sini terlihat bahwa rakyatlah yang menjadi korban dari industri berbasis ideologi kapitalistik. Rakyat hanya diperas keringatnya untuk kepuasan para kapital. Asas manfaat yang menjadi landasan. Bila tidak lagi mendatangkan manfaat, maka dihempaskan. Tidak memperdulikan bagaimana nasib mereka ke depan.
Lebih miris lagi, UU Cipta Kerja yang telah disahkan justru berpihak pada si empunya modal. Sehingga perlindungan pada pekerja pun tidak ada penjaminan. Sedangkan negara tidak ada peran dalam melindungi rakyatnya.
Dalam sistem ekonomi Islam antara penyerapan tenaga kerja dan perputaran roda ekonomi seharusnya berjalan stabil. Negara harus mempersiapkan manusia-manusia beriman untuk mempunyai keahlian.
Dengan keahliannya mereka membuka lapangan pekerjaan untuk menyerap tenaga kerja. Industri yang akan dijalankan pun tetap berdasarkan syariat. Haram hukumnya menzalimi manusia lainnya. Sistem ekonomi yang dijalankan pun bukan ribawi, tapi berpijak pada ekonomi real dan cenderung tahan akan krisis.
Inilah gambaran kebusukan ekonomi kapitalisme yang manis di luar tapi busuk di dalam. Sehingga tidak sedikit manusia yang terjebak dan tertipu olehnya. Berusaha untuk memperjuangkan mati- matian hingga darah penghabisan. Padahal yang diperjuangkanya itu sesuatu yang jangankan masuk akal, justru akan mendatangakan mudarat yang lebih besar. Lalu apakah kondisi yang demikian akan terus dipertahankan?.
Wallahu’alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar