#EDITORIAL — Meski pemilu masih 2 tahun lagi, tetapi suhu politik sudah mulai terasa panas. Partai politik tampak saling bermanuver untuk memastikan kemenangan ada di tangan. Bisa dibayangkan ramainya pemilu 2024 mendatang. Ada 18 parpol yang lolos administrasi, 9 di antaranya sedang melalui tahap verifikasi faktual.
Di tengah proses menuju 2024 itu, relawan politik pun mulai bermunculan, tentu dengan membawa berbagai kepentingan. Selain menjadi penggembira, tidak sedikit dari mereka yang cenderung memicu adu domba. Menjodoh-jodohkan tokoh partai, membuat suasana makin panas. Narasi politik identitas pun mulai diawas-awas.
Mirisnya, persaingan tidak hanya terjadi antar partai, tetapi terjadi pula di internal partai. Ada yang berakhir pecah kongsi, hingga berbuntut pecah parpol. Yang sedang heboh terjadi, kasus PDIP yang digoyang isu pencapresan. Ada kubu Puan yang disebut-sebut pemilik trah baju merah, dan kubu Ganjar yang dipandang melawan titah.
Ancaman Polarisasi
Banyak yang khawatir, “panas” di level elit ini akan merembet liar ke level bawah. Maklum pemilu serentak 2019 telah memberi bangsa ini pengalaman super pahit. Polarisasi yang terjadi saat itu sedemikian sengit, hingga persatuan bangsa benar-benar terkoyak begitu parah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, polarisasi sendiri diartikan sebagai pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Dalam hal ini, polarisasi yang terjadi didasarkan pada urusan berebut kekuasaan politik.
Bahkan, tidak hanya itu, pemilu 2019 disebut-sebut sebagai pemilu terkelam. Tercatat 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 orang lainnya mengalami gangguan kesehatan. Belum lagi dampak ekonomi dan sosial yang harus dikorbankan. Semuanya tidak bisa dihitung dengan uang.
Pemilu 2019 memang kolosal. Dalam satu hari yang sama, sekira 185 juta rakyat terlibat dalam pemilihan di sekira 800 ribu tempat pemungutan suara. Mereka terlibat lahir batin dalam pemilihan presiden dan anggota DPR di semua tingkatan. Hingga semua effort pun seakan ditumpahkan secara jorjoran.
Pada saat itu, dua kubu parpol yang bersaing mengembangkan politik identitas sebagai strategi pemenangan. Mereka memanfaatkan psikologis massa yang sedang dekat-dekatnya dengan Islam. Maklum, sejak Ahok diketahui melakukan penistaan agama (2016), telah lahir berjilid-jilid Aksi Bela Islam. Lalu situasi pun kian memanas pada Pilkada Jakarta 2017 dan bersisa hingga 2019 dan saat sekarang.
Ndilalahnya, umat saat itu dengan mudah termakan umpan. Keterlibatan tokoh-tokoh agama di antara dua kubu partai menambah berat peta persaingan. Alhasil polarisasi politik terjadi demikian tajam. Kedua kubu saling serang, dan media sosial pun berubah menjadi medan pertempuran. Padahal, mereka yang berseteru, bisa jadi sama-sama Islam.
Saat kecurangan terjadi terang benderang, emosi rakyat demikian disayat-sayat. Namun ironisnya, semua seakan hilang saat perhelatan sudah selesai. Para pemimpin perseteruan justru saling berangkulan dengan pihak seberang. Bahkan, sebagian di antara mereka turut menikmati kue kekuasaan, meninggalkan para pembela yang masygul penuh kekecewaan.
Wajar jika banyak pihak yang menyebut penggunaan politik identitas merupakan sebuah keculasan. Namun, dalam politik demokrasi, cara culas seperti ini memang merupakan keniscayaan. Agama ditolak dalam mengatur kehidupan, tetapi jelang pesta demokrasi, semua kontestan ingin tampak paling agamis dan mengusung agama untuk menarik simpatisan. Mereka tahu, masyarakat masih mementingkan hal-hal artifisial.
Tabiat Demokrasi
Demikianlah tabiat demokrasi yang nyatanya memang tidak kenal halal haram. Terlebih dalam sistem ini, basis perjuangan parpol tidak lain adalah kepentingan. Tidak heran jika ideologi parpol bisa cair secair-cairnya, termasuk partai-partai yang katanya mengusung ideologi Islam.
Saat pesta demokrasi menjelang, apa pun boleh dilakukan, termasuk memanfaatkan agama untuk meraih kekuasaan sehingga polarisasi menjadi hal yang wajar. Boleh juga berkoalisi dengan lawan dalam bentuk penjagoan. Ini karena dalam politik demokrasi, yang abadi adalah kepentingan.
Terkait urusan penjagoan memang tidak bisa dipandang ringan. Salah memilih jago, alamat fatal. Modal yang sudah dikeluarkan parpol dipastikan tidak akan terbayar. Cita-cita partai merebut kursi kekuasaan pun tentu tidak bisa direalisasikan.
Wajar jika parpol besar tidak sungkan-sungkan meminang tokoh popular sebagai magnet pemenangan. Kader, bukan kader, tampaknya tidak lagi soal. Yang penting, punya peluang besar meraih kursi kekuasaan dan di saat sama sang ikon siap komit dengan berbagai arahan.
Oleh karena itu, tingkat elektabilitas alias peluang keterpilihan betul-betul harus diperhitungkan. Kalau perlu, adu baligo di jalan-jalan besar sejak sekarang. Jika banyak modal, lembaga survei dan propaganda media pun siap dimainkan.
Di luar itu, partai yang elektabilitasnya pas-pasan mulai serius melakukan perhitungan, siapa kira-kira yang akan dijadikan kawan perkongsian. Tidak heran jika jelang pemilihan, pertemuan-pertemuan elit politik pun tampak mulai marak digelar. Urusan ideologi, visi misi partai, biasanya diabaikan.
Selain adu tawar, tentu targetnya mengalkulasi berbagai kemungkinan, terutama soal bagi-bagi kue kekuasaan. Jadi jangan heran, jika yang dulu jadi kawan, kini bisa menjadi lawan. Atau sebaliknya yang dulu jadi lawan, kini kenapa tidak menjadi kawan.
Tidak perlu heran pula, mereka yang dulunya bermusuhan, sekarang justru saling erat berangkulan. Rakyat pun dibuat lupa apa yang sebelumnya sudah dikorbankan. Semua ditutup dengan narasi-narasi baru dan berbagai mantra usang tentang ikhtiar meraih kemaslahatan. Lantas politik identitas pun dimainkan sesuai kebutuhan.
Identitas Politik Islam
Politik identitas pada prakteknya memang menimbulkan banyak persoalan. Ini karena politik identitas berarti memanfaatkan identitas agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Misalnya, tingkah politisi atau parpol yang jelang pemilu tiba-tiba kerap berpenampilan Islami, rajin sowan mendekati kyai, santri, dan sejenisnya. Sedangkan di luar itu, mereka tidak peduli dengan umat Islam, bahkan cenderung zalim kepada umat Islam.
Hal ini berbeda dengan yang disebut identitas politik, karena identitas politik adalah jati diri yang semestinya lekat dengan aktivitas politik. Dengan kata lain, identitas politik akan menjadi pembeda antara satu dengan yang lainnya.
Islam sendiri menetapkan bahwa seorang muslim, terutama para politisi, wajib memiliki identitas yang mencirikan ideologinya, yakni identitas Islam. Islam inilah yang menjadi ciri, hingga ia bisa dibedakan dari identitas selain Islam.
Terlebih partai politik Islam, tentu jati dirinya harus tampak kental dengan identitas politik Islam. Identitas ini antara lain nampak pada asas, visi, misi dan aktivitas partai. Asasnya adalah akidah Islam. Visi dan misinya adalah meraih kemuliaan Islam. Sementara itu, aktivitas partainya tentu harus sejalan dengan syariat Islam.
Terkait hal ini Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran: 102)
Juga berfirman,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Melalui dua ayat ini Allah menegaskan pentingnya kaum muslim dan partai politik Islam untuk memiliki identitas yang tegas, yakni identitas Islam. Bahkan, konsistensi atas ideologi Islam ini akan memberi jaminan bagi diraihnya kesuksesan.
Ideologi Islamlah yang selama ini telah menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Bukan hanya dalam skala lokal dan nasional, bahkan skala internasional. Bukan pula hanya sekadar mempersatukan, tetapi berhasil membawa umat kepada ketinggian peradaban selama belasan abad.
Jadi, jika hari ini telunjuk keburukan selalu diarahkan kepada Islam dan umat Islam, jelas itu hanyalah fitnah yang disebar musuh-musuh Islam. Para politisi, parpol Islam, dan umat secara keseluruhan, semestinya kembali pada identitas politik Islam. Bukan malah terus menerus berkubang dalam lumpur demokrasi yang tidak pernah memberi kebaikan. Bahkan, menyebabkan umat terus terpecah belah, dan ajaran Islam dipaksa tunduk berkompromi dengan kekufuran. Wallaahualam. [MNews/SNA]
0 Komentar