Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Pada 22-26 November 2022 silam telah diselenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang dan pondok pesantren Hasyim Asy’ari, Jepara dengan tema “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan”. Kongres ini setidaknya dihadiri oleh para ulama perempuan dari 31 negara dan ratusan ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia. Adapun 5 (lima) isu krusial yang menjadi bahasan utama dalam KUPI II yakni peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.
Dari sini terlihat jelas bahwa yang menjadi isu utama dalam KUPI II tahun 2022 tidak lain adalah isu kekerasan seksual yang marak terjadi dan menimpa kaum perempuan. Yang sesungguhnya pembahasan isu tersebut merupakan follow up dari fatwa yang dikeluarkan dalam KUPI I pada tahun 2017 lalu. Dimana fatwa ini secara khusus menjadi bahan kajian DPR RI dalam menyusun dan merancang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang secara nyata justru menjadi legitimasi liberalisasi seksual di tengah-tengah umat muslim Indonesia.
Pemberlakuan Hukum Positif dalam Isu Kekerasan Seksual, Efektifkah?
Berdasarkan data Komnas Perempuan setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019, dimana jumlah ini naik 6% dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus (kompas.com, 13/8/2020). Sedangkan data pelaporan dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kemen PPPA selama tahun 2020 mencatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban (Kemenpppa.go.id, 15/1/2021). Menimbang tingginya angka kejahatan seksual di Indonesia kemudian membuat banyak pihak termasuk para ulama perempuan yang menghadiri KUPI II beranggapan bahwa pemberlakuan hukum positif yang meregulasi tindak kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat, yakni UU TPKS merupakan hal krusial dalam menjaga kehormatan perempuan.
Namun sayang, bahkan setengah tahun sejak disahkan nyatanya UU TPKS belum memberikan dampak signifikan dalam menekan angka kasus kekerasan seksual di Indonesia. Bisa dikatakan hingga detik ini Indonesia masih dalam kondisi darurat kekerasan seksual, yang dimana korban terbesarnya adalah kaum perempuan dan anak-anak. Pada akhirnya kita melihat bagaimana keberadaan UU TPKS yang dielu-elukan banyak pihak nyatanya tidak mampu menjadi solusi komprehensif dalam menyelesaikan masalah perempuan.
Jika kita cermati sesungguhnya pasal-pasal yang terkandung dalam UU TPKS masih sarat masalah, dimana frasa-frasa yang tercantum di dalamnya berpotensi multitafsir dan memicu ketidakpastian. Aktivitas seksual yang dianggap melanggar hukum positif Indonesia menurut UU TPKS pun hanyalah aktivitas yang berbasis kekerasan, paksaan, atau bertentangan dengan keinginan personal. Artinya, penerapan hukum dalam kasus kekerasan seksual bersandar pada sexual consent antara pelaku dan korban, bukan pada aktivitas seksual itu sendiri. Yang pada akhirnya menjadikan aktivitas seksual tanpa paksaan atau kekerasan tidak masuk dalam pembahasan kejahatan seksual.
Pasal-pasal di dalam UU TPKS memang cukup rinci membahas konsekuensi pidana bagi pelaku kejahatan seksual. Namun jika “pelaku” kejahatan seksual yang dimaksud masih bertumpu pada ada atau tidaknya sexual consent dalam perilaku seksual, mungkinkah aktivitas perzinahan dan perilaku seks bebas bisa benar-benar dihapuskan di negeri ini?
Belum lagi dengan maraknya konten pornografi dan pornoaksi yang secara terang-terangan justru dipublikasikan di berbagai media mainstream dan dipertontonkan di tengah-tengah publik, tentu akan semakin menyulitkan generasi muda dalam melakukan pengendalian nafsu seksual mereka. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika kasus pemerkosaan yang bahkan tidak sedikit justru terjadi di lingkungan rumah atau sekolah kian meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Yang kemudian permasalahan tersebut memunculkan masalah-masalah lain yang tidak kalah peliknya, semisal aborsi, penyakit kelamin dan pernikahan yang tidak diinginkan.
Komitmen negara dalam melakukan “edukasi” seksual sejak usia dini pun nyatanya tidak akan mampu membendung arus liberalisasi seksual di kalangan pemuda. Pasalnya baik kurikulum pendidikan di Indonesia yang mencakup sex education maupun berbagai kegiatan seminar dan penyebaran buku edukasi seksual, menstandarkan pola asuhnya dengan kerangka pemikiran feminis dan liberal. Dimana solusi utama yang diberikan dalam pendidikan sex versi liberal menitikberatkan pada aktivitas seksual yang “aman” dengan penggunaan alat kontrasepsi, bukan dengan memberangus aktivitas seksual di luar nikah secara menyeluruh.
Hukum positif lainnya yang telah lebih dulu dicetuskan daripada UU TPKS pun faktanya tidak menjadi jawaban bagi permasalahan perempuan di Indonesia. Sebut saja pengesahan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang sudah 18 tahun berlaku di Indonesia namun tetap tidak dapat membendung angka kasus KDRT yang dari tahun ke tahun terus merangkak naik. Demikian halnya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah dua kali direvisi tetapi tetap tidak memberikan jaminan keamanan bagi anak bahkan di dalam ruang lingkup keluarga maupun sekolah yang sepatutnya menjadi tempat paling aman bagi mereka. Pun dengan UU No. 21/2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No.44/2008 tentang Pornografi serta KUHP yang ironisnya tidak mampu menghentikan laju kejahatan seksual.
Dari sini kemudian kita dapat menyimpulkan bahwa pemberlakuan UU TPKS yang menjadi titik berat pembahasan KUPI II tidak berkontribusi besar dalam menurunkan angka kekerasan seksual di Indonesia. Celakanya UU TPKS yang tidak lain sedikitnya merupakan hasil rumusan KUPI I justru menjadi jalan kian maraknya legitimasi liberalisasi seksual di tengah-tengah umat, yang kian hari kian menjadikan generasi muda Islam Indonesia terjerumus dalam perilaku seks bebas dan perbuatan laknat lainnya.
Agenda Liberalisasi dalam KUPI II
Fatwa yang dikeluarkan dalam KUPI I yang kemudian ditindaklanjuti dalam isu utama pembahasan KUPI II jelas merupakan bagian dari kampanye Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) yang diluncurkan saat Konferensi ICPD (1994). Dimana Indonesia telah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia kemudian secara terbuka mengimplementasikan seluruh isi konvensi salah satunya dengan pemberlakuan UU TPKS dan melaporkan hasilnya secara berkala kepada Komite CEDAW.
Rekomendasi Umum CEDAW sejatinya mengamanatkan rezim untuk melaksanakan berbagai langkah yang dianggap tepat dan efektif dalam mengatasi segala Kekerasan Berbasis Gender (KBG); membuat peraturan perundang-undangan tentang kekerasan dan penganiayaan dalam rumah tangga, pemerkosaan, penyerangan seksual, dan bentuk-bentuk lain KBG; serta perlindungan korban, termasuk korban perkosaan. Rekomendasi ini secara pasti telah menjadi alat sosial, politik dan ekonomi kaum liberal yang secara sistemik mengukuhkan aktivitas liberalisasi seksual, program kesetaraan gender serta pemberdayaan kaum perempuan dalam kerangka kapitalis-liberal.
Dengan demikian terbongkar sudah bahwa isu kekerasan seksual yang terus didengungkan para pegiat gender melalui legislasi UU TPKS yang ironisnya justru didukung oleh beberapa “oknum” ulama perempuan, bukan sekadar victim-based-approach yang mampu mencegah dan memberi keadilan bagi korban kekerasan seksual sebagaimana klaim pengusungnya. Keduanya tidak lain merupakan hasil dikte Barat dalam rangka mengaruskan liberalisasi dan sekularisasi, yang secara pasti justru kian menjauhkan umat dari solusi Islam kafah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar