Kementerian Agama menyelenggarakan Multaqa Ulama Al Quran Nusantara 2022. Ajang pertemuan para ulama Al Quran dari berbagai kalangan, diantaranya kalangan pesantren, perguruan tinggi, lembaga pendidikan Al Quran, dan lain-lain. Tokoh yang hadir di acara yang diselenggarakan di Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta, 15-17 November ini antara lain, KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dan Said Agil Husin al-Munawar dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof Dr. M Quraish Shihab yang mengikuti multaqa secara daring.
Mengutip dari laman Republika.co.id, 17/11/2022, Direktur PD Pontren Waryono menyebut, narasumber yang dihadirkan terdiri dari berbagai latar belakang. "Mereka bukan hanya teoretisi Al Quran, melainkan juga praktisi yang sehari-hari bersama para santri, mengajarkan sekaligus mempraktikkan Al Quran dalam kehidupan sehari-hari”.
Multaqa yang baru pertama kali digelar ini mengangkat tema “Pesan Wasathiyah Ulama Al Quran Nusantara”. Mengutip dari Kemenang.go.id, 13/11/2022, Dirjen Pendidikan Islam M. Ali Ramdhani, menegaskan, peran ulama Al Quran sangat penting dalam mendorong terciptanya harmonisasi umat manusia di dunia. Al Quran memiliki nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai penuntun hidup oleh pemeluknya.
Sementara itu, Prof Said Agil Husin Al-Munawwar mensejajarkan wasathiyah dengan sikap moderat dan toleran. Disebutkan, agar memiliki sikap wasathiyah “atau” sikap moderat dan toleran harus mempunyai keluasan ilmu. (Kemenag.go.id, 17/11/2022). Hal ini nampak sejalan dengan program moderasi beragama yang tengah digencarkan Kementerian Agama.
Mengutip laman kemenag.go.id, 01/05/2021 Menag Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan, “Moderasi Beragama ini merupakan program delivery dari Presiden ketika saya dipanggil untuk menakhodai Kementerian Agama. Saya tidak main-main terhadap program ini. Saya sangat serius dengan program Moderasi Beragama”.
Moderasi beragama diklaim sebagai instrumen yang paling power full dalam mengelola keberagaman. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin ketika menjelaskan tentang moderasi beragama, mengutip dari Republika.co.id, 09/02/2022. Kamarudin menerangkan terdapat empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Faktanya, komitmen kebangsaan (nation state) membuat umat muslim terpisah dan terpecah satu dengan yang lain hanya karena berbeda bangsa. Tidak bisa saling menolong karena dibatasi sekat negara. Padahal jelas Rasulullah saw bersabda, sesama muslim adalah saudara, dimanapun berada, di seluruh dunia.
Tapi perhatikan apa yang dialami oleh saudara-saudara muslim di Palestina, Irak, Yaman, Suriah, India, Myanmar, Uighur. Tak peduli wanita, anak-anak, mereka tertindas, terjajah, tapi tak banyak yang bisa dilakukan oleh saudara muslim di belahan dunia yang lain kecuali hanya bantuan sandang, pangan, papan, obat-obatan. Padahal yang mereka butuhkan adalah kebebasan dari penjajahan.
Dulu di bawah kepemimpinan Islam, persatuan umat bukan atas dasar semangat kebangsaan. Tanpa memandang suku, ras, negara bahkan agama, ketika berada di bawah naungan Islam, maka siapapun diperlakukan sama. Hak-haknya dipenuhi, termasuk dalam menjalankan agama, dengan membiarkan mereka beribadah. Bukan turut dalam sebagian aktivitas ibadahnya.
Sementara itu, toleransi yang hari ini di gembar-gemborkan lebih mengarah kepada paham pluralisme yang menganggap semua agama sama. Kerjasama antar umat beragamana digeneralisir boleh dijalin dalam semua aspek, termasuk akidah. Realisasinya seorang muslim boleh ke gereja dan sebaliknya. Muslim yang meyakini hanya Islam yang benar dianggap ekslusif. Muslim yang menolak mengucapkan selamat natal dianggap intoleran. Yang menyebut non-muslim sebagai kafir, disebut ekstrim dan sebagainya.
Padahal yang mengklaim hanya Islam yang benar dan diridai, adalah Allah dalam Al Quran Surat Al Maidah ayat 3, juga Ali Imran ayat 85. Islam juga tegas mengatur interaksi dengan orang kafir. Dalam urusan sosial kemanusiaan misalnya, maka tidak ada perbedaan perlakukan. Namun dalam aktivitas yang mengandung unsur ibadah meskipun sebatas simbol, jelas Islam melarang umatnya menyerupai orang kafir. Ironisnya, mereka yang begitu keras teriak intoleran kepada saudara sesama muslim, justru lemah lembut terhadap orang-orang kafir bahkan diam saat Islam dan simbol-simbolnya dihina dan dilecehkan.
Tentang indikator anti-kekerasan, jika yang dimaksudkan adalah radikalisme dan terorisme, telah banyak dianalisa para tokoh dan dibaca publik, ini adalah bagian dari agenda Barat untuk menyerang Islam dari dalam. Menghembuskan isu yang membuat umat ragu bahkan takut dengan agamanya sendiri, islamophobia. Padahal masalah negeri ini bukan terorisme, melainkan korupsi, kerusakan moral generasi dengan pergaulan bebasnya, kemiskinan, politik kepentingan dan lain-lain, yang kesemuanya juga bukan disebabkan oleh sentimen agama. Tetapi oleh sistem kapitalisme yang melahirkan manusia-manusia berwatak kapitalistik.
Indikator moderasi beragama berikutnya disebutkan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Fakta di lapangan ini diterjemahkan bahwa budaya diposisikan di atas agama. Ketika budaya tersebut jelas bertentangan dengan agama, tetap dihormati dan dilestarikan dengan dalih menjaga kearifan lokal dan budaya leluhur.
Padahal Allah berfirman dalam Surat Al Maidah ayat 104; “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul”. Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walapun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.
Jika demikian adanya, lantas di mana realisasi Al Quran sebagai penuntun hidup bagi pemeluknya sebagaimana disampaikan M. Ali Ramdhani? Apalagi di sampaikan narasumber yang hadir di acara Multaqa Ulama Alquran Nusantara 2022 adalah praktisi yang sehari-hari bersama para santri, mengajarkan sekaligus mempraktikkan Al Quran dalam kehidupan sehari-hari. Terlihat ada kontradiksi antara definisi, narasi dengan realisasi.
Sejatinya kondisi ini adalah konsekuensi logis dari sistem sekularisme yang hari ini berkuasa. Di mana aturan agama dipisahkan dari kehidupan. Wajar ketika Al Quran yang merupakan pedoman hidup bagi kaum muslimin bahkan seluruh umat manusia, ditanggalkan. Kecuali hanya sedikit yang menyangkut ibadah ritual saja. Sebagian besarnya, misalnya masalah pendidikan, sosial-budaya, ekonomi, politik, digantikan dengan aturan buatan manusia. Salah satunya program moderasi beragama yang hari ini gencar dipropagandakan.
Maka, selama umat masih bertahan dengan sistem sekularisme ini, penerapan Al Quran dalam seluruh aspek kehidupan hanyalah sebatas angan-angan. Al Quran hanya akan dapat diterapkan sempurna di bawah sistem pemerintahan Islam sebagaimana dulu, yaitu Khilafah. Dan kebangkitannya kembali pun telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. Tinggal siapa yang menjemput kabar kemenangan itu dengan ikut berjuang? Itu pilihan!
Oleh Anita Rachman
0 Komentar