Oleh: Siti Rima Sarinah
#wacana - Bahwa telah terjadi pembelokan arah pembangunan generasi adalah fakta. Di mana orientasi mereka setelah lulus dari jenjang pendidikan adalah fokus kepada “mau kerja di mana”. Tidak hanya generasi mudanya, tetapi setali tiga uang dengan orangtuanya pun ketika memilihkan tempat pendidikan untuk anaknya, pertanyaan yang muncul adalah nanti setelah anak mereka lulus bisa kerja di mana. Fakta ini terungkap dalam sebuah workshop para tokoh muslimah se-DKI Jakarta yang digawangi oleh Muslimah Jakarta, pada Ahad, 13/11/2022 di salah satu gedung pertemuan di Jakarta.
Workshop kali ini mengangkat tema “Liberalisme Menghujam, Potensi Generasi Terancam, Patutkah Kita diam?. Berangkat dari keprihatinan atas kondisi generasi muda yang telah mengalami banyak pergeseran baik dari sisi moral, kepribadian maupun kualitas pemikiran. Workshop dihadiri oleh para tokoh dari berbagai elemen masyarakat, diantaranya praktisi pendidikan, mulai dari guru sekolah dasar hingga dosen, praktisi kesehatan, para mubalighoh dan ketua majelis takllim, tokoh masyarakat dan tokoh organisasi, juga dari kalangan aktifis pemuda rohis maupun kampus.
Peserta nampak antusias mengikuti jalannya workshop dengan menyampaikan uneg-uneg, pendapat juga aspirasinya berdasar pengalaman mereka yang berinteraksi langsung dengan para pemuda. Para tokoh sepakat bahwa kerusakan generasi muda merupakan persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa ini. Padahal mereka adalah penerus estafet perjuangan bangsa dan negara ini.
Sebagaimana yang disampaikan salah seorang peserta yang merupakan dosen dan ketua program studi di sebuah kampus di Jakarta tentang orientasi mahasiswa yang fokus setelah kuliah mau kerja di mana. Tidak hanya itu, disampaikan juga bahwa di kampus sudah sangat tercium aroma liberalisasi dan kapitalisasi dengan begitu sistematis. Setiap program studi memiliki profil lulusan yang disusun oleh asosiasi profesi. Di mana penentuan profil lulusan ini didasarkan pada oqupasi yaitu sejauh mana lulusan tersebut mampu diserap di tempat kerja. Sementara dosen mengajarkan keilmuan yang bertujuan memberikan ilmu, membentuk lulusan yang memiliki kepribadian dan mencerdaskan bangsa.
Kemudian dari sisi penyusunan kurikulum yang juga harus melibatkan stakeholder, salah satunya adalah dunia usaha dan dunia industri. Tugas-tugasnya membuat mahasiswa dibuat sibuk dan berlomba-lomba demi bisa bersaing di dunia kerja. Kondisi ini menyebabkan mahasiswa tak sempat lagi memikirkan untuk mendalami tentang Islam, apalagi terbersit untuk memikirkan umat dan memperjuangkan Islam.
Pergeseran peran dan potensi pemuda, bukan hanya terjadi di lingkungan kampus, tetapi sudah dimulai dari kalangan sekolah menengah atas. Hal ini diungkapkan oleh seorang tokoh yang mengajar di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta. Beliau menyampaikan sulitnya mengarahkan anak-anak didiknya untuk sholat jumat untuk siswa dan mengikuti kajian keputiran untuk para siswinya.
Selain itu, sekolah pun tak memberi dukungan salah satunya dari segi dana, ketika berkaitan dengan kegiatan KeIslaman, tapi begitu antusias mendukung acara-acara konser dengan mengeluarkan dana yang begitu besar. Padahal kajian KeIslaman sangat dibutuhkan oleh anak didik agar memiliki pemahaman Islam secara benar. Bak gayung bersambut akhirnya para siswa pun enggan untuk mengikuti kegiatan keagamaan dan lebih tertarik hadir di konser-konser musik meskipun mereka harus mengeluarkan biaya.
Sekolah yang seharusnya menjadi institusi yang dapat mencetak generasi yang beriman dan bertakwa, seperti tercantum dalam undang-undang terkait tujuan pendidikan nasional di negeri ini, faktanya justru menjadi pendukung lahirnya generasi liberal dan jauh dari nilai-nilai agama.
Sungguh kerusakan multidimensi di tengah generasi begitu luar biasa. Persoalan ini tentu tidak bisa didiamkan dan dibiarkan begitu saja, karena akan terjadi kehancuran yang semakin dalam. Pergeseran potensi generasi dalam kungkungan liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan, sejatinya adalah upaya musuh-musuh Islam untuk menghalangi kebangkitan Islam, tegaknya syariat Islam dalam institusi negara bernama khilafah.
Mereka berupaya dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan merusak potensi pemuda. Agar pemuda tak lagi kritis bersuara. Agar pemuda tak lagi memiliki visi jauh ke depan menjadi agen perubahan, agen kebangkitan. Ketika generasi muda lemah, lemah pula sebuah bangsa, hingga penjajah akan dengan bebas merampas kekayaan alam dan mengendalikan banyak hal. Termasuk mengendalikan penguasa boneka dengan mengarahkan menjadi regulator untuk memuluskan kepentingan dan ambisi mereka.
Padahal pemuda di masa Islam, adalah agen perubahan yang berkepribadian kuat dan mempunyai visi kebangkitan dan membankitkan umat. Sebut saja, Muhammad Al Fatih. Di usia yang sangat muda, yaitu 21 tahun, telah mampu menaklukkan kota Konstantinopel. Mendapat gelar sebagai panglima terbaik yang memimpin ratusan ribu pasaukan terbaik. Namanya melegenda hingga hari ini. Atau Sulaiman Al Qonuni yang menjadi khalifah di usia 26 tahun. Sosok-sosok yang sulit ditemukan di tengah generasi muda hari ini, yang hanya berorientasi mendapatkan nilai agar mendapatkan pekerjaan, jabatan dan gaji.
Oleh karena itu harus ada upaya sistematis untuk menyelamatkan potensi generasi dari jebakan liberalisasi dan kapitalisme. Yaitu dengan membangun kesadaran pemuda tentang tanggungjawabnya terhadap umat dan agama. Membangun kesadaran ini menuntut semua elemen masyarakat, termasuk tokoh muslimah, baik dari praktisi pendidikan, kesehatan, pengusaha maupun mubalighoh, untuk berkontribusi aktif. Ini adalah tanggung jawab bersama. Bagaimana menjaga, melindungi, memahamkan, menyelamatkan generasi agar tidak terbelokkan orientasinya hanya untuk mengejar materi.
Bukankah Allah Swt. telah memberi predikat umat terbaik (khairu ummah) kepada umat Islam dalam firmannya,”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (TQS Alim Imron : 110).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan generasi adalah dengan dakwah. Mendidik dan membina mereka menjadi generasi emas seperti pada masa kegemilangan Islam. Generasi polymath, generasi penakluk dan generasi yang berlomba-lomba berkontribusi, memberikan persembahan terbaik untuk Islam dan kaum muslim. Mengembalikan predikat umat terbaik yang kini hilang.
Sudah saatnya para tokoh muslimah bahu-membahu, menyatukan visi misi dalam mewujudkan tujuan mulia ini. Sebagai bagian dari tanggungjawabnya sebagai ummu ajal atau ibu pencetak generasi, pembangun peradaban. Tidak ada yang tidak mungkin selama berpijak pada keyakinan bahwa Islam akan tegak kembali. Dan kita akan mengulang kembali sejarah kegemilangan Islam sebagai mercusuar peradaban yang menguasai dunia dengan dakwah Islam kafah. Membuat musush-musuh Islam gentar tatkala cahaya Islam kembali menyinari dunia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahua’lam.
0 Komentar