#EDITORIAL — Viralnya surat cinta murid SD yang berisi kalimat-kalimat vulgar dan berbau pelecehan seksual menambah deretan fakta kian rusaknya perilaku anak di negeri muslim terbesar ini. Betapa miris, seorang bocah yang masih ingusan begitu fasih mengajak teman perempuannya berbuat mesum di kamar mandi sekolah, disertai kalimat-kalimat yang bernada ancaman.
Sebelumnya, pada Oktober 2022, Kepolisian Kalideres, Jakarta Barat, mengamankan seorang anak yang melakukan sodomi terhadap temannya sendiri. Ironisnya, pelaku dan korban sama-sama berusia 12 tahun. Videonya pun sempat viral di dunia maya.
Kasus ini menyusul penangkapan seorang bocah 11 tahun di daerah Nganjuk, Jawa Timur pada September 2022. Ia diamankan lantaran terbukti melakukan kekerasan seksual kepada tetangganya yang masih berumur 7 tahun. Pelaku diketahui menendang korban hingga pingsan, lalu melakukan tindak pelecehan seksual.
Makin Mengerikan
Degradasi moral yang melanda anak di bawah umur seperti ini benar-benar tidak bisa diremehkan. Terlebih kasusnya bukan lagi sekadar kenakalan seorang bocah, tetapi sudah menjurus pada tindak kriminal, seperti penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.
Pada Agustus 2022 lalu misalnya, di Magelang, seorang anak SMP tega membunuh teman sekolahnya hanya gegara rebutan ponsel. Juga kejadian yang menggemparkan di Tasikmalaya pada Juli 2022. Seorang anak usia 11 tahun mengalami depresi hingga meninggal dunia akibat dirundung oleh teman-temannya yang memaksa dia menyetubuhi kucing dan merekamnya.
Apa yang terangkat ke media massa, hanyalah gambaran kecil saja. Kasus demoralisasi anak sejatinya seperti fenomena gunung es. Jumlah yang tampak jauh lebih kecil dari kenyataannya. Bentuknya pun bisa sangat beragam, tetapi saling berkelindan.
Kasus surat viral dan pelecehan seksual tersebut, misalnya, ternyata diawali oleh perilaku amoral lainnya. Di antaranya kebiasaan anak-anak mengonsumsi konten pornografi. Hal ini terkonfirmasi dari pengakuan para pelaku, bahwa aksi bejat yang mereka lakukan terinspirasi oleh konten pornografi yang kerap mereka tonton. Begitu pun pelaku kekerasan, rata-rata mereka adalah konsumen tayangan kekerasan di media sosial, termasuk game online.
Masalahnya, semua faktor-faktor pendorong degradasi moral anak memang sangat terbuka lebar. Selain berita hoaks, tayangan televisi dan media sosial dipenuhi dengan produk pornografi yang kadarnya makin vulgar. Sementara itu, pascakebijakan belajar online era pandemi, nyaris semua anak di negeri ini sangat akrab dengan gawai.
Data tentang hal ini benar-benar sangat mengerikan. Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2021 menyebutkan, 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan di Indonesia pernah menyaksikan kegiatan seksual melalui media online.
Padahal, paparan pornografi akan membawa dampak yang sangat besar. Para ahli menyebut, efek pornografi jauh lebih berbahaya daripada narkoba. Selain kecanduan, pornografi pun bisa merusak otak anak. Terutama, bagian Pre Frontal Korteks (PFC) yang berfungsi sebagai pusat pengendali diri, konsentrasi, berpikir kiritis, dan segala hal yang terkait dengan pembentukan kepribadian, mental, dan perilaku sosial.
Tidak heran jika survei tadi juga menyebutkan, 34,5% anak laki-laki mengaku pernah terlibat pornografi atau mempraktikkan langsung kegiatan seksual, sementara anak perempuan 25%. Hal ini belum termasuk anak-anak yang menjadi pelaku sekaligus korban grooming, serta kekerasan seksual lainnya yang jumlahnya juga sangat banyak dan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Hilangnya Perlindungan
Fakta-fakta mengerikan ini jelas menunjukkan bahwa anak-anak kita sedang dalam kondisi terancam. Mereka yang hari ini kehilangan fitrah kesucian dan mengalami proses demoralisasi sejatinya adalah korban dari hilangnya payung perlindungan, mulai dari orang tua atau keluarga, masyarakat, termasuk sekolah, hingga negara.
Hari ini, tidak sedikit keluarga yang sudah kehilangan fungsinya. Sejatinya rumah adalah tempat anak beroleh kehangatan, pendidikan terbaik, penjagaan fitrah, termasuk penanaman nilai-nilai moral yang bersumber dari agama, serta tempat anak berlindung dari semua hal yang membahayakan.
Namun, ekonomi yang sulit, serta gaya hidup yang kian sekuler membuat profil keluarga jauh dari kata ideal. Stres sosial membuat peran dan fungsi orang tua, terutama para ibu, makin pudar. Pola relasi dalam keluarga pun makin hambar.
Wajar jika anak-anak makin kehilangan kesempatan mengasah naluri dan akal mereka dengan nilai-nilai kebaikan. Wajar pula jika sedikit paparan negatif saja dengan mudah mewarnai perspektif anak-anak tentang kehidupan, termasuk berpengaruh terhadap standar perbuatan.
Kondisi ini diperparah oleh corak masyarakat yang tidak ramah bagi tumbuh kembang anak-anak. Berkembangnya budaya permisif, individualistik, dan liberal, serta hilangnya fungsi kontrol sosial di tengah masyarakat membuat lingkungan bak hutan belantara. Berbagai bahaya siap mengintai, dan keburukan pun begitu merajalela.
Anak-anak, bahkan belajar banyak hal buruk dari lingkungan, termasuk gaya hidup yang berkembang liar di media sosial. Sedangkan, sekolah tidak lagi menjadi tempat menyenangkan dan tempat menguatkan nilai-nilai. Pendidikan karakter yang digadang-gadang bisa mengembalikan fitrah anak, nyatanya hanya jadi wacana di seminar-seminar.
Beban kurikulum yang makin berat serta metode pembelajaran yang jauh dari ideal juga alih-alih bisa meng-upgrade kepribadian mereka, malah menjadi tekanan tersendiri yang membuat kehidupan anak kian tidak tentu arah, bahkan tidak sedikit yang terkena penyakit mental.
Semua ini berpangkal dari kondisi negara yang karut marut dan menambah buram potret kehidupan anak. Kebijakan-kebijakannya yang destruktif di berbagai bidang kehidupan membuat fungsi-fungsi perlindungan anak dari keluarga dan masyarakat, termasuk sekolah, benar-benar tidak jalan.
Negaralah yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang memproduksi kemiskinan dan jurang sosial yang makin lebar. Negara pula yang menerapkan sistem pergaulan yang minus nilai moral. Begitu pun dengan sistem media massa dan pendidikan.
Negara seakan abai dengan berbagai kerusakan yang makin liar di media sosial. Sampai-sampai Indonesia kerap menyandang gelar surga pornografi dan penyimpangan seksual. Kalaupun ada perhatian tentang kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, yang disasar hanyalah hubungan seksual di luar kesepakatan.
Akibatnya, mendidik anak begitu sulit luar biasa. Stres sosial merajalela, memapar para ibu dan ayah yang harus berjibaku demi menopang ekonomi keluarga. Kota layak anak akhirnya hanya jadi jargon tanpa arti. Tidak heran jika kasus-kasus degradasi moral terus meningkat, tanpa ada sistem sanksi yang memadai.
Dampak Sekularisme
Tidak dimungkiri, sistem yang diterapkan negara hari ini bukan habitat ideal bagi anak-anak umat ini. Paradigma sekularisme yang mendasarinya begitu mengagungkan kebebasan atas nama HAM. Peran agama benar-benar disingkirkan. Nilai-nilai moral dipandang sebagai urusan personal yang terlarang bagi negara untuk mencampurinya.
Negara bahkan tidak memandang masalah ini sebagai perkara yang harus segera diberi solusi pasti. Terbukti agama yang menjadi kunci kemuliaan justru diotak-atik dengan narasi moderasi dan deradikalisasi. Padahal Islam yang dimoderasi dan dideradikalisasi, sejatinya adalah Islam yang toleran terhadap nilai-nilai Barat yang sekuler dan mengagungkan hak asasi. Termasuk hak asasi untuk berbuat semaunya dan berdampak menyebarluaskan kerusakan.
Begitu pun penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari sekularisme, meniscayakan cara pandang negara dipenuhi nilai-nilai materialisme. Kekuasaan tidak ubahnya seperti sebuah perusahaan bagi para pemilik modal. Hubungan rakyat dan negara, tidak ubahnya seperti bisnis jual beli. Apa pun yang menguntungkan akan dibiarkan berjalan. Tidak heran jika bisnis hiburan, termasuk pornografi pornoaksi, dipandang sebagai shadow economy.
Sampai kapan kejahatan sistemik ini kita biarkan? Sementara itu, generasi yang rusak akan sulit diperbaiki dengan solusi parsial seperti yang mereka tawarkan. Sex education, pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, semuanya hanya solusi basa basi. Bahkan, menjauhkan umat dari solusi yang hakiki.
Islam Penyelamat Generasi
Berbeda dengan hari ini, sejarah peradaban Islam justru dipenuhi bukti empiris tentang karakter generasi terbaik. Anak-anak yang lahir pada era ini seakan mutiara-mutiara umat yang sukses membawa kaum muslim menjadi umat yang terbaik dan tinggi. Kepribadian mereka begitu hebat hingga layak mengemban amanah memimpin penduduk bumi. Tidak hanya satu—dua abad, trtapi cerita sukses mereka berlangsung sampai belasan abad.
Hal ini adalah niscaya karena negara mereka, yakni Khilafah, tegak di atas akidah yang sahih, yakni keimanan kepada Al-Khaliq al Mudabbir, serta tunduk pada syariat yang Allah Swt. turunkan sebagai konsekuensi iman. Dua hal inilah yang menjadi rahasia kemuliaan hingga manusia dan kehidupan bisa berjalan secara harmoni.
Khilafah, benar-benar menjadi payung penjaga fitrah penciptaan manusia, yakni sebagai hamba dan khalifah pemakmur bumi milik-Nya. Penerapan aturan Islam secara kafah oleh khilafah memberi jaminan terciptanya kebersihan, keadilan, dan kesejahteraan hidup yang tidak tertandingi. Dengannya, keluarga dan masyarakat pun mampu memfungsikan diri sebagai payung pelindung bagi anak-anak generasi kaum muslim.
Oleh karena itu, tidak salah jika kita mengatakan, Khilafah adalah satu-satunya model negara bervisi penyelamatan generasi. Pada era Khilafah, tertutup semua celah yang menjadi penyebab kerusakan generasi. Sistem politik, ekonomi, sosial, sanksi, pendidikan, media massa, serta sistem-sistem lainnya, semua bertumpu pada syariat Islam yang bersumber dari Zat Pencipta Alam.
Dalam Khilafah, fitrah anak demikian terjaga. Lapis-lapis perlindungan atas mereka benar-benar tegak dengan sempurna, mulai dari institusi keluarga, masyarakat atau lingkungan, juga lembaga pendidikan hingga negara. Tidak didapati fenomena kerusakan generasi, kecuali kasuistik saja. Semua hak mereka terpenuhi sebagaimana seharusnya, mulai dari hak nafkah, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kasih sayang.
Oleh karena itu, mewujudkan Khilafah pada era kini bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga sebuah kemestian. Berharap kondisi berubah dengan mempertahankan sistem sekuler kapitalisme, sama halnya dengan menggantang asap. Selain utopis, juga menghabiskan waktu dan energi.
Betul bahwa Khilafah adalah janji Allah, tetapi kaum muslim dituntut memperjuangkannya dengan meniti jalan dakwah Rasulullah saw.. Jalan ini tentu tidak mudah. Perlu tekad kuat, sikap istikamah, dan sabar menjalani tahapan dakwah bersama jemaah yang konsisten memegang teguh risalah Allah. [MNews/SNA]
0 Komentar