Survei Elektabilitas, Loyalitas dan Volatilitas Seputar Pemilu 2024, Perlukah?

 


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


Menjelang tahun politik 2024 Litbang Kompas dan beberapa lembaga survei seperti SPIN dan SMRC mulai mengadakan survei terkait Pemilu. Litbang Kompas mensurvei terkait tren pilihan partai politik peserta pemilu pada 24 September hingga 7 Oktober 2022. Sementara lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN) dan lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mensurvei tentang elektabilitas calon presiden (capres) 2024. 


Hasil survei Litbang Kompas terkait partai politik, tercatat 21,1 persen PDI Perjuangan (PDIP) menjadi partai yang banyak dipilih. Survei sebelumnya telah dilakukan sejak Oktober 2019 di 34 provinsi dengan tingkat kepercayaan 95 persen dikumpulkan dari 1.200 orang responden. 


Hasil Survei terbaru (Oktober 2022), diperoleh peringkat partai papan atas dan partai menengah (bawah). Partai papan atas adalah PDIP (21,1%), Gerindra (16,2%), Demokrat (14,0%) dan Golkar (7,9%). Sementara partai menengah (bawah) adalah PKS (6,3%), PKB (5,6%), NasDem (4,3%), PAN (3,1%) dan PPP (1,7%), detikNews (25/10/2022). 


Selain terkait partai politik favorit, Litbang Kompas juga mengadakan survei terkait loyalitas (kesetiaan) dan volatilitas (sekuritas pada periode tertentu) pemilih partai. Hasilnya didapatkan bahwa pemilih PKB adalah pemilih yang loyal (rata-rata 80,7%). Sementara menyusul di peringkat berikutnya PDIP (68,2%), Gerindra (61,1%) dan Golkar (65,9). 


Dari data-data yang dirilis oleh beberapa lembaga survei di atas, dapat disimpulkan bahwa partai-partai yang difavoritkan oleh rakyat Indonesia adalah partai-partai yang selama ini memang memiliki angka elektibilitas tinggi. Sementara partai-partai yang berbasis massa Islam ternyata tetap berada di peringkat bawah. Mengapa hal ini terjadi, padahal rakyat Indonesia mayoritas Beragama Islam? Mengapa partai-partai politik berbasis massa Islam tidak mampu meraih hati umatnya untuk berpihak padanya?


Pertanyaan ini sebagian bisa terjawab di jurnal penelitian politik yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2016 berjudul Masa Depan Partai Islam di Indonesia. Ternyata keberadaan partai politik Islam di Indonesia bukan hanya sebagai saluran aspirasi dan kepentingan umat Islam. Namun, juga dianggap sebagai penanda adanya pluralitas politik di Indonesia. Sementara itu, partai politik Islam diharapkan memiliki kualitas dan kontribusi yang lebih besar bagi praktik demokrasi Indonesia. 


Dari jurnal penelitian tersebut dapat terbaca bahwa ternyata umat Islam di Indonesia tidak mau menjadikan partai politik Islam (berbasis massa Islam) sebagai saluran aspirasi dan kepentingannya. Terbukti dari tidak adanya keberpihakan. Ini sama artinya, umat Islam tidak percaya pada kemampuan partai politik berbasis massa Islam dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan umat Islam. Fakta ini sesungguhnya sangat menyedihkan, karena sejatinya umat Islam pasti perlu menyalurkan aspirasi dan kepentingannya kepada pemimpin negara. 


Di mana letak kesalahannya? Ternyata, umat Islam khususnya, dan rakyat pada umumnya belum dapat membedakan mana partai politik Islam, mana partai politik yang hanya berbasis massa Islam dan mana partai yang bukan partai Islam. Partai politik yang berbasis massa Islam, tetapi tidak menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas partai, sesungguhnya bukan termasuk partai Islam. Artinya umat tertipu dengan label keislaman yang dimunculkan pada partai-partai seperti itu. 


Partai-partai tersebut mengaku sebagai partai Islam, tetapi dari agenda dan aktivitasnya tampak nyata pragmatis dan oportunisnya. Visi dan misinya juga terlihat hanya mengejar ambisi kekuasaan semata. Sementara peraturan Islam ditinggalkannya dan rambu-rambu larangan dalam Islam ditabraknya. Mengaku sebagai partai Islam tetapi hanya penampakan bajunya saja Islami, sementara pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) yang menjadi arah kebijakan partai kental dengan sekulerisme. 


Tidak adanya perbedaan antara ‘partai Islam’ dengan yang bukan partai Islam mengakibatkan umat tidak melihat perbedaannya. Visi dan misinya sama, yaitu sama-sama ingin duduk di kursi kekuasaan. Sementara aktivitasnya juga tidak jauh berbeda, sama-sama tidak ingin menerapkan aturan Islam dalam negara. Hal inilah yang menjadi penyebab umat hilang harapan pada partai politik Islam. Sementara jika berharap pada partai sekuler, tentu umat akan lebih banyak lagi menelan pil pahit kekecewaan. 


Bagi sebagian kecil orang yang mendapat remahan kue kekuasaan, tentu masih ingin mempertahankan sikap memihak pada partai politik yang berelektabilitas tinggi. Namun, bagi rakyat kebanyakan, kehadiran partai politik hanya dianggap sebagai sesuatu yang layaknya ada di dalam proses bernegara belaka. Sementara, umat Islam sesungguhnya mendambakan hadirnya partai politik yang sahih, yang bisa menjadi tumpuan perubahan kondisi negara menjadi lebih baik. Namun, kehadiran partai-partai berbasis massa Islam yang sering dianggap sebagai partai Islam, ternyata tidak bisa memenuhi harapan tersebut. 


Sesungguhnya umat Islam harus memahami, bahwa negara bukan hanya merupakan kumpulan orang yang menempati suatu wilayah tertentu. Namun negara adalah kumpulan orang yang masing-masing memiliki pemikiran dan perasaan sendiri-sendiri. Pemikiran dan perasaan satu orang pasti berbeda dengan yang dimiliki orang lain. Karenanya wajib adanya peraturan yang mengatur pola kehidupan dan hubungan antar orang-orang ini supaya tercipta tata kehidupan yang damai dan bersinergi untuk mencapai kebaikan bersama.


Pengaturan inilah yang disebut politik, menurut Islam. Karenanya, politik dalam arti pengaturan dan pengurusan umat tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Sementara partai politik adalah wadah bagi orang-orang yang berpolitik ini. Jadi berpolitik bukan sekadar mengejar kursi kekuasaan dan mengeruk kekayaan. Namun, politik memiliki nilai-nilai luhur dalam mengurusi keperluan rakyat, melayani rakyat dan menjaga rakyat dari ancaman jahat dari pihak manapun. 


Menjadi pemimpin sesungguhnya amanah yang sangat berat. Salah satu dalil dalam Islam yaitu dari Mu’adz, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassallam bersabda: “Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan orang banyak, lalu ia menghindar dari orang yang lemah dan yang membutuhkan, Allah pasti akan menutup diri darinya di hari kiamat.” (HR Ahmad dan at-Thabrani). Jadi, kepemimpinan menurut Islam bukanlah hal yang patut diperebutkan hingga perlu dilakukan survei elektabilitas, loyalitas dan volatilitas. Buat apa dilakukan macam-macam survei jika kenyataanya nasib rakyat tidak ditentukan oleh itu. []

Posting Komentar

0 Komentar