Ulama, di Simpang Jalan



#EDITORIAL — Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya sejelek-jelek keburukan adalah keburukan para ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan para ulama.” (HR Ad-Darimi).


Hadis Rasulullah saw. ini menunjukkan tentang pentingnya posisi para ulama hingga standar pembatas bagi kebaikan dan keburukan dinisbahkan kepada mereka.


Peran ulama dalam masyarakat memang tidak bisa diabaikan. Mereka adalah orang yang berilmu, sedangkan ilmu hakikatnya adalah petunjuk. Dengan demikian, kedudukan mereka bagi umat adalah ibarat lentera di kegelapan, sekaligus obat bagi kejahilan.


Karenanya, jika ulama melakukan atau mengatakan hal buruk, lalu diikuti oleh umat, akan tersebarluaslah keburukan. Sementara itu, umat menyangka bahwa mereka ada di jalan yang benar.


Sebaliknya, jika ulama melakukan atau mengatakan kebaikan, lalu diikuti oleh umat, akan tersebar luas pula kebaikan hingga kehidupan umat pun akan diliputi keberkahan.


Ulama di Tengah Keburukan

Hari ini kondisi umat begitu mengenaskan akibat dominasi sistem sekuler demokrasi yang terus memproduksi keburukan. Hukum-hukum Allah dicampakkan hingga kehidupan pun diliputi kegelapan.


Oleh karena itu, kita lihat kemaksiatan begitu merajalela. Kezaliman serta ketidakadilan pun begitu tampak di depan mata, tanpa ada yang mampu mencegahnya.


Dalam situasi ini, peran ulama tentu sangat diharapkan. Mereka semestinya ada di garda terdepan amar makruf nahi mungkar. Sekaligus siap mendidik umat dengan Islam dan mengajak umat agar mau menjadi pelaku perubahan.


Sayangnya, tidak sedikit mereka yang disebut ulama justru memilih jalan berseberangan. Mereka rela menjadi corong kebatilan untuk menjauhkan umat dari Islam. Padahal, tidak ada solusi lain bagi segala keburukan selain dengan kafah memilih dan menegakkan Islam.


Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang rela menjadi stempel bagi kezaliman penguasa. Yaitu dengan memfatwakan sesuatu yang haram menjadi halal, atau mengharamkan yang halal—bahkan wajib—dengan dalih kemaslahatan dan kemudaratan.


Merekalah para ulama jahat (su’u) yang kehadirannya selalu ada pada setiap zaman. Loyalitas mereka bukan pada kebenaran, melainkan pada kepentingan. Demi dunia, mereka rela memimpin ‘amar mungkar’ dan ‘nahi makruf’.


Tentang hal ini, Al Allamah Al-Minawi dalam Faydh al-Qadîr Syarah Jami’ Shaghir dari Imam Syuyuthi, pernah mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari para ulama su’u. Yakni ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, mengejar gengsi dan posisi.”


“Setiap dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya bagi umat datang dari beberapa sisi.”


“Dari sisi umat, mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Dari sisi penguasa, ia memperindah mereka yang menzalimi manusia dan mudah mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Dan karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” (Faydh al-Qadîr, VI/369.)


Ulama di Tengah Konspirasi Global

Para penjaga kekufuran dan musuh-musuh Islam sangat paham peran penting para ulama hingga mereka lazim membuat rancangan pemberdayaan demi target mengukuhkan penjajahan.


Itulah yang dibuat RAND Corporation, salah satu lembaga think tank kebijakan strategis bagi pemerintahan AS. Pada 2007, RAND Corporation menerbitkan dokumen Building Moderate Muslim Networks yang berisi langkah-langkah membangun jaringan muslim moderat pro-Barat di seluruh dunia.


Melalui riset dan analisis yang mendalam, lembaga yang berafiliasi dengan zionisme internasional ini menyimpulkan bahwa bangkitnya girah Islam di berbagai belahan dunia pada 2000-an adalah sebuah ancaman bagi hegemoni kapitalisme global.


Karenanya, mereka merekomendasikan agar dunia Islam dibuat ramah terhadap nilai-nilai Barat, terutama nilai demokrasi dan modernitas. Sekaligus dibuat terikat dengan aturan-aturan internasional agar tercipta apa yang mereka propagandakan sebagai “perdamaian internasional”.


Oleh karenanya, demi hal ini, mereka melakukan pemetaan kekuatan dan memilah kelompok Islam. Targetnya, mengetahui siapa kawan dan lawan, serta mencari tahu siapa yang bisa direkrut sebagai perpanjangan tangan.


Muncullah narasi tentang kelompok-kelompok umat Islam. Terdiri dari (1) kelompok fundamentalis yang antidemokrasi dan propenerapan syariat Islam, (2) kelompok tradisionalis yang antimodernitas, pro-Islam substansi, dan menolak formalisasi Islam, (3) kaum modernis yang menghendaki reinterpretasi Islam agar sesuai zaman, dan (4) kaum sekularis yang memisahkan Islam dari kehidupan publik.


Lantas mereka gunakan politik belah bambu untuk mengucilkan kelompok yang mereka sebut fundamentalis Islam. Bahkan kelompok ini dinarasikan sebagai kelompok berbahaya yang pantas menjadi musuh bersama bagi tiga kelompok muslim yang lainnya.


Mereka mendorong kelompok tradisionalis untuk menolak tafsir-tafsir fundamentalis. Mereka dukung kelompok modernis untuk membuat tafsir-tafsir baru (moderat) nas-nas syariat (Al-Qur’an dan Sunah) agar sesuai nilai-nilai Barat. Dan pada saat yang sama, mereka beri panggung kaum sekularis liberalis agar kian kencang mempropagandakan pemisahan agama dari negara.


Mereka tidak sungkan mengucurkan dana besar demi proyek-proyek moderasi Islam yang sejatinya adalah proyek deideologisasi Islam. Mereka rekrut kalangan akademisi, intelektual, termasuk para “ulama” su’u dari kalangan liberal dan sekuler.  


Juga mereka didik kalangan cendekiawan muda muslim dan kalangan aktivis komunitas berpikiran liberal moderat. Seraya mereka rangkul kelompok-kelompok perempuan yang mengampanyekan kesetaraan gender, berikut para penulis dan jurnalis yang berhaluan Islam moderat.


Bahaya Mengancam Umat

Keberadaan entitas “ulama” dalam jaringan muslim moderat rancangan RAND Corp. ini tentu harus diwaspadai. Karena keberadaan mereka seperti serigala berbulu domba. Ada di tengah umat, tetapi bukan untuk menjaga mereka, melainkan untuk membinasakan.


Mereka serang para ulama lurus dan ikhlas dengan dalil-dalil Al-Qur’an. Seolah-olah merekalah yang sedang berjuang membela Islam. Padahal iman mereka sesungguhnya ada di tepian. Mereka jual ayat-ayat Allah dengan harga murah, hanya demi jabatan dan kedudukan.


Mereka rela menjadi eksekutor lapangan proyek-proyek Barat melawan Islam. Mereka lemahkan potensi kebangkitan umat dengan mendukung deideologisasi Islam. Mereka terdepan dalam mempropagandakan paham pluralisme dan moderasi Islam, atas nama dialog keberagaman, toleransi, dan menjaga persatuan.


Padahal, sejatinya paham inilah yang akan mengukuhkan penjajahan. Serta menjauhkan umat dari obat hakiki kemunduran dan multikrisis yang sudah berurat berakar. Terutama sejak umat kehilangan Khilafah institusi penegak syariat. Lalu dengan sadar umat menenggak racun sekularisme dan menegakkan sistem hidup yang jauh dari Islam.


Terhadap ulama seperti ini kita diperintahkan untuk memiliki kewaspadaan. Sebagaimana Hujjatul Islam Imam al-Ghazali pernah menyampaikan, “Hati-hatilah terhadap tipu daya ulama su’u. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum mukmin. Itulah kenapa, ketika Rasul saw. ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau saw. menjawab, ‘Ya Allah berilah ampunan.’ Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali. Lalu beliau bersabda, ‘Mereka adalah ulama su’u.'”


Rindu Ulama Akhirat

Sungguh kita sangat merindukan ulama sejati. Yakni para ulama pewaris nabi (waratsat al-anbiyaa), yang menjadikan Islam sebagai urusan hidup dan mati.


Ulama seperti ini akan memiliki independensi, karena visi hidupnya jauh dari urusan-urusan dunia yang fana. Langkah dan ucapan mereka pun terasa ringan. Lantaran mereka terbebas dari beban balas budi dan hanya fokus mencari rida Ilahi.


Sebutan ulama hakikatnya bukan berasal dari manusia. Karena ternyata tidak hanya dinisbahkan pada ilmu dan para pengikutnya semata. Melainkan pada karakter yang melekat pada seorang hamba.


Allah Swt. berfirman,


إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ


“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah mereka para ulama.” (QS Fathir: 28).


Melalui ayat ini, Allah telah memberitahu kita bahwa setiap hamba yang takut kepada Allah, maka dia layak disebut ulama. Hal ini sebagaimana firman-Nya pula,


أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ


“Apakah kalian hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah pada waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (QS Az-Zumar: 9).


Hal ini bisa dipahami, karena orang yang takut akan Kemahakuasaan, Kemahasempurnaan, Kemahabesaran, dan Kemahatahuan Allah Taala pasti akan tunduk patuh pada seluruh aturan Allah, terutama yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabinya. Tentu kadar ketakutan dan ketundukannya ini sesuai kadar ilmu yang dimilikinya.


Oleh karenanya, semakin tinggi pengetahuannya tentang agama, semestinya semakin takut seorang hamba pada Tuhannya. Semakin takut pula untuk melanggar aturan-Nya. Dan efeknya, dia akan lebih terdorong untuk terus menuntut ilmu, karena hanya dengan cara itulah dia akan tahu apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Tuhannya.


Bahkan bukan hanya menuntutnya, tetapi ia akan bersemangat beramal dan mendakwahkannya hingga tegaknya syariat Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunah nabinya menjadi visi hidup para ulama akhirat.


Merekalah penjaga risalah sesungguhnya. Mereka selalu ada di garda terdepan perjuangan menegakkan syariat Islam. Mereka siap berkorban demi mempertahankan kebenaran. Meski risikonya harus kehilangan nyawa dikandung badan.


Bukan seperti kondisi ulama-ulama su’u yang ada sekarang. Banyaknya ilmu pada mereka, justru berbuah kesombongan dan hanya digunakan sebagai legitimasi kekuasaan para pecundang. Mereka tidak takut mengotak-atik Al-Qur’an demi memperoleh rida tuannya


Terhadap ulama seperti mereka, kita diminta menjaga jarak pergaulan. Sebagaimana penuturan sahabat Anas ra.,


“Ulama adalah kepercayaan Rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik terhadap dunia, maka mereka telah mengkhianati para Rasul, karena itu jauhilah mereka.” (HR Al-Hakim).


Dan sabda Rasul saw. lainnya, “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama su’, mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa, masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR Al-Hakim).


Semoga kita terhindar dari kejahatan dan fitnah ulama su’u. Termasuk terhindar dari berbagai agenda makar musuh yang memanfaatkan lisan dan jaringan mereka, seperti melalui pengarusan moderasi Islam yang bertujuan memandulkan Islam.


Dan semoga Allah Taala menolong umat ini dengan hadirnya para ulama akhirat yang berani menyampaikan kebenaran dan siap memimpin perjuangan umat menegakkan sistem Islam. Sebuah sistem yang menjamin terwujudnya kebaikan dan keberkahan. Yakni Khilafah Islamiah yang kembalinya pada akhir zaman sudah dijanjikan. [MNews/SNA]

Posting Komentar

0 Komentar