Ulama, Garda Terdepan Benteng Pemikiran Umat

 


O


leh Rini Sarah


#TelaahUtama - Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu beberapa derajat dari manusia lainnya. Orang-orang berilmu biasa disebut dengan ulama. Ulama menerangi umat dengan ilmunya. 


Laksana kumpulan bintang, ulama akan menjadi penunjuk arah bagi umat agar tidak tersesat. Karena ulama memiliki ilmu dan berbagai sifat yang menghiasinya, diantaranya adalah: pertama, wara, takwa dan patuh pada Allah Swt. Kedua, berani mengatakan kebenaran, bahkan di hadapan penguasa zalim sekalipun. Ketiga, cinta dan kasih sayang pada kaum muslim serta sangat pemaaf. Keempat, bukan penjilat, oportunis, dan pencari muka. 


Kelima, banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ketaatan, sedekah, puasa, dan membaca Al-Qur’an. Terakhir, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya, membahas masalah dan dalil-dalilnya. Semua itu demi menggali hukum-hukum syariah dari dalil-dalilnya.


Hal ini bisa kita lihat dari sejarah hidup seorang ulama besar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah pernah berkata, jika kalian melihat saya di sisi itu-yakni di sisi musuh- sementara di kepala saya ada Al-Qur’an, maka kalian harus membunuh saya. Hal itu beliau katakan ketika Kaum Muslim menghadapi serangan pasukan Tartar di Pertempuran Syaqhab. 


Peran beliau begitu besar, ketika nyali kaum muslim menciut karena perang psikologis yang dilancarkan sebelum peperangan. Di tengah kaum muslim kembali muncul keraguan untuk menyerang bangsa Tartar karena dia menunjukkan ciri-ciri kemusliman, dan mereka bukan pemberontak (kepada Khalifah). Ibnu Taimiyah dengan ilmunya berhasil menghilangkan syubhat ini. 


Beliau berfatwa bahwa Tartar laksana kaum Khawarij yang telah memberontak kepada Ali dan Muawiyah. Mereka yakin bahwa mereka lebih berhak memimpin daripada keduanya. Mereka mengklaim bahwa mereka lebih layak daripada kaum Muslim. Mereka adalah pelaku kemaksiatan dan kezaliman. Sikap tegas ini pun berhasil membuat kaum muslim berbondong-bondong berada dalam barisan jihad melawan Tartar. (Jurnal Politik Alwaie)


Selain itu, pada era yang lebih kekinian, yaitu pada tahun 1952, tersebutlah Syaikh Muhammad al-Khidr Husain rahimahulLah, asal Tunisia, beliau merupakan Syaikh Al Azhar pada waktu itu. Beliau mendapat berita bahwa Presiden Muhammad Najib berkata dengan sombong, “Kita akan menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam semua hak.” Lalu, beliau menghubungi Presiden Muhammad Najib, dan berkata, “Anda harus mengingkari berita itu, atau besok saya akan pergi ke pasar dengan kain kafanku, dan menyerukan semua orang untuk menghadapi Anda.” (Jurnal Politik Alwaie)


Syaikh tetap dalam pendiriannya walau mendapat lobby dari pejabat pemerintahan. Akhirnya Presiden Nadjib mengakui kekeliruannya. Inilah sikap seorang ulama yang berani mempertaruhkan nyawanya guna melindungi pemikiran umat terutama perempuan dari pengaruh pemikiran merusak yang bukan berasal dari Islam.


Ulama Muslimah Turut Serta dalam Upaya Membentengi Pemikiran Umat


Persoalan hidup datang bertubi-tubi dan tidak pernah bertemu dengan solusi hakiki. Masalah yang dinisbatkan pada kaum perempuan seperti kekerasan seksual pun mengalami hal yang sama. Itulah alamiahnya hidup dalam iklim kapitalisme sekuler. 


Sejatinya hal ini harus disadari oleh ulama laki-laki ataupun wanita. Mereka harus memahami bahwa problem mendasar yang terjadi pada saat ini adalah tidak diterapkannya hukum Islam dan serah bongkokan (menghamba) kepada hukum kufur. Lalu, merajalelanya pemikiran sekuler liberallah yang membuat manusia bisa berbuat lebih rendah daripada binatang hingga mampu melakukan berbagai kemaksiyatan.


Hal diatas diperparah dengan tergadainya agama kaum intelektual demi setetes kenikmatan dunia. Memang hal itu tidaklah alami. Ada upaya-upaya untuk mencetak ulama agar menjadi stempel penguasa maupun kepentingan penjajah. Ulama dikader agar jadi “pemerkosa” ayat/dalil guna memuluskan kepentingan-kepentingan mereka. Serta, menjadi kepanjangan lidah untuk menyebarkan pemikiran rusak ala barat.


Kondisi makin rusak. Karena Islam baik syariah dan pemikirannya telah hancur. Sebagaimana digambarkan oleh Al-Imam ad-Darimi meriwayatkan dengan sanad sahih perkataan Sayidina Umar bin al-Khaththab ra., “Islam itu dapat hancur dengan ketergelinciran ulama, orang munafik yang berdebat dengan (berdalilkan) Al-Qur’an, dan pemerintahan para penguasa yang menyesatkan.” 


Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam Al-Ihya’ juga mengatakan, “Rusaknya rakyat itu disebabkan rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa itu disebabkan rusaknya ulama. Rusaknya ulama itu disebabkan kecintaan mereka atas dunia dan kedudukan.”


Oleh karena itu, diperlukan ulama yang memiliki wawasan politik serta idelogis. Hingga ia mampu terbang dan peka terhadap persoalan umat serta makar barat. Mereka yang akan membentengi pemikiran umat dan mengingatkan penguasa agar menjalankan fungsinya sebagai perisai umat. 


Peran itu pun perlu dilaksanakan oleh ulama muslimah. Hendaknya ulama muslimah ikut berperan aktif dalam mencerdaskan umat dan beramar makruf nahyi munkar. Agar perjuangan ulama muslimah menjadi terarah ada beberapa hal yang bisa ditempuh olehnya.


Pertama, perjuangan untuk membentengi pemikiran umat dari gempuran pemikiran asing tidaklah mudah. Jika dilakukan sendiri maka akan mudah lelah bahkan bisa musnah. Oleh karena itu, ulama muslimah bisa bersatu padu dengan ulama muslimah lainnya dalam sebuah jamaah dakwah. Bahu membahu, merapatkan barisan, dan saling menguatkan.


Kedua, menyelaraskan visi dan misi perjuangan dengan visi dan misi jamaah. Agar gerak kita satu arah. Tak berbentrokan. Tidak menegasikan. Visi misi ini tentu saja sebuah visi misi agung bebas dari visi misi receh keduniawian. Visi misi itu adalah menegakkan kalimat tauhid dengan melanjutkan kehidupan Islam. Caranya, ikutilah metode dakwah Rasulullah sebagai uswah dan qudwah kita. Selain itu, metode Rasulullah Saw adalah metode yang telah terbukti keberhasilannya merealisasikan visi misi tersebut.


Ketiga, pergerakan ulama muslimah harus terintegrasi dengan umat. Bukan gerakan yang terpisah dari umat. Lalu, pergerakan ini pun harus memiliki pemikiran (fikroh) dan thariqoh (metode) yang bersih. Bersih dari kotoran-kotoran pemikiran dan metode selain Islam.


Terakhir, seperti disinggung diatas, pergerakan ulama muslimah pun harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah masyarakat sesuai aturan Islam, yakni dalam peran dan fungsinya sebagai pencetak dan penyangga generasi masa depan umat. Hingga tidak ada dikotomi peran bagi ulama muslimah. Hanya aktif di sektor publik saja seperti yang diinginkan para penggiat feminisme. Atau sebaliknya, hanya bergerak di sektor domestik saja.


Memang, ulama muslimah perlu memiliki kesadaran politik. Kesadaran politik akan terbangun ketika para ulama senantiasa mengikuti perkembangan global lalu mengaitkannya dengan sudut pandang tertentu. Proses untuk menumbuhkannya ulama muslimah harus mengikuti pembinaan Islam kafah/ideologis. Guna menempa pola pikir dan sikapnya dengan Islam. Hingga terbentuk syaksyiyah islamiyah yang kuat. Lalu, terdorong untuk senantiasa mengikuti perkembangan peristiwa politik dan menghukuminya berdasarkan sudut pandang Islam.


Ulama muslimah yang seperti inilah yang bisa mengindera bahaya baik itu berupa pemikiran maupun kebijakan politik yang akan menerpa umat. Hingga dia akan membentengi umat dari bahaya-bahaya tersebut melalui lisannya yang mulia. Wallahualambisawab.


Posting Komentar

0 Komentar