#Analisa - Menjelang Pemilu 2024, lembaga survei seolah berlomba membuat rilis terkait elektabilitas partai. Sayangnya, tidak ada yang berani lebih dalam mengulik substansi dari partai atau kandidat calon presiden (capres) yang diusung. Hal tersebut membuat Penggiat HAM dan demokrasi, Haris Azhar mengkritik perangai capres, simpatisan, hingga lembaga survei berkaitan isu Pemilu 2024. Haris melihat narasi yang dikembangkan berpotensi menyesatkan lantaran nyaris tanpa substansi (sindonews.com, 21/11/2022).
Sementara itu, dalam rangka mengawal jalannya pesta demokrasi 2024, Kementerian Kominfo menggelar rapat koordinasi pada Selasa (18/10/2022). Salah satu hasil rapat yaitu pembentukan satuan tugas khusus (Satgasus) untuk mengawal proses Pemilu 2024 di ruang digital. Rapat koordinasi tersebut melibatkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian PAN-RB, Kementerian Agama, Kemendikbud Ristek, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) (aptika.kominfo.go.id/20/10/2022).
Miris, saat ini rakyat Indonesia masih dibayangi himpitan hidup pasca pandemi Covid-19 yang sebenarnya belum benar-benar tuntas. Namun, media justru disibukkan dengan gegap gempita pemilihan umum (pemilu) tahun 2024. Kominfo pun sampai membentuk satgas khusus untuk mengawal pemilu.
Padahal media merupakan salah satu jembatan penyampaian aspirasi rakyat, bukan alat pencitraan penguasa semata. Selain itu, fungsi media adalah untuk menyiarkan isu-isu keumatan yang penting, bukan untuk eksistensi syahwat berkuasa segelintir orang dan golongan.
Tetapi, hal itu wajar di alam demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem politik di Indonesia merupakan kombinasi dari kekuatan demokrasi dan oligarki. Karena mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme, Negeri zamrud khatulistiwa ini tidak memiliki batasan hukum yang mencegah oligarki secara langsung membentuk atau mengendalikan partai politik. Faktanya, saat ini ada beberapa partai baru yang muncul tiba-tiba dan dibiayai dari atas ke bawah oleh kekuatan oligarki.
Fenomena tersebut logis karena walau telah diterbitkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, gurita oligarki yang menguasai media tidak bisa dibendung. Padahal, regulasi ini bertujuan membatasi kepemilikan media. Seorang pemilik media hanya diizinkan
memiliki maksimal dua stasiun televisi dan 45% saham (jika memiliki stasiun televisi ketiga).
Namun undang-undang ini seakan tidak diacuhkan oleh para pengusaha penyiaran komersial. Sejumlah pengusaha penyiaran komersial menganggap aturan ini tidak sejalan dengan model bisnis terpusat yang bergerak dalam pasar yang semakin kompetitif. Apalagi media justru dijadikan kendaraan mereka melenggang ke ranah pembuat kebijakan.
Dilansir dari laman cnbcindonesia.com, 22/6/2022, Hary Tanoesoedibjo, pengusaha yang kini juga aktif di dunia politik lewat Partai Perindo adalah salah satu taipan yang bisnis utamanya bergerak di industri media. Melalui grup bisnis Media Nusantara Citra (MNCN), Hary Tanoe menjadi pemilik dari empat stasiun televisi besar di Indonesia yakni RCTI, GTV, MNCTV dan iNews.
Selain itu, nama Chairul Tanjung yang merupakan pengusaha pendiri CT Corp masuk dalam jajaran pengusaha media. Sayap media CT Corp digerakkan oleh Transmedia yang memiliki dua stasiun televisi utama Tanah Air yakni Trans TV dan Trans 7. Selain itu, CT juga merupakan salah satu pemain terbesar di segmen media online dan merupakan pemilik kanal berita Detik, CNN Indonesia dan CNBC Indonesia.
Sebagai oligarki media, mereka mempunyai peran penting dalam setiap agenda pemilihan umum di Indonesia. Walaupun momentum reformasi menegaskan adanya kebebasan pers. Fakta bahwa media yang merupakan sumber informasi untuk
masyarakat, membuat para oligarki media memanfaatkan media yang dimiliki untuk dapat mempengaruhi opini masyarakat maupun melakukan negosiasi politik dengan para elite.
Namun, pers sebagai salah satu pilar dalam demokrasi justru tidak bersifat netral melainkan cenderung memihak salah satu pihak. Para oligark media menggunakan media sebagai alat provokasi, bukan menebar informasi. Seringnya media atau Pers juga digunakan untuk menjalankan kampanye hitam atau black campaign.
Selain itu, sering terjadi perselingkuhan politik antara oknum wartawan dengan salah satu pasangan calon (paslon) atau partai politik yang mengusungnya. Bahkan ada yang terang-terangan mengambil posisi sebagai tim sukses kandidat yang bersaing, miris. Tentu tindakan tersebut bisa berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pers.
Tetapi, memang itulah konsekuensi logis dari paham demokrasi yang saat ini diadopsi Indonesia. Demokrasi sejatinya memberikan peluang bagi media untuk bebas memainkan peran dalam mempengaruhi wacana politik kepada masyarakat selama proses pemilu. Sayangnya, berita yang disajikan hanya sebagai alat pencitraan dan eksistensi pejabat di sistem bobrok ini. Oligarki media yang lahir dari sistem demokrasi telah membajak peran media yang sesungguhnya.
Sangat berbeda dengan peran media dan Pers dalam sistem Islam. Dalam aturan Islam, Pers berfungsi untuk membentuk masyarakat yang Islami dan penuh kebaikan. Mendirikan media informasi atau media pers, dibolehkan bagi setiap warga negara dan tidak memerlukan izin khusus. Warga cukup hanya lapor kepada Departemen Penerangan. Negara memberikan kebebasan dalam membuat konten, asalkan tidak melanggar aturan Islam.
Media juga menjadi sarana memahamkan masyarakat terkait tuntunan hidup yang benar berdasarkan aturan Islam dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, media juga menjadi sarana informasi, edukasi, persuasi, serta hak berekspresi publik dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar dan Muhasabah Lil Hukam. Media tidak dikuasai perorangan atau kelompok seperti saat ini. Media milik masyarakat di bawah pengawasan negara.
Oleh karenanya, media massa dalam naungan Islam akan mampu mewujudkan masyarakat cerdas. Sehingga rakyat mampu menilai dan memilih mana yang benar–salah, juga peduli karena adanya budaya kritis dan menasehati penguasa. Sehingga, media dan Pers dalam sistem Islam tidak akan menjadi alat pencitraan penguasa untuk eksistensi kekuasaannya, Wallahu A’lam Bishawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar