BUKA TUTUP KASUS, KEADILAN YANG DIPERMAINKAN

Oleh: Titin Kartini

Buka tutup tudung saji makanan, itu hal biasa. Namun bagaimana jadinya jika yang ditutup buka merupakan sebuah kasus mengerikan. Ini menyangkut masa depan seorang perempuan yang kehormatannya telah direnggut secara paksa.
Seorang pegawai perempuan Kemenkop UKM berinisial ND dilaporkan diperkosa empat rekan kerjanya saat perjalanan dinas di luar kota. Pemerkosaan ini terjadi di salah satu hotel di kawasan Bogor, Jawa Barat, pada 6 Desember 2019. Kasus tersebut sempat diusut oleh kepolisian Bogor namun terhenti sebelum hasil penyidikan dinyatakan lengkap atau P21. (kompas.com, 22/11/2022)
Keluarga pelaku yang merupakan pejabat Kemenkop UKM mendatangi orangtua korban dan meminta korban berdamai. Keluarga pelaku juga meminta korban menikah dengan salah satu pelaku yang masih lajang dan menarik laporan polisi korban. Kepolisian Bogor pun mendatangi rumah korban dan memfasilitasi pernikahan pelaku dengan korban. Namun kasus yang terjadi 3 tahun lalu ini kembali mencuat saat pihak keluarga korban ND tak terima karena pelaku Z menceraikan korban. (kompas.com, 25/10/2022)
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan kasus ini bisa dibuka kembali. Mahfud mengatakan, "Kita koreksi Polresta Bogor. Masa memperkosa beramai-ramai perkaranya dihentikan dengan SP3? Apalagi hanya dengan nikah pura-pura. Rapat uji perkara khusus di Polhukam 21 November memutus kasus ini harus diteruskan, tak bisa ditutup dengan alasan yang dicari-cari dan tak sesuai hukum". Menurut Mahfud, alasan SP3 karena laporan perkara dicabut secara hukum tidak benar. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan, di dalam hukum laporan itu tidak bisa dicabut kecuali pengaduan. (merdeka.com, 22/11/2022)
Hal ini mendapat dukungan dari Komnas Perempuan. Tiasri Wiandani selaku Komisioner Komnas Perempuan mangatakan memberi dukungan kepada tim independen untuk menindaklanjuti kasus ini. Lebih lanjut ia mengatakan kasus tersebut bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Karena terjadi sebelum Undang-Undang disahkan, Komnas Perempuan akan mendorong korban mendapatkan keadilan, karena penyelesaian dari kronologi jauh dari kata keadilan untuk korban.
Tias juga meminta evaluasi terhadap proses medisiasi atau restorative justice. Menurutnya, menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan bukan cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini hanya untuk menghindari pertanggungjawaban hukuman, namun setelah menikah ia lepas dari tanggung jawab dan kewajibannya sebagai suami. Si korban harus berinteraksi dengan pelaku dan ini tidak mengobati rasa traumanya. (news.detik.com, 23/10/2022)
Inilah gaya hukum yang memuakkan. Rasa keadilan yang bisa dikompromikan tanpa melihat dampak dari kasus ini terhadap korban. Ibarat takut dengan singa yang sudah menerkam habis-habisan, namun penyelesaiannya harus hidup dengan singa tersebut meski takut dan trauma.
Hukuman yang tidak tegas membuat siapa pun bisa lepas dari sanksi. Semua memang sudah tersistemkan, berjalan sesuai aturan yang berlaku apalagi dengan sistem demokrasi kapitalisme. Segala sesuatunya bisa ditawar, di mana hukum bisa diperjualbelikan asal sanggup membayar mahal. Padahal kejahatan yang dilakukan sudah jelas, korbannya jelas, pelakunya pun jelas, namun hukumannya bisa ditawar.
Kejahatan dalam sistem demokrasi kapitalisme bagai fenomena gunung es, mencair di atas namun mengakar kuat di bawah, yang nampak di permukaan hanyalah sedikit bagian dari besarnya bagian lain yang tidak tampak kasat mata. Karena penyelesaiannya tak menyentuh akar permasalahannya. Lebih pada solusi tambal sulam yang bisa dikompromikan.
Sistem demokrasi kapitalisme tidak mampu mencegah kemaksiatan karena justru kebebasan menjadi pilar demokrasi, termasuk di dalamnya kebebasan berperilaku. Bagaimana pemerkosaan itu bisa terjadi, bisa kita lihat dari interaksi antara pria dan wanita yang semakin bebas. Membiarkan seorang perempuan keluar rumah tanpa disertai mahramnya sudah jelas haram hukumnya dalam Islam. Ia keluar beserta para pria yang bukan mahramnya walaupun dengan alasan tugas/dinas, maka dapat terjadi seperti kasus tersebut di atas. Apalagi sebelum kejadian pemerkosaan, korban diajak para pelaku mengunjungi tempat hiburan malam dan minum minuman beralkohol yang jelas akan menimbulkan mabuk bahkan tak sadarkan diri. Hal ini diperparah dengan penerapan sanksi yang begitu mudah penuh kompromi, dengan kata "menikahkannya", tanpa melihat sisi trauma yang dialami korban.
Islam hadir memberikan pandangan yang khas dan terperinci. Dalam Islam setiap tindakan, perbuatan, atau perilaku yang ditujukan untuk memenuhi dorongan seksual, baik antara pria dengan wanita, antara sesama jenis, ataupun antara manusia dan hewan, semuanya termasuk kejahatan seksual atau dalam bahasa Arab disebut jarimah jinsiyyah.
Ada dua faktor yang bisa menyebabkan kejahatan ini terjadi, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal karena lemahnya agama pada diri seseorang, terkhusus rasa takwa kepada Allah Swt. Hal ini mengakibatkan lepasnya keterikatan kepada hukum Islam. Diitambah dengan faktor eksternal, yakni adanya stimulasi dari luar yang sangat kuat baik, mulai dari tontonan, pergaulan, lingkungan masyarakat dan tentunya sistem yang rusak. Dua faktor tersebut saling terkait yang akhirnya memicu kejahatan seksual. Alhasil faktor tersebut harus segera diselesaikan.
Imam Al-Ghazali berkata: "Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi, pasti runtuh. Sedangkan sesuatu tanpa kekuasaan, pasti hilang". Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa akidah merupakan fondasi kehidupan, baik bagi individu, masyarakat, maupun negara. Ketika akidah Islam menjadi landasan berpikir bagi individu, masyarakat dan negara maka sudah selayaknya halal dan haram menjadi standar dalam setiap tindakan, perbuatan atau perilaku dalam kehidupan yang diwujudkan dengan keterikatan pada hukum syarak.
Negara dalam sistem Islam juga berperan langsung dalam mengawasi dan memperhatikan setiap barang dan jasa yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan kepada masyarakat haruslah yang halal. Karena jika negara lemah dalam pengawasan ini, bisa menyebabkan apapun bebas beredar di masyarakat. Barang haram dan jasa haram seperti narkoba dan penyedia narkoba, miras dan tempat hiburan malam, pornografi dan pornoaksi, semua itu dapat memicu terjadinya kejahatan seksual. Negara juga harus menjamin adanya pergaulan yang sehat. Diharamkan antara pria dan wanita berkhalwat dan ikhtilat (campur baur), kecuali interaksi di tempat umum untuk tujuan yang diperbolehkan oleh syarak seperti jual-beli, umrah, haji, pendidikan dan kesehatan. Dengan adanya pemisahan ini maka stimulus rangsangan seksual pun bisa dihilangkan. Begitupun dengan pakaian bagi pria dan wanita. Islam telah mengatur batasan-batas aurat dan tidak diperbolehkan seorang wanita berdandan secara berlebihan sehingga memalingkan pandangan kepadanya (tabarruj). Pria dan wanita sama-sama diperintahkan untuk menundukkan pandangan, hal ini untuk mencegah terjadinya tindak asusila. Sistem Islam demikian menjaga kehormatan pria maupun wanita. Negara menutup peluang-peluang yang dapat memicu kejahatan seksual dari hulu hingga hilir.
Dalam penerapan sanksi hukum, negara bertindak tegas tanpa kompromi. Tak ada hukum yang abu-abu dalam pandangan Islam. Semua jelas tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunah. Bagi yang berusaha melakukan zina dengan perempuan, atau hubungan sejenis, tetapi berhasil digagalkan dengan paksa maka dia dipenjara selama tiga tahun dicambuk dan diasingkan. Namun jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kendalinya, seperti pembantu, pegawai atau stafnya, maka pelakunya dikenai sanksi lebih keras lagi. Jika korbannya dengan sukarela bersedia maka sanksi yang sama untuknya. Ini jika pelaku zina adalah orang yang belum menikah. Bagi pezina yang sudah menikah, maka sanksinya adalah dirajam hingga ia mati. Ini semua sebagai balasan yang setimpal dan tentunya adil karena hukum diputuskan berdasarkan syariat dari Sang Pencipta Manusia.
Sanksi yang jelas ini tak bisa ditawar lagi, pun tidak dikenal istilah naik banding dalam sistem peradilan negara khilafah. Penerapan sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat) & jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal yang baru terulang kembali). Oleh karenanya eksekusi hukuman justru digelar di tempat umum dan disaksikan oleh masyaarakat luas sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan tindak kriminal.
Ketegasan penerapan sistem sanksi dalam Islam bahkan dicontohkan Rasulullah Saw. dalam hadis riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Hukum bukan untuk diperjualbelikan, hukum juga bukan untuk dipermainkan. Karena semuanya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Kelak orang yang terzalimi akan mengadukan ketidakadilan yang ia rasakan di hadapan Rab-nya. Hanya sistem khilafah yang mampu memberikan keadilan yang hakiki. Wallahu a'lam.
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Mungkin gambar teks yang menyatakan 'Muslimah jakarta Buka Tutup Kasus, Keadilan Yang Dipermainhan Oleh: Titin Kartini Kejahatan dalam sistem demokrasi kapitalisme bagai fenomena gunung es, mencair di atas namun mengakar kuat di bawah, yang nampak di permukaan hanyalah sedikit bagian dari besarnya bagian lain yang tidak tampak kasat mata. Karena penyelesaiannya tak menyentuh akar permasalahannya. Lebih pada solusi tambal sulam yang bisa dikompromikan Aune Nssk wat Pesse 1u00 ooo @muslimahjakartareborn @muslimahjakartaofficial www.muslimahjakarta.com'

Posting Komentar

0 Komentar