Hari ini kita disuguhi fakta kerusakan moral generasi muda. Mulai dari bullying, penganiayaan, tawuran, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, selama ini proses pendidikannya seperti apa? Mengapa yang lahir bukan sosok yang luar biasa, tapi sosok yang rusak akhlak dan perilakunya? Pertanyaan ini disampaikan oleh Ibu Catur Rosidati M.K.M. Dosen sekaligus Ketua Program Studi di salah satu kampus di Jakarta, dalam sebuah Diskusi Publik yang di gelar Muslimah Jakarta, Ahad, 04 Desember 2022.
Diskusi publik yang di hadiri tokoh muslimah se-DKI Jakarta, mulai dari praktisi pendidikan, mubalighah, tokoh masyarakat, tokoh organisasi, juga para aktivis dari kalangan mahasiswa ini mengangkat tema umum “Menangkal Arus Liberal Pada Milenial”. Secara khusus, Ibu Catur Rosidati sebagai seorang praktisi pendidikan yang berkecimpung di dunia kurikulum pendidikan, mengungkap seluk-beluk kerusakan generasi muda dari sisi kurikulum, dengan mengangkat tema “Mewaspadai Upaya Liberalisasi Melalui Kurikulum Pendidikan”
Ibu Catur Rosidati mengajak peserta diskusi untuk melihat dan mengkritisi kurikulum yang ada saat ini. Kemana sebenarnya arah pendidikan akan dikembangkan. Ibu Catur mengungkapkan bahwa ternyata target kurikulum pendidikan dasar dan menengah saat ini adalah membentuk ‘profil pelajar Pancasila’. Yaitu pelajar yang punya kemampuan sepanjang hayat, mempunyai kompetensi global, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia, kreatif, gotong royong, berkebhinekaan global, bernalar kritis dan mandiri.
Ibu Catur melanjutkan, isi kurikulum merdeka ditingkat dasar sebenarnya di dalamnya telah mencakup mata pelajaran agama Islam dan budi pekerti. Bagaimana membentuk peserta didik bisa menjaga diri, berakhlak mulia, siap menghadapi persoalan seperti krisis akhlak dan radikalime dan bisa menjawab tantangan masa depan. Elemen yang dipelajari pun meliputi Al-Qur’an, hadis, akidah, akhlak, fiqih dan sejarah peradaban Islam.
Namun sayang, Ibu Catur melihat dalam implementasinya ternyata memuat nilai-nilai moderasi beragama dan mengakui pluralisme, yaitu mengakui semua agama sama. “Moderasi itu berarti kita harus mengakui keberadaan agama lain. Termasuk mau melakukan dialog antar agama. Ini ada gambarnya di dalam buku pelajaran hari ini. Kita harus mau mengucapkan hari raya tertentu kepada umat beragama lain,” ungkapnya.
Ibu Catur juga mengkritisi metode pengajaran hari ini yang hanya sekedar transfer knowledge dengan tujuan mengejar nilai akhir. Itupun nilai secara kognitif atau dari sisi pengetahuan semata. Terbukti pengetahuan yang diberikan kepada siswa tidak merubah perilakunya. “Misal ketika ditanya rukun iman kemudian bisa menjawab dengan benar akan mendapat nilai bagus. Tetapi tidak dinilai bagaimana perilakunya sehari-hari. Bisa saja ujiannya dapet 100, tapi hasil nyontek, tapi hobi bohong, tapi pacaran dan lain-lain. Karena yang dinilai hanya aspek kognitif. Tidak dikaitkan dengan aspek kepribadian”, paparnya.
Selanjutnya Ibu Catur mengingatkan akan bahayanya ide moderasi. “Prinsip moderasi adalah ‘semua nilai itu universal’. Semua itu bagus. Nggak pakai jilbab bagus. Pakai jilbab bagus. Kebenaran itu jadi relatif. Padahal, kita sebagai seorang muslim, kebenaran itu pasti dan itu datangnya dari Allah. Ketika ada anak nggak pakai jilbab, menurut aturan Allah dia salah. Ketika pakai jilbab dia benar. Semua patokannya jelas”, tegasnya.
“Tapi sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Ada seorang guru yang dilaporkan karena memaksa muridnya berjilbab. Atau ada seorang anak yang melaporkan ibunya karena melarangnya pacaran dan ini ditanggapi oleh polisi, ibunya dipanggil. Sementara kalau kita pakai standar Islam, pacaran kan salah. Kewajiban orangtua melarang anaknya pacaran karena salah. Sama dengan kewajiban seorang guru, memastikan perilaku siswanya baik, maka dia mengingatkan siswanya memakai jilbab”, lanjutnya.
Ibu Catur kemudian menyimpulkan, jelas bahwa kurikulum pendidikan hari ini standarnya bukan Islam. “Lalu bagaimana kita akan berharap output pendidikan dasar dan menengah yang berakhlak mulia. Kalau proses pendidikannya seperti ini”? tanyanya prihatin.
Sebagai dosen, Ibu Catur merasakan betul ada penurunan yang luar biasa dari sisi kualitas generasi muda hari ini. Salah satunya adalah kemampuan literasinya yang sangat rendah. Ibu Catur membandingkan bagaimana dulu mahasiswa ketika membuat makalah berusaha maksimal dengan membaca buku di perpustakaan kemudian menuliskannya. Sementara hari ini mahasiswa cukup mencari dengan mesin pencari. Namun ketika diminta presentasi hasilnya nol. “Jadi benar-benar semakin ada penurunan. Ada masalah dengan mindset. Ketika dia masuk di pendidikan tinggi untuk apa? Dan tentu mindset ini tidak muncul tiba-tiba, tapi telah terbentuk sejak dari pendidikan dasar dan menengah,” sesalnya.
Selain dari sisi mindset yang sudah bergeser, kurikulum pendidikan hari ini diakui Ibu Catur juga banyak dipengaruhi oleh posisi Indonesia yang sudah terkoneksi dengan perjanjian dan komitmen global. “Output pendidikan tinggi itu adalah lulusan siap kerja. Orientasinya adalah dunia usaha dunia industri. Bukan lagi pengembangan ilmu. Ini nomor sekian. Kita sebagai dosen sudah capek-capek ngajar dengan segala persiapannya, nanti yang dapet untung dunia usaha dan dunia industri”, ungkapnya.
Belum lagi, Ibu Catur melanjutkan, ada standar tertentu yang harus di akui secara global, agar para lulusannya nanti siap bersaing dan bekerja di luar negeri. Sehingga yang dikembangkan adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dapat bersaing secara global. Karena harus mengikuti perubahan revolusi industri. Kemampuannya harus terus ditingkatkan. “Tapi sekali lagi hanya sebatas kemampuan kognitif psikomotorik. Sementara untuk perilaku, harus tetap universal”, ungkitnya.
Muncul lah kemampuan apa saja yang dibutuhkan abad 21, sesuai dengan revolusi industri 4, yaitu komuniasi, informasi, teknologi dan sebagainya. Sekali lagi Ibu Catur menegaskan, kemampuan yang sifatnya pengetahuan dan ketrampilan. “Sudah tidak masuk lagi aspek perilaku. Maka di kampus itu, SKS mata kuliah agama hanya 2, kecuali kampus Islam bisa 8. Tetapi yang 8 pun tidak menjamin membentuk sosok yang luar biasa, karena proses pembelajarannya sama”, tambahnya.
Di akhir pemaparannya Ibu Catur menyimpulkan, bahwa kurikulum yang ada di pendidikan tinggi saat ini memang dibentuk berdasarkan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. “Sehingga tidak heran kalau melihat lulusan kita sekarang semangat sekali kalau diminta magang. Di kurikulum merdeka belajar kan ada magang. Semangat kenapa, biar cepet kerja. Inilah bukti ada upaya liberalisasi melalui kurikulum Pendidikan”. tutupnya.
Reporter Anita Rachman
0 Komentar