Demokrasi Rusak dan Cacat, Pantaskah Dibanggakan?

 


Oleh Suriani, S.Pd.I


#Analisa - Meski telah tampak kefasadan demi kefasadan dari sistem demokrasi, para pengemban dan pendukungnya masih tetap setia untuk membela. Demokrasi yang seolah dipandang baik, terus dipropagandangan sebagai satu-satunya sistem yang dibutuhkan oleh dunia. Tidak terkecuali negeri-negeri Islam, didoktrin untuk mau menerima dan menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. 


Di Indonesia misalnya, cacat demokrasi tampak dalam seluruh lini kehidupan. Demokrasi yang diterapkan di negeri ini gagal menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, termasuk gagal menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju dan berperadaban. 


Meski demikian, tetap saja demokrasi masih dipandang sebagai solusi oleh pengikutnya. Setidaknya, statement Presiden RI Joko Widodo mewakili pendapat dari sebagian kalangan yang menganggap demokrasi baik-baik saja. Jokowi memamerkan dan membanggakan baiknya praktik demokrasi di Indonesia. 


Sebagaimana dilansir dari laman CNNIndonetatanansia.com (15/11/2022), Jokowi dalam sambutannya pada pembukaan KTT G20 di Kabupaten Badung, Bali menyebut bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan penyelenggaraan berbagai pemilihan langsung mulai dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional. Demokrasi dipraktikkan seperti dalam pemilihan kepala desa, sampai  negara, pemilihan presiden, gubernur, bupati dan wali kota. 


Jokowi juga menjelaskan bahwa melalui pertemuan G20 tersebut, Indonesia berharap akan terwujud dialog untuk mempertemukan perbedaan dan membentuk kolaborasi dalam rangka menyelamatkan dunia dari berbagai krisis yang melanda saat ini. Dialog tersebut menurutnya adalah salah satu wajah dari penerapan demokrasi oleh Indonesia.


Laman Indonesia.go.id (18/02/2022) menyebut bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia tahun 2021 alami kemajuan. Kemajuan itu ditunjukkan oleh kenaikan Angka Indeks Demokrasi Indonesia dari 6,30 pada 2020 menjadi 6,71 pada 2021 sebagaimana diumumkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) sebagai lermbaga observer dan analisis politik-ekonomi global yang berbasis di London. 


Ada dua alasan EIU menaikkan indeks demokrasi Indonesia, yaitu; pertama, pemerintah mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) November 2021 agar pemerintah merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu inkonstitusional. Kedua, pemerintah dinilai berhasil membangun kompromi antara kekuatan politik yang nampak dari keputusan Presiden Jokowi yang mengakomodasi berbagai kelompok politik, termasuk partai politik yang lebih kecil, eksprajurit militer dan tokoh agama terlibat dalam Kabinet Indonesia Maju.


Menanggapi hal di atas, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sebagaimana dikutip dari Republika.co.id (16/03/2022) mengatakan, meski Indonesia tercatat sebagai negara dengan indeks demokrasi 10 terbaik di dunia, namun tetap saja Indonesia ,asih disebut negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. 


Menurut Titi, dalam dua variabel demokrasi Indonesia mengalami stagnasi, yakni proses elektoral dan pluralisme dan budaya politik. Dalam budaya politik ditengarai pelaksanaan demokrasi diwarnai dengan adanya praktik jual beli suara, politik dinasti atau politik kekerabatan yang masih mewarnai internal partai politik di Indonesia khususnya dalam melakukan rekrutmen politik.


Berbeda dengan hasil riset yang dikeluarkan oleh EIU, Dosen Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Dr. Caroline Paskarina, M.Si., justru menyebut bahwa kualitas demokrasi Indonesia pada 2021 alami penurunan dibandingkan 2019 berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia Badan Pusat Statistik. 


Dr. Caroline sebagaimana dikutip dari laman unpad.ac.id (01/10/2022) menyebut bahwa penurunan kualitas demokrasi dilihat dari sisi pengurangan signifikan kebebasan sipil, pluralisme dan fungsi pemerintah. Hal tersebut menunjukkan perubahan pola demokrasi di Indonesia yang semula demokrasi elektoral menjadi demokrasi yang cacat. Berarti demokrasi elektoral melalui pemilu tidak mampu melahirkan pemimpin yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. 


Masih di laman yang sama, disebut pula bahwa hoaks menyebar secara luas, bahkan menjadi fenomena infodemik. Sementara pemerintah dalam upayanya menangani hal tersebut nyatanya ditangani secara represif menggunakan berbagai pendekatan yang cenderung berdampak pada kebebasan sipil. 


Termasuk tindakan pemerintah yang bersikap represif terhadap berbagai opini umat Islam yang bertujuan menjalankan kewajiban mereka untuk menyebarkan ajaran Islam yang mulia dengan dakwah dianggap sebagai pemicu konflik antarumat beragama hingga tuduhan menyebarkan ajaran radikal jika konten dakwahnya berisi seruan penerapan Islam kaffah dan penegakan khilafah.


Artinya, dari sisi jaminan perlindungan hak sipil demokrasi gagal mewujudkannya. Lantas bagaimana dari sisi keterlibatan rakyat dalam pesta demorkasi yang selama ini diselenggarakan? Apakah sudah sepenuhnya rakyat diberi hak untuk terlibat dalam menentukan pemimpinnya sebagaimana slogan demokrasi ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’? Nyatanya tidak. Kecacatan demokrasi dalam hal itu secara gamblang dipaparkan oleh Mahfud MD yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. 


Menurutnya, kurang lebih hanya sekitar lima menit saja waktu keterlibatan rakyat dalam berdemokrasi. Lima menit ini yaitu saat rakyat masuk dalam bilik suara untuk memilih saat pemilu sebagai pemilih. Sisanya sepenuhnya menjadi waktu milik elit politik untuk berkuasa. Mereka memperebutkan kursi kekuasaan lalu menikmatinya tanpa peduli lagi pada rakyat yang memilihnya (MKRI.id, (07/09/2012). 


Demi memenuhi hasrat berkuasa, money politik pun kerap terjadi. Dan saat telah berkuasa para elit politik akan sibuk mempertahankan kekuasaannya dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kekuasaan yang ada di tangannya. Wajah demokrasi-kapitalisme meniscayakan terjadinya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha sebagai kelompok korporat yang menjadi pemain di balik layar, mengendalikan para penguasa. Tidak heran jika revisi pasal dalam Undang-Undang sering terjadi demi memuluskan jalan elit kapital untuk dapatkan keinginannya.


Olehnya itu, ketimpangan ekonomi juga karut marut politik buah penerapan sistem demokrasi yang rusak dan catat menjadikan demokrasi tak layak dibanggakan. Penggambaran bagusnya praktek demokrasi di Indonesia dengan realitas yang sebenarnya pun ibarat racun yang dibalut dengan madu. Sebab demokrasi yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekularisme justru adalah biang keror dari seluruh polemik yang terjadi.


Karena asasnya yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk memisahkan agama dari negara dan politik akhinya lini kehidupan diatur dengan aturan manusia sebagai hasil dari pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Padahal seluruh aktifitas manusia dalam kehidupan seharusnya di atur dengan aturan yang bersumber dari wahyu Allah Swt. Hal itu karena manusia termasuk kehidupan ini adalah ciptaan Allah, sehingga hanya Allah sajalah yang berhak untuk mengatur ciptaan-Nya. 


Menerima demokrasi, menerapkan termasuk mempropagandakannya jelas haram hukumnya dalam Islam. Dan demikianlah wajah asli dari demokrasi yang sesungguhnya menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya al-Ajhizah fi ad-Daulah al-Islamiyah. Beliau mengatakan bahwa wajah asli demokrasi sesungguhnya bukan tampak pada slogan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, namun karena demokrasi menyerahkan hak untuk membuat hukum ada di tangan manusia. Hal itu sangat bertentangan dengan Islam.


Dengan demikian, sikap Presiden Jokowi tidaklah menjadi representatif rakyat yang merasakan penderitaan akibat penerapan sistem demokrasi, melainkan semata menunjukkan bahwa rezim hari ini telah tunduk patuh di bawah kendali negara-negara Barat termasuk elit kapital yang menjadikan demokrasi jembatan meraih tujuan. Atau dengan kata lain, membiarkan demokrasi sama saja menunjukkan ketidakpedulian pemerintah akan keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Seharusnya pemimpim negeri muslim terbesar di dunia bukan membanggakan demokrasi di hadapan dunia, namun meninggalkan demokrasi dan menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah yang tidak hanya wajib ditegakkan sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah Swt., tetapi juga karena telah nyata terbukti keberhasilan khilafah mengantarkan umat Islam menjadi umat terbaik dan membangun peradaban gemilang, Wallahu'alam bishawab.

_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar