Gempa melanda, Salah Tata Kelola dan Mitigasi Bencana

 


Oleh Hanin Syahidah


#Analisis - Gempa yang terjadi pada 21 November 2022 pukul 13:21:10 WIB lalu, dengan magnitudo 5.6 skala richter di daerah Cianjur, Jawa Barat, banyak menelan korban jiwa

(BMKG.go.id, 24/11/2022).


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 318 orang meninggal dunia hingga hari keenam gempa. Korban jiwa yang hilang sebanyak 14 korban jiwa. Korban luka-luka sebanyak 7.729 orang yang terdiri dari 595 mengalami luka berat dan 7.134 mengalami luka ringan. Untuk penyintas gempa yang masih mengungsi sebanyak 73.693 jiwa.


Sementara kerugian materiil akibat gempa yakni 58.049 rumah rusak. Kemudian 25.186 rumah mengalami rusak berat, rusak sedang 12.496, dan rumah yang mengalami rusak ringan 20.367 rumah. Infrastruktur yang rusak diantaranya 368 sekolah, 144 tempat ibadah, 14 fasilitas kesehatan, dan 16 gedung atau perkantoran. Sebanyak 16 kecamatan dan 146 desa terdampak gempa ini (antaranews.com, 26/11/2022).


Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa dengan memperhatikan lokasi pusat gempa dan kedalamannya, termasuk jenis gempa bumi dangkal yang diduga akibat aktivitas sesar Cimandiri atau sesar Padalarang. Senada dengan itu, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono menjelaskan wilayah Sukabumi, Cianjur, Lembang, Purwakarta dan Bandung, secara tektonik merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks.


Daryono menambahkan bahwa gempa Cianjur termasuk gempa kerak dangkal atau shallow crustal earthquake. Karakteristik gempa kerak dangkal adalah kekuatan gempa tidak harus besar untuk dapat menimbulkan kerusakan.

Gempa kerak dangkal, seperti yang terjadi pada gempa Cianjur ini, rata-rata kedalaman gempa bisa kurang dari 10 Km atau 15 Km. Serta, gempa merusak ini tidak perlu kekuatan atau magnitudo besar hingga M 7, untuk dapat menyebabkan kerusakan.


Menurutnya, kawasan ini merupakan jalur gempa dari beberapa sesar aktif. Di antaranya sesar Cimandiri, sesar Padalarang, sesar Lembang dan masih banyak lagi sesar-sesar minor yang ada di wilayah tersebut. Hal ini pun menjadikan kawasan Sukabumi, Cianjur, Lembang, Purwakarta maupun Bandung menjadi daerah rawan gempa secara permanen (kompas.com, 21/11/2022).


Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar Peneliti Pusat Riset Geospasial – Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan bahwa dalam sekitar seabad terakhir, ada tujuh gempa besar di sepanjang Sesar Cimandiri, yaitu gempa Pelabuhan Ratu (1900), gempa Padalarang (1910), gempa Conggeang (1948), gempa Tanjungsari (1972), gempa Cibadak (1973), gempa Gandasoli (1982), dan gempa Sukabumi (2001).


Masih menurut beliau, daerah rawan gempa dapat dipetakan, namun gempa itu sendiri tidak dapat diprediksi kapan datangnya, apalagi dicegah atau dihalangi. Manusia di daerah rawan gempa harus hidup dengan gempa. Namun mereka dapat mengurangi risiko dengan membangun infrastruktur dan bangunan yang tahan gempa.


Ini karena gempa sebenarnya tidak membunuh, selama tidak ada jembatan patah, tebing longsor atau bangunan ambruk yang melibatkan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, aturan bangunan di daerah rawan gempa wajib diperketat. Dinas PU bersama BPBD perlu lebih proaktif memeriksa kekuatan bangunan di daerah rawan gempa (Kedaulatan Rakyat, 22/11/2022).


Termasuk bangunan infrastrukturnya, sosialisasi dan pembekalan kepada masyarakat juga harus massif dikabarkan ke masyarakat, tidak melulu fokus rehabilitasi dan recovery setelah bencana terjadi. Namun, sering alasan ekonomi lah yang menjadikan bangunan ala kadarnya dibangun rakyat, karena kondisi minimnya political will oleh pemangku kebijakan negeri, sehingga sering rakyat kecil terkorban.


Indonesia yang dikenal rawan bencana dengan lempeng aktif, gunung api aktif, bencana hidrometeorologi berupa banjir rob, banjir bandang dan tanah longsor, tampaknya perlu serius dalam mitigasi bencananya. Bahkan terbaru yang menjadi ancaman lanjutan adalah lempeng baribis yang mengancam Jakarta sampai pulau Jawa dengan tsunami setinggi 34 meter. Namun, ketika kondisi penanganan bencana masih ala kadarnya seperti saat ini tidak menutup kemungkinan kejadian serupa seperti gempa Cianjur akan diprediksi terjadi.


Mentalitas birokrat yang abai terhadap kepentingan rakyat sepertinya akan semakin sulit menggambarkan bahwa penanganan bencana akan lebih baik ke depan. Simak saja bagaimana luka para korban gempa di Cianjur masih menganga, bahkan masih belum jelas mereka akan tinggal dimana setelah gempa meluluhlantakkan rumah-rumahnya dan merenggut nyawa keluarga mereka tercinta, kondisi rakyat yang dirundung duka lara.


Bukannya dipastikan semua tertangani dengan optimal. Mereka justru menghabiskan dana sekitar 100 miliyar hanya demi mengumpulkan para relawan di GBK hari Sabtu 26 November 2022 untuk menyongsong tahun politik 2024, seakan empati kepada korban bencana telah benar-benar sirna.


Jadi, berharap bahwa penanganan bencana, terutama terkait mitigasi bencana di masa mendatang akan lebih baik, seperti pungguk merindukan bulan alias mustahil. Dikatakan tidak mungkin karena negeri ini diatur oleh sistem yang lebih mengutamakan "kesenangan" birokratnya dan dominasi oligarki dibandingkan memikirkan rakyatnya.


Sebagaimana disampaikan Ekonom senior yang juga pendiri INDEF, Faisal Basri, menyoroti praktik oligarki dalam perpolitikan Indonesia. Sorotan itu dituliskan Faisal dalam artikel berjudul 'Oligarki, Ketimpangan, dan Korupsi'. Faisal memaparkan bahwa sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni. Indeks crony capitalism Indonesia berada di urutan ketujuh terburuk di dunia. Bisnis kroni menguat karena akses pengusaha terhadap kekuasaan semakin mudah. Bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi. Batas antara penguasa dan pengusaha kian tipis. Lembaga legislatif semakin dijejali oleh pebisnis. Empat dari lima anggota BPK berasal dari partai politik, ujarnya (CNBC Indonesia.com, 7/10/2019).


Sehingga jargon demokrasi yang awalnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat berubah  menjadi dari pengusaha oleh pengusaha dan untuk pengusaha. Maka sangat wajar kiranya jika kepentingan rakyatnya selalu terpinggirkan dan rakyat selalu dalam nestapa. Hal itu disebabkan negara abai terhadap pengurusan urusan rakyatnya, kondisi yang sungguh berbeda ketika terjadi bencana saat Islam berkuasa.


Seperti yang pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ketika gempa terjadi di Madinah, maka Khalifah Umar mengingatkan agar umat Islam saat itu bertaubat karena gempa itu adalah peringatan dari Allah atas dosa-dosa hamba-Nya. Kemudian ketika bencana paceklik, maka Umar bersumpah tidak akan makan daging, beliau hanya makan roti keras dan minyak Samin, itu pun jika beliau benar-benar lapar. Di beberapa riwayat, istri beliau menyodorkan daging untuk beliau makan beliau hanya menyampaikan kepada istrinya, bahwa beliau tidak akan makan daging selama rakyatnya kelaparan.


Begitulah Khalifah Umar bin Khattab pemimpin umat Islam saat itu. Pemimpin dalam Islam benar-benar mengurusi rakyatnya. Oleh karena itu, ketika Islam diterapkan dengan kepemimpinan seorang Khalifah selain kesejahteraan rakyat, maka mitigasi bencana bukan hanya sekedar wacana tapi akan menjadi tindakan nyata bagi negara memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya, Wallahu a'lam bishawab.


_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar