Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara: Perlukah Mahasiswa?

 



Oleh: Fatimah Azzahrah Hanifah, Mahasiswa FMIPA Universitas Indonesia


Universitas Indonesia (UI) menjadi salah satu piloting program Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara (MBBN) bersama dengan 9 universitas lainnya (02/12/2022). Program ini diusung oleh kolaborasi antara tiga kementerian yaitu Kementerian Agama, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Pada peluncuran tersebut, Rektor UI mengatakan bahwa program Griya MBBN ini dapat menjadi laboratorium kehidupan agar sivitas akademika dapat memperoleh pengalaman dari pengamalan Pancasila.


Pada laporan berjudul Blue Print Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara pada Perguruan Tinggi Umum (PTU), moderasi beragama dan bela negara dinilai saling melengkapi untuk membentuk pola pikir, sikap dan perilaku cinta tanah air, mencintai keberagaman dan keberagaman terhadap seluruh warga negara. Selain itu ditambahkan, target pendidikan tinggi pada Perguruan Tinggi (PT) adalah sebagai wadah untuk melahirkan intelektual, ilmuan, dan profersional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa.


Upaya internalisasi moderasi beragama dan bela negara di Perguruan Tinggi bukanlah barang baru. Pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, tertuang di pasal 35 Ayat (5) dimana Perguruan Tinggi wajib melaksanakan kurikulum yang memuat mata kuliah agama, mata kuliah kewarganegaraan dan mata kuliah pancasila. Selanjutnya, melalui Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dimana pemerintah telah menetapkan moderasi beragama menjadi program prioritas Nasional selama tahun 2020-2024. 


Kementerian Agama sebagai kapten kapal moderasi beragama mengeluarkan berbagai keputusan mulai dari Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7272 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Moderasi Beragama pada pendidikan Islam, hingga Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 897 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Rumah Moderasi Beragama. Akan tetapi, keputusan-keputusan ini dinilai tidak cukup karena terbatas pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) sehingga dibentuklah program Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara di PTU dengan 3 agenda utama yaitu pendidikan dan pelatihan; kajian, penelitian dan publikasi; serta advokasi dan pendampingan masyarakat. Gencarnya berbagai program moderasi beragama dan bela negara bukanlah tanpa sebab. Pengarusan program-program tersebut diharapkan menjadi strategi menghalau pemahaman dan gerakan yang dinilai radikal dan ekstrim di kampus.


Moderasi Beragama dan Bela Negara Bagian dari Upaya Deradikalisasi


Kata radikal saat ini telah mengalami pergeseran makna. Pada awalnya secara etimologis, radikal berasal dari bahasa latin yakni ‘Radix’. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), Radix berarti ’akar’, ’sumber’, atau ’asal-mula’. Radix lalu dipahami sebagai hal yang mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial atas bermacam gejala. Maka, secara bahasa kata radikal memiliki makna yang netral.


Pergeseran makna radikal menjadi negatif atau positif akhirnya tergantung zaman dan pengaruh politik. Misalkan, pada masa Yunani kuno, radikalisme merupakan cara berpikir yang mempertanyakan segala sesuatu atau mendalam hingga menyentuh akar permasalahan. Kemudian, pada abad ke-20, Eropa mengaitkan radikalisme sebagai barisan kelompok kiri yang menentang Kapitalisme. Hal tersebut terus berlanjut hingga AS menghegemoni dengan kapitalisme, akhirnya radikalisme ditunjukkan pada penganut agama Islam yang tidak berkompromi dengan nilai-nilai Barat.


Dengan isu radikalisme ini, berbagai agenda deradikalisasi dimainkan. Lewat pengadopsian Plan of Action to Prevent Violent Extremism/Pan-PVE pada sidang umum PBB 2016 lalu. Ada 7 program utama termasuk pemberdayaan pemuda dan pendidikan. Indonesia sebagai negara di bawah PBB turut andil dalam agenda kontraradikalisme. Berbagai program seperti moderasi beragama hingga bela negara menjadi agenda upaya deradikalisasi. Pertanyannya perlukah mahasiswa dengan program ini?


Moderasi Beragama Narasi Racun Dibalut Madu


Padahal narasi moderasi beragama tidak lepas dari agenda Barat. Dalam buku yang ditulis oleh lembaga Think Thank AS, Rand Corporation yang berjudul Building Moderate Muslim Network telah mengelompokkan kaum Muslim menjadi beberapa kelompok yaitu fundamentalis, tradisionalis, liberalis dan moderat. Pada bab 5 dijelaskan karakteristik Muslim moderat adalah mendukung nilai-nilai kunci peradaban demokrasi dan menentang konsep Islam ideologis; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian artinya menerima sumber hukum yang berasal di luar dari syariat Islam karena syariat dinilai diskriminasi; menerima feminisme dan terbuka terhadap pluralisme; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan. Selain itu, dituliskan lima proyek ciri khas Islam moderat yaitu relativisme dan pluralisme, substansialisme atau kontekstualisme, sekularisme, westernisasi, dan gender.


Apa yang ditulis oleh buku tersebut tentu tidak langsung diterapkan mentah-mentah oleh Indonesia. Tentunya narasi moderasi beragama dikemas dengan sangat manis. Misalkan saja sejumlah indikator moderasi beragama yang ditetapkan oleh Kemenag yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti radikalisme dan kekerasan, serta akomodatif terhadap budaya lokal. Semua itu memiliki maksud yang sama yaitu menolak nilai-nilai Islam ideologis dan terbuka terhadap nilai-nilai demokrasi dan pluralisme.


Ditambah lagi berdasarkan sejarahnya, Rasulullah tidak mengajarkan moderasi beragama. Narasi moderasi beragama lahir pertama kali pada Revolusi Iran 1979 yang ditegaskan oleh Fereydoon Hoveyda pada artikelnya yang berujudul “Moderate Islamist? American Policy Interest”. Fereydoon menuliskan bahwa istilah “islamic moderation”, “moderate Muslim”, atau “moderate Islam” banyak digunakan setelah 1979 untuk mendeskripsikan hubungan antara Muslim, Islam, atau aktivis Islam dengan Barat. Aktivis Islam moderat merupakan orang-orang yang dianggap pro Barat. Sementara lawannya, dijuluki sebagai hard line Islamist yaitu orang-orang yang menginginkan Islam secara murni dan menolak ideologi Barat. Maka, jelas moderasi beragama bukanlah dari Islam dan Barat menggunakan narasi ini untuk menjauhkan nilai-nilai Islam ideologis dari umat muslim itu sendiri dan mengkokohkan hegemoni mereka atas negeri-negeri kaum muslim.


Bela Negara Kembalikan Kepada Membela Islam


Selain narasi moderasi beragama, bela negara juga dijadikan sebagai upaya deradikalisasi. Jika narasi bela negara digunakan untuk melawan radikalisme yang dianggap sebagai ancaman maka salah besar. Karena seperti yang dipaparkan sebelumnya, radikalisme nyatanya digunakan sebagai narasi yang ditunjukkan pada nilai-nilai Islam ideologis (tidak pro Barat). Sementara, ancaman sesungguhnya negeri ini adalah diterapkannya kapitalisme yang menyebabkan masyarakat hidup di bawah penderitaan. Naiknya harga-harga kebutuhan pokok, mahalnya kesehatan dan pendidikan, krisis moral generasi, banyaknya kasus kejahatan seksual hingga isu kesehatan mental tidak lepas dari akibat penerapan sistem kapitalisme.


Jika bela negara adalah cinta tanah air, bukankah seharusnya omnibus law dan RKUHP yang nyatanya ditentang gelombang masyarakat tidak sahkan? Jika bela negara memang harus dipraktikan, bukankah pemangku kebijakan seharusnya terlebih dahulu menjadi role model-nya? Apakah menjual negeri ini dan membiarkan Indonesia tunduk pada agenda-agenda Barat adalah bagian dari bela negara?


Maka sudah seharusnya mahasiswa memosisikan bela negara adalah dengan melepaskan Indonesia dari jeratan kapitalisme. Mahasiswa muslim seharusnya membela negara dengan mengembalikan negerinya kepada pencipta langit, bumi dan seisinya yaitu Allah SWT. Karena seharusnya kecintaan pada bangsa dan tanah air tidak lebih tinggi dari pada kecintaan kepada Allah, Rasul, dan syariat-Nya.


Mahasiswa Peduli Bangkit dengan Islam

Ilusi kemajuan Barat berusaha diikuti oleh negeri-negeri kaum muslim. Mereka menanggap penghalang kemajuan negeri mereka adalah radikalisme. Padahal, Barat dengan ideologi kapitalismenya telah berada dijurang krisis. Mulai dari krisis ekonomi hingga krisis generasi. Ilusi kemajuan peradaban Barat yang berusaha dipropagandakan lewat Hollywood nyatanya masih terus diliputi segudang masalah. Misalkan saja meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual, isu diskriminasi yang tidak pernah lepas dari Barat, hingga permasalahan resesi ekonomi dan generasi. Barat bisa jadi maju dari segi teknologi, namun generasinya terus mengalami kemunduran. 


Sementara itu, peradaban Islam dengan penerapan syariat Islam telah membuktikan kemajuannya tidak hanya dari segi teknologi namun juga manusia. Maka sudah seharusnya mahasiswa Muslim peduli akan kondisi masyarakat saat ini. Kemudian, bersatu memperjuangkan Islam. Karena hanya Islam lah jawaban shahih atau segala problematika saat ini. Seperti yang dijanjikan Allah SWT pada QS an Nahl ayat 89:


وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ


“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”


Oleh karena itu, program Griya MBBN tidak lain merupakan jalan untuk melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang dapat berkompromi dan terbuka dengan nilai-nilai Barat. Lewat program ini juga akhirnya semakin menjauhkan mahasiswa dari ajaran Islam ideologis serta semakin mengokohkan hegemoni kapitalisme. Maka, masih butuhkah mahasiswa dengan program ini?[]_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar