Hipokrasi Para Penggugat Politik Identitas (Islam)



Oleh Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#TelaahUtama- Presiden Jokowi memerintahkan penyelenggara pemilu tidak ragu menindak peserta pemilu yang memanfaatkan politik identitas sepanjang pesta demokrasi berlangsung. Ia berujar, politik identitas sangat berbahaya dan tidak boleh diberi ruang karena disinyalir dapat menjadi peluang pihak lain untuk memecah belah keutuhan negara. Terlebih menurutnya Indonesia terdiri atas beragam agama, suku dan ras yang sangat mudah disulut perpecahan tatkala perbedaan tersebut ditonjolkan. Dari sini terlihat jelas bagaimana rezim tengah berupaya melawan pihak-pihak yang “memainkan” isu agama dan isu primordial untuk mendulang suara dalam Pemilu 2024. 


Padahal sejatinya politik identitas adalah sesuatu yang alami. Dimana di dalam berpolitik, preferensi atau cara pandang seseorang memang cenderung dilakukan melalui pendekatan identitas yang melekat pada masing-masing individu, baik preferensi agama, preferensi etnis maupun preferensi gender. Sehingga tidaklah mengherankan jika secara alamiah aliran politik akan bergerak dengan didasari pada persamaan-persamaan identitas tertentu. Artinya tidak ada yang salah dengan politik identitas selama disampaikan secara damai, intelektual, adu gagasan, dialektika, tanpa kekerasan dan tanpa pemaksaan. 


Oleh karenanya jika dalam ranah politik saat ini tiba-tiba ada kalangan yang menyoal identitas dalam berpolitik, tentu ini sangatlah aneh bahkan bisa kita katakan munafik. Lebih jauh jika politik identitas keagamaan dilarang, maka ini akan menjadi paradoks atau pertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 yang menjamin kebebasan setiap individu masyarakat untuk memeluk dan menjalankan agama yang dianutnya termasuk Islam. 


Ironisnya kemunculan istilah politik identitas cenderung ditujukan kepada individu atau kelompok Islam. Para pengusung prokebhinekaan termasuk di dalamnya rezim sering dengan mudah menjuluki lawan politiknya dengan sebutan politik identitas bersamaan dengan diksi negatif sebagai upaya menjatuhkan pihak oposisi. Terlebih dengan meningkatnya kesadaran politik Islam di tengah-tengah umat menjadikan para penganut sekularisme kian memojokkan para pendukung Islam kafah.  


Dari sini bukanlah hal yang mengherankan jika kemudian nantinya pihak-pihak yang menggugat kezaliman penguasa dengan dasar Alquran dan assunnah akan dianggap sebagai musuh politik yang “memanfaatkan” politik identitas Islam dan diharuskan untuk dibinasakan. Hal ini bahkan sudah terlihat dari gelagat rezim yang secara sigap menyematkan diksi politik identitas terhadap siapa saja yang menonjolkan identitas keislamannya. Sebut saja aksi protes kalangan emak-emak Minang atas isu “rendang babi Padang”, kemudian dianggap sebagai politik identitas yang berbahaya dan digembar-gemborkan sebagai biang keladi perpecahan suku Minang. Padahal sudah lumrah kita kenal suku Minang dengan identitas keislamannya yang kental. 


Begitu pula ketika ada individu ataupun kelompok Islam yang menyampaikan ajaran Islam tentang keharaman memilih pemimpin kafir misalnya dengan tuduhan tengah menggunakan politik identitas. Apalagi kepada mereka yang menyerukan penerapan syariah Islam untuk kemaslahatan bersama dengan upayanya menegakkan khilafah, para pendukung prokebhinekaan secara membabi-buta menuding mereka sedang memainkan politik identitas dan menuding mereka sedang men-Suriah-kan Indonesia. 


Dari sini wajar jika pada akhirnya sebagian masyarakat memandang bahwa tuduhan politik identitas itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang memperjuangkan ajaran agamanya.  Nyaris tak terdengar tudingan ‘politik identitas’ yang bernada menyudutkan pihak selain Islam. Yang kemudian kita pahami tuduhan politik identitas tidak lain sebagai upaya untuk menghambat aspirasi Islam dalam persoalan politik dan kenegaraan. 


Padahal sejatinya ajaran Islam tidak akan bisa terlepas dari aktivitas politik yang berarti mengurusi segala urusan umat dalam segala aspek kehidupan baik urusan individu, masyarakat hingga urusan kenegaraan. Dimana politik (siyasah) dalam pengertian pengaturan urusan-urusan umat manusia (rakyat) menjadi penting di dalam penerapan syariah Islam. Bahkan Islam secara gamblang memerintahkan agar umat Islam mengatur segala urusan mereka baik individidu, keluarga, masyarakat hingga negara berdasarkan syariah Islam tanpa kecuali. Kewajiban berhukum pada syariah Islam secara totalitas tentu termasuk dalam perkara politik yang mengatur urusan umat manusia ini. 


Maka dari itu, upaya menyematkan gerakan politik keislaman dengan diksi negatif politik identitas tidak lain adalah upaya memutilasi syariah dan dakwah Islam. Celakanya isu politik identitas (Islam) ini justru kian meruncingkan isu Islamophobia yang secara pasti akan semakin menyudutkan umat Islam. Karena sesungguhnya pihak yang menggaungkan bahaya politik identitas (Islam) justru menuding upaya penerapan syariah Islam sebagai cikal bakal perpecahan bangsa. Bahkan tidak jarang mereka menarasikan penerapan syariah Islam sebagai upaya memarginalkan kelompok minoritas, yang sejatinya tidak pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam. 


Padahal mereka yang menuding pihak yang memperjuangkan syariah Islam sebagai tindakan politik identitas sesungguhnya tengah mempertontonkan politik identitas mereka sendiri. Yakni identitas sekularismenya. Dimana mereka berupaya menjauhkan Islam dari tatanan kehidupan politik masyarakat khususnya dan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Di sisi lain mereka yang berteriak pro wong cilik atau pejuang Pancasila sejatinya tengah memainkan politik identitas pula. Oleh karena itu kita melihat betapa munafiknya mereka tatkala berbicara politik identitas (Islam).   


Oleh karena itu jelas upaya menjadikan politik identitas Islam sebagai isu yang buruk tidak lain karena rezim dan pihak-pihak yang berkuasa merasa dirugikan dengan sinyal-sinyal kebangkitan Islam. Mengapa rezim merasa dirugikan? Hal ini karena penguasa merasa politik sekularismenya terganggu dengan adanya pesaing dari para pejuang politik identitas Islam. Dimana rezim menganggap pergerakan politik Islam memiliki potensi untuk menggulingkan oligarki yang telah mereka bangun dengan susah payah. 


Liciknya pada momen-momen tertentu termasuk dalam perhelatan pesta demokrasi misalnya, akan banyak kita temukan kelak berbagai kelompok atau parpol sekular yang berupaya keras melakukan manipulasi identitas Islam. Kita saksikan bagaimana setiap menjelang Pemilu Pilpres ataupun Pilkada, tidak sedikit diantara mereka yang berupaya memanipulasi simbol-simbol dan identitas Islam. Seperti halnya memakai baju koko, peci, sarung, ataupun kerudung dan jilbab tatkala berkampanye disertai dengan bermacam kunjungan ke tempat-tempat bernuansa Islam seperti pesantren, organisasi Islam ataupun masjid. Semua itu dilakukan semata-mata untuk meraih simpati kelompok Islam dan kaum muslim yang notabenenya adalah populasi mayoritas di negeri ini.   


Ujung-ujungnya identitas keislaman akan ramai dimanfaatkan oleh kelompok dan parpol sekular guna meraih banyak suara dalam Pemilu Pilpres ataupun Pilkada. Sedangkan di waktu lainnya, yakni sebelum dan sesudah pemilu, simbol-simbol dan identitas Islam tersebut akan mereka tanggalkan. Bahkan ironisnya sering mereka persoalkan. Apalagi fakta di lapangan menunjukkan bagaimana pasca perhelatan pesta demokrasi usai, sikap Islamophobia rezim dan para pengusung sekularisme akan kembali dipertontonkan tanpa rasa malu sedikitpun.   


Wallahu a’lam bi ash-shawab.

_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar