Indonesia Darurat Bencana, tetapi Mitigasi Seadanya

 


#EDITORIAL — Indonesia benar-benar sedang dirundung malang. Belum lama banjir besar melanda berbagai wilayah di Indonesia. Disusul oleh gempa Cianjur yang menewaskan 334 jiwa. Puluhan ribu bangunan rusak berat hingga ratusan ribu penduduk harus tinggal di pengungsian.


Lalu kini, Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa, kembali memuntahkan isi perutnya setelah Desember 2021 lalu juga mengalami erupsi yang cukup besar. Tidak ada korban jiwa memang, tetapi puluhan ribu penduduk harus mengungsi karena sejumlah desa di dua kecamatan di Kabupaten Lumajang langsung terdampak.


Ribuan rumah tertutup debu dan pasir. Aliran lahar pun mengancam penduduk yang ada di area sungai. Sementara itu, wilayah lainnya terkena paparan hujan abu vulkanik yang cukup lebat.


Negeri Rawan Bencana

Sudah dimaklumi, secara geografis Indonesia adalah negeri rawan bencana. Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.


Indonesia juga terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim (panas dan hujan) dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem. Tidak heran jika potensi bencana di Indonesia sangat besar, mulai dari gempa, gunung meletus, longsor, tsunami, banjir, kebakaran, dan sebagainya.


Untuk tingkat kegempaan, Indonesia bahkan tergolong sangat tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat. Sedangkan untuk tsunami, survei badan PBB UNISDR menunjukkan, Indonesia menempati peringkat pertama potensi tsunami dari 265 negara di dunia dengan resiko ancaman yang dinilai lebih tinggi dibandingkan Jepang.


Nyaris tiap tahun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan ada ribuan bencana terjadi di Indonesia. Pada periode 1 Januari hingga 4 Oktober 2022 lalu saja, BNPB melaporkan sudah terjadi 2.654 bencana alam di Indonesia. Yang mendominasi adalah bencana banjir, diikuti puting beliung, gempa, tanah longsor, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).


Semua kejadian bencana tersebut tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Jutaan orang harus hidup mengungsi. Ratusan nyawa hilang. Ratusan ribu bangunan rusak. Artinya, kerugian ekonomi dan sosial tidak terhitung besarnya. Sementara itu, bencana-bencana tersebut diprediksi akan terjadi lebih besar pada tahun-tahun yang akan datang.


Mitigasi Seadanya

Tentu saja fakta-fakta ini menuntut sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak. Khususnya pada para penguasa yang menjadi pengurus rakyat.


Namun, sayangnya, setiap terjadi bencana pemerintah nyaris selalu gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat dengan LSM, ormas, atau masyarakat biasa. Tidak jarang juga, pemimpin negara lebih memilih lawatan daripada melihat daerah bencana, atau menjadikan turun lapangan sebagai bagian membangun citra. Apalagi jelang pemilu tiba.


Wajar jika pada setiap bencana selalu muncul perdebatan, negara ada di mana? Bantuan sering kali datang belakangan. Banyaknya korban menunjukkan mitigasi tidak benar-benar berjalan hingga masyarakat memilih tidak terlalu berharap banyak pada pemimpinnya.


Bencana tsunami Aceh atau gempa dan likuifaksi di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah menjadi salah satu contoh mitigasi yang centang perenang. Selain menelan korban yang begitu banyak, korban selamat pun harus hidup di pengungsian selama bertahun-tahun tanpa harapan bisa memperoleh tempat hunian yang layak dan nyaman.


Begitu pun korban bencana di tempat-tenpat lainnya. Masyarakat menyelesaikan persoalannya secara swadaya. Sedangkan pemerintah menolong seadanya, dan selalu berkutat dengan persoalan kekurangan dana.


Dampak Kepemimpinan Sekuler Kapitalistik

Kentalnya paradigma pembangunan sekuler kapitalistik membuat para penguasa tidak memiliki sensitivitas dan keinginan serius untuk menyolusi kebencanaan sejak dari akarnya. Bahkan kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya.


Lihat saja, rata-rata analisis penyebab dan dampak beberapa bencana selalu menunjuk pada kebijakan penguasa. Contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan) hingga Walhi menyebut 35 persen hutan kita rusak, bahkan hilang. Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Semuanya seakan sulit dilakukan karena berkelindan dengan kepentingan para pemilik modal.


Banyak pula aktivis lingkungan yang protes tentang kebijakan Amdal yang saat ini sangat longgar. Pelaku usaha kelas kakap berani menjalankan usaha meski izin belum keluar. Tidak sedikit di antara mereka yang lolos hukum meski jelas melanggar aturan. Kongkalikong kapitalis dan pejabat penguasa memang masih jadi budaya di Indonesia.


Begitu pun soal mitigasi bencana. Selama ini, masyarakat selalu jadi pihak yang disudutkan. Pengetahuan minimlah, tidak mau direlokasilah, tidak bisa diaturlah, dan sebagainya. Padahal semua menyangkut political will penguasa. Ketersediaan data dan informasi, minimnya pengetahuan masyarakat, ketersediaan teknologi, fasum, dan alat, semuanya adalah tanggung jawab para penguasa.


Masyarakat memang butuh dicerdaskan. Juga butuh difasilitasi dan diberi jaminan kesejahteraan. Mereka hanya berpikir, jika mereka meninggalkan kampung halaman, mereka tinggal di mana dan hidup seperti apa? Penguasa hanya menuntut rakyat demikian, sedangkan solusinya tidak ada. Oleh karenanya, jangan salahkan rakyat jika makin lama mereka makin tidak percaya pada para penguasa.


Butuh Riayah Berdimensi Akhirat

Berbeda dengan paradigma sekularisme kapitalisme, Islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat (rain) dan menjaga mereka (junnah). Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan. Bahkan bukan hanya untuk urusan di dunia, tetapi juga urusan akhirat rakyatnya.


Dalam konteks kebencanaan, para pemimpin Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau melakukan dan membiarkan hal-hal yang bisa mengundang azab Allah Swt..


Adapun basisnya adalah pelaksanaan perintah Allah yang tercantum dalam Al-Qur’anul Karim,


وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ


“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’” (QS Al-Baqarah: 11)


Atau firman Allah,


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum : 41)


Juga hadis Nabi saw.,


“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu tempat, sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani)


Dari paradigma ruhiyah inilah, semua kebijakan penguasa akan diturunkan. Tolok ukur satu-satunya hanyalah syariat Islam, bukan kepentingan pribadi, golongan, apalagi kepentingan para pemilik modal. Terlebih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai sistem politik, ekonomi (termasuk keuangan), sistem sosial, sanksi, hankam, dan sebagainya.


Tuntunan Islam

Bahwa bencana adalah ketetapan Allah Swt., tentu benar adanya. Bencana bisa terjadi kapan pun dan di mana pun sebagai ujian dan peringatan bagi manusia. Namun, Islam memberi tuntunan untuk menghindarinya, sekaligus menuntun cara menghadapinya. Termasuk dalam hal ini mengatur soal mitigasi kebencanaan.


Mitigasi sendiri secara umum diartikan sebagai serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik lewat pembangunan fisik ataupun penyadaran, serta peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.


Dalam Islam, mitigasi tentu menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya sebagai rain dan junnah umat tadi, yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Adapun aktivitas menolong yang bisa dan biasa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, maka itu merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh agama dan tetap didorong oleh penguasa.


Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan dikaitkan dengan strategi politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan orang per orang. Juga sistem keuangan, pertanahan hingga sanksi untuk mencegah pelanggaran.


Adapun di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus lagi. Tentu tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga soal manajemenkebencanaan (disaster management). Mulai dari pendidikan soal kebencanaan, pembangunan infrastruktur, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang lebih sistemik dan terpadu. Begitu pun soal sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan benar-benar akan diperhatikan.


Semua ini sangat niscaya dilakukan karena ditopang dengan sistem keuangan Islam yang sangat kuat. Sumber-sumber pemasukan negara begitu besar, terutama dari kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan SDA yang secara syar’i wajib masuk ke kas negara. Dengan demikian, persoalan dana tidak akan menjadi penghambat yang serius bagi mitigasi bencana. Atau bahkan menjadi alasan bagi aktor negara asing maupun lembaga nonnegara untuk membangun pengaruh politik melalui tawaran utang dan bantuan.


Kondisi ideal seperti ini memang akan sulit diwujudkan dalam sistem sekarang. Paradigma kapitalisme sekuler neoliberal telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam).


Alih-alih maksimal menjauhkan dan atau membantu rakyat dari kebinasaan, kekuasaan oligarki justru menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana berkepanjangan. Kalaupun ada yang dilakukan bagi rakyatnya, pasti tidak lepas dari rumus hitung-hitungan.


Khatimah

Hanya sistem kepemimpinan Islam yang bisa diharapkan mampu menyelesaikan problem kebencanaan dengan solusi yang mendasar dan tuntas. Dimulai dari fondasi negara dan kepemimpinan yang lurus, yakni berlandas tauhidullah, lalu ditopang oleh penerapan syariat Islam secara kafah. Inilah yang akan menjadi pintu pembuka bagi datangnya keridaan Allah Swt. sekaligus kebaikan hidup yang dirasakan oleh semua.


Oleh karenanya, sudah saatnya umat bersegera mewujudkan kepemimpinan Islam. Tentu dimulai dengan aktivitas dakwah pemikiran yang bertarget memahamkan umat dengan akidah dan hukum-hukum Islam dengan pemahaman yang benar dan komprehensif.


Harapannya, tergambar pada diri umat bahwa Islam adalah solusi seluruh problem kehidupan, sekaligus jalan keselamatan. Tidak hanya menyelamatkan mereka dari bencana di dunia saja, tetapi juga bencana yang lebih berat di akhirat. [MNews/SNA]


_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di

Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar