Innilhukmu illa lillah

 



Oleh Rini Sarah


#TelaahUtama - Tok! RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) disahkan. Melalui rapat paripurna DPR RI tanggal 6 Desember 2022, RKUHP sah menjadi Undang-Undang (UU). Meski banyak pasal yang belum disetujui berbagai pihak, tak menghalangi dewan legislatif untuk mengesahkannya.


Sebagaimana UU produk demokrasi lain, UU KUHP pun mendapat berbagai reaksi penolakan. Karena ditenggarai akan melegalkan perbuatan-perbuatan maksiyat yang bukan budaya timur apalagi Islam  seperti seks bebas dan seks menyimpang.


Hingga, disinyalir akan menjadi alat pembungkaman bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa melalui Pasal 240, dan Pasal 241 RKUHP mengenai Penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara baik lisan, tulisan, langsung atau melalui sosial media. Serta, Pasal 188 yang menyatakan akan orang yang menyebarkan ajaran komunisme, Markisme, Leninisme, dan  paham yang bertentangan dengan Pancasila akan kena pidana juga selama maksimal 4 tahun penjara. 


Lemah


UU KUHP merupakan produk demokrasi. Sejarah mencatat bahwa demokrasi membuat manusia laksana tuhan. Ia menyerahkan pembuatan aturan hukum kepada manusia itu sendiri. Di awal kemunculannya, sejarah mencatat praktek demokrasi secara langsung di Yunani, Tepatnya di negara Athena yang dipimpin oleh Cleisthenes. Negara Athena didirikan warga pada tahun 507-508 SM. Negara itu ditenggarai sebagai negara demokrasi pertama dan Cleisthenes dinobatkan sebagai Bapak Demokrasi Athena. (Wikipedia)


Dalam praktiknya, negara Athena mempunyai lembaga legislatif dan yudikatif yang dijalankan oleh warga terpilih. Sementara lembaga legislatif beranggotakan semua warga negara. Warga negara bisa mengemukakan pendapatnya, berembug, dan membuat hukum untuk warga Athena. Tetapi, wanita dan budak tidak dianggap sebagai warga negara. Sehingga mereka tidak mempunyai suara.


Demokrasi lama terkubur, lalu bangkit kembali setelah Revolusi Prancis dengan tokoh yang dianggap mempengaruhinya adalah Jean Jacques Rousseau. Rousseau-lah yang mengenalkan teori kedaulatan berada di tangan manusia. Menurutnya manusia itu memiliki derajat yang sama. Tidak boleh terganggu kebebasannya. Oleh karena itu, manusia harus membuat hukum untuk dirinya. Jika hukum dibuatkan oleh orang lain (atau Zat lain), maka manusia akan menjadi budak. 


Tentu saja ini bertentangan dengan fakta manusia yang lemah, serba kurang, dan butuh pada sesuatu yang lain. Demikian pun akalnya. Akal manusia tidak mampu menentukan suatu perbuatan itu terpuji atau tercela, termasuk dalam kejahatan atau bukan, apalagi menentukan perbuatan itu berimplikasi kepada pahala atau dosa. Hingga ketika orang melakukannya atau meninggalkannya bisa disanksi atau tidak.


Di sisi lain, manusia juga tidak tahu apa yang baik dan buruk bagi umat manusia. Allah Swt. Sang Pencipta manusia berfirman, 

... ۚ وَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْــئًا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّـکُمْ ۚ وَعَسٰۤى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْــئًا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمْ ۗ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ وَاَ نْـتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

".... Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah:216)


Bayangkan produk hukum seperti apa yang nanti akan lahir, jika dibuat oleh manusia yang lemah dan tidak tahu mana yang baik atau buruk untuk umat manusia. Faktanya, bisa kita rasakan sekarang, berbagai keterpurukan dan merosotnya derajat manusia menjadi lebih rendah dari hewan telah terjadi. 


Demikian pula, ketika hukum diserahkan pembuatannya pada manusia akan sangat subyektif dan tidak lepas dari kepentingan pembuatnya. Konflik kepentingan akan senantiasa muncul. Apalagi jika pembuatan hukum hanya diserahkan kepada perwakilan rakyat saja. Sudah bisa dipastikan kepentingan siapa yang senantiasa dimenangkan dan kepentingan siapa yang dikalahkan. 


Oleh karena itu, tak akan tercipta keadilan selama hukum diserahkan kepada manusia dalam pembuatannya. Akan senantiasa ada perbudakan bagi manusia yang tidak bisa ikut serta dalam pembuatan hukum oleh manusia pembuat hukum. Penindasan, penjajahan, tak akan pernah terelakkan. 


Kafah


Berbeda dengan demokrasi, Islam memandang bahwa hak dan otoritas pembuat hukum hanya ada pada Allah semata. Dalam surat Alanam:57, Allah berfirman, Innilhukmu illa lillah. Hak menetapkan hukum hanya milik Allah. Dia-lah yang berhak menentukan halal dan haram. Dia pula yang berhak menentukan mana perbuatan yang disanksi atau diberi pahala. Dia pula yang menentukan mana paham yang boleh disebar mana tidak. 


Oleh karena itu, tidak ada sumber lain bagi hukum Islam. Selain sumber hukum Islam yang Allah restui, yaitu Alquran, Assunah, ijma shahabat, dan Qiyas syari. Dari situlah semua hukum Islam digali.


Jadi, sungguh jelas terlihat perbedaan  fundamental Islam dengan demokrasi. Dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Sang Pembuat Hukum. Bukan di tangan manusia seperti demokrasi. 


Hukum Islam pun akan kompatibel dengan seluruh persoalan manusia. Karena Islam merupakan agama kafah yang mengatur seluruh urusan manusia. Disebutkan dalam Surat al-Nahl ayat 89: Wanazzalnâ a’layka al-Kitâb tibyân[an] li kulli syay. Artinya: Kami telah menurunkan Kitab kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.


Dalam hubungan manusia dengan Allah, Islam menjelaskan hukum mengenai akidah dan ibadah. Sementara, dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, Islam telah mengaturnya dengan hukum-hukum seputar makanan, pakaian, dan akhlah. Untuk hubungan manusia dengan manusia lain, Islam mengaturnya lewat hukum-hukum mengenai muamalah seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, politik luar negeri dan politik pendidikan.  Ada juga hukum al-‘uqûbât, yang mengatur sanksi atau hukuman hudûd, jinâyât ta’zîr dan mukhâlafât. Semua hukum itu wajib diterapkan tanpa kecuali.


Sebagian hukum dalam pelaksanaannya diserahkan kepada individu, seperti hukum ibadah ritual, makanan, pakaian, atau akhlak. Sebagiah hukum yang lain seperti hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain diserahkan kepada negara, yaitu Khilafah. 


Berbeda dengan sekularisme yang memisahkan antara agama dan negara, Isla. Justru mengintegrasikan negara dengan agama. Negara merupakan lembaga pelaksana bagi setiap hukum yang terpancar dari agama Islam. Dengan demikian bisa dikatakan, al-Islâm dîn kâmil wa al-dawlah juz’un mihu. Islam adalah agama yang sempurna dan negara bagian darinya.


Ketika Islam diterapkan, sudah pasti akan menjamin kebaikan, keadilan, dan kebenaran berpihak pada seluruh rakyat. Karena Islam berasal dari Zat Yang Mahabaik, Mahaadil, dan Mahabenar yaitu Allah Swt.  


Allah adalah Zat yang terlepas dari sifat-sifat makhluk. Hingga tidak ada kepentingan yang akan bermain dalam pembuatan hukum Islam. Allah pun tahu segalanya. Baik masa lalu maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu, semua hukum Islam pasti benar dan adil. Dalam surat Alanam:115 disebutkan Wa tammat kalimatu Rabbika shidq[an] wa ‘adl[an]. Telah sempurna kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Benar dalam semua yang dikabarkan. Adil dalam semua hukum-Nya.


Fakta sejarah pun telah membuktikan. Ketika Islam diterapkan kesejahteraan dan kebaikan melingkupi umat. Sebut saja di era kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, umat Islam di Ethiopia pun enggan menerima zakat. Saking sudah meratanya kesejahteraan. Inilah indahnya Islam. Tidak inginkah kita mengulang berada dalam naungannya? 

_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar