Jaminan Kesehatan Sejatinya Hak Semua Orang

 



#EDITORIAL — Baru-baru ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeluh soal 1.000 orang yang tagihan biaya perawatannya paling menguras dompet BPJS Kesehatan. Ia menyinyalir mereka terdiri dari orang kaya, bahkan level konglomerat. Untuk membuktikannya, ia pun akan memeriksa besaran VA listrik yang mereka konsumsi. Jika ternyata VA-nya lebih dari 6.600, berarti BPJS memang sudah salah sasaran.


Menurut Menkes Budi, orang-orang kaya seperti mereka sesungguhnya tidak layak bergantung pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain membebani keuangan negara, keberadaan mereka menutup peluang kalangan tidak mampu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang optimal.


Menkes juga mengatakan, jika mereka ingin berobat, semestinya mereka mengombinasikan iuran jaminan sosial BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta. Artinya, orang-orang kaya harus didorong untuk tetap menjadi peserta BPJS Kesehatan, tetapi pada saat yang sama diminta menjadi peserta asuransi komersial.


Evaluasi ke Dalam

Sebagaimana diketahui, sejak 2014 silam, pemerintah dalam hal ini BPJS Kesehatan telah merintis kerja sama dengan asuransi komersial dalam bentuk Coordination of Benefit (COB). Dengan skema ini, orang-orang kaya diharapkan bisa menggunakan BPJS kesehatan saat benefit asuransi komersial mereka sudah habis atau minimal.


Namun hingga saat ini, besaran kombinasi pembayaran atau coverage biaya perawatan kesehatan masyarakat antara kedua lembaga masih dalam taraf perancangan. Maklum, kedua belah pihak harus benar-benar berhitung agar jaminan layanan kesehatan tidak membuat keuangan masing-masing mereka malah menjadi buntung.


Pihak swasta terutama tentu tidak mau menjadi tumbal kebijakan pemerintah. Bagaimanapun orientasi mereka adalah keuntungan. Terlebih selama ini, belum jelas apa penyebab beban pembayaran BPJS begitu besar hingga selalu dikhawatirkan jebol. Apakah benar karena menanggung besarnya biaya pengobatan premium kelompok kaya, atau karena ada faktor lain, semisal potensi claim abuse dan atau kecurangan?


Bagaimana pula dengan faktor miss-management yang digadang-gadang mewarnai pengelolaan dana, semisal dana operasional yang sangat besar dan sempat dicurigai digunakan untuk membayar insentif gaji Dirut dan dewan pengawas BPJS? Atau adanya isu penggunaan dana masyarakat di BPJS Kesehatan dalam bisnis pasar derivatif dan spekulatif sehingga mengurangi sediaan dana cair untuk pembayaran klaim layanan?


Keluhan Tidak Berdasar

Dengan demikian, pernyataan Menkes tersebut sebenarnya tidak berdasar. Jika mau berpegang pada konsep JKN, mereka yang tercatat sebagai peserta BPJS semestinya memiliki hak yang sama untuk mendapat jaminan layanan kesehatan. Terlebih mereka yang kaya ini biasanya membayar premi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta lainnya.


Hitungan untung-rugi juga tampaknya hanya jadi alasan, mengingat sejak dua tahun terakhir BPJS Kesehatan selalu meraup keuntungan besar. Sepanjang 2020, misalnya, BPJS Kesehatan mencatatkan arus kas positif senilai Rp18,7 triliun. Sedangkan pada 2021, surplus aset neto dana jaminan sosial (DJS) kesehatan sebanyak Rp38,76 triliun. Posisi aset neto ini masuk dalam kategori sehat.


Menkes Budi sendiri bahkan menyatakan bahwa surplus ini akan bisa dipertahankan hingga 2024. Strateginya antara lain menyesuaikan tarif kapitasi dan tarif INA-CBG’s atau Indonesia Case Based Groups berbasiskan kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan kelas rawat inap standar (KRIS). Itulah sebabnya penyesuaian tarif premi terus dilakukan, termasuk menetapkan jenis-jenis layanan dan penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan.


Diraupnya keuntungan besar oleh BPJS Kesehatan maupun DJS kesehatan memang sudah bisa dibayangkan. Dari sisi kepesertaan saja, seluruh warga negara—termasuk warga negara asing yang menetap hingga enam bulan—wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan atau menjadi peserta Program Jaminan Sosial. Antara lain diatur dalam UU 24/2011 dan Perpres 82/2018.


Apalagi kepesertaan BPJS Kesehatan ini menjadi persyaratan dalam berbagai keperluan, mulai dari jual beli tanah, naik haji, umrah, perpanjang SIM, masuk perguruan tinggi, dan lain-lain. Tercatat pada Januari 2022 jumlah peserta program JKN sudah mencapai 235,7 juta jiwa atau sekitar 86% total penduduk Indonesia. Bisa dibayangkan berapa cuan yang mengalir dari pembayaran iuran bulanan?


Wajar jika banyak pihak yang memandang sinis atas pernyataan Menkes tadi. Kritiknya terhadap orang kaya yang memanfaatkan BPJS Kesehatan hanya menampakkan kerakusan rezim kapitalis untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Mereka memaksa masyarakat membayar dengan jumlah besar, tetapi manfaatnya diberikan sangat minimal. Bahkan, ada indikasi pemerintah malah menjadi support system bagi pengembangan bisnis berbagai perusahaan asuransi swasta dengan memaksa orang-orang kaya berbondong-bondong menjadi nasabah mereka.


Akibat Sistem Salah

Jika kembali pada aturan dasarnya, sejatinya jaminan kesehatan adalah hak semua orang yang wajib ditanggung oleh negara, entah miskin maupun kaya. Namun, paradigma sekuler kapitalisme neoliberal membuat penguasa lazim berbuat semaunya, termasuk memaksa dan membebani rakyat melakukan perkara yang bukan kewajibannya.


Kondisi ini sejalan dengan penerapan sistem sekuler kapitalisme liberal yang kerap menimbulkan berbagai kezaliman. Posisi negara dalam sistem ini memang tidak bertindak sebagai pengurus umat, melainkan regulator saja. Bahkan, dalam sistem ini, negara membangun hubungan dengan rakyatnya layaknya hubungan bisnis semata, termasuk soal layanan publik.


Hal ini memang berlaku secara global, sejalan dengan cengkeraman sistem sekuler kapitalisme neoliberal oleh negara-negara adidaya di dunia, termasuk Indonesia. Oleh karenanya, nyaris semua kebijakan terkait layanan publik di negeri kita sejalan dengan konsep yang diterapkan oleh negara-negara adidaya, bahkan dipaksakan penerapannya melalui kesepakatan-kesepakatan yang diinisiasi lembaga-lembaga internasional bentukan mereka. 


Kapitalisasi layanan kesehatan, misalnya, memang sudah lama menjadi kesepakatan internasional. Pada 2005 seluruh anggota WHO menandatangani sebuah resolusi soal Universal Health Coverage (UHC), yakni agar semua negara anggota mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat. Sistem pembiayaan dimaksud tidak lain adalah asuransi yang melibatkan perusahaan pelat merah dan milik swasta (kapitalis).


Ketentuan ini dinarasikan “penting” untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga negara, untuk tindakan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau. Di Indonesia sendiri, kesepakatan ini diturunkan dalam bentuk pendirian perusahaan umum atau BUMN asuransi sebagai lembaga kuasi negara. Sekaligus optimasi pelibatan lembaga-lembaga keuangan swasta. Sebagai kemasannya, digaungkanlah narasi tentang kemestian dan kemuliaan membangun gotong royong dan saling membantu antarsesama rakyat sebangsa.


Padahal sejatinya, selain kental kepentingan bisnis, penerapan prinsip asuransi dalam pembiayaan kesehatan masyarakat adalah bentuk lepas tanggung jawab negara atas rakyatnya. Bukan hanya lepas tanggung jawab, negara justru juga sedang memberi ruang besar bagi para pemilik modal yang berbisnis di sektor asuransi kesehatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Belum lagi bisnis-bisnis sektor kesehatan lain yang semuanya serba menjanjikan, seperti bisnis fasilitas kesehatan, farmasi, alat kesehatan, jasa tenaga kesehatan, dan lain-lainnya.


Wajar jika kesehatan dalam sistem sekarang menjadi perkara yang sangat mahal. Tidak semua rakyat bisa mengakses layanan kesehatan terbaik. Semua fasilitas dan layanan serba diperhitungkan. Aksesnya pun dibuat berbelit. Hingga muncul narasi sarkasme, “Orang miskin dilarang sakit!”


Sistem Kesehatan Islam, Sistem Ideal

Sistem Islam berbeda jauh dengan sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok setiap individu yang menjadi kewajiban syar’i bagi negara untuk memenuhinya, tanpa memandang apakah mereka kaya atau melarat. Oleh karenanya, negara wajib mengupayakan semua cara agar hak rakyat tersebut bisa dipenuhi sebaik-baiknya dan diakses dengan semudah-mudahnya. Bahkan jika perlu, semua layanan bebas biaya.


Semua ini adalah niscaya karena Islam memiliki mekanisme jaminan kesehatan dari hulu hingga hilirnya. Prinsip-prinsip penjagaan kesehatan pun diatur sedemikian rupa sebagai bagian dari hukum syarak, mulai yang mengikat individu, masyarakat, hingga negara; Mulai dari aspek yang bersifat preventif (pencegahan penyakit), kuratif (penyembuhan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan), dan promotif (peningkatan kesehatan).


Selain itu, sistem kesehatan juga ditopang dengan sistem ekonomi dan keuangan (APBN) negara Islam yang sangat kuat. Sumber-sumber pemasukan negara dari kepemilikan umum, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam yang jumlahnya luar biasa dan sumber-sumber lainnya, akan sangat cukup untuk menutup kebutuhan modal bagi pemberian layanan terbaik bagi seluruh rakyatnya, mulai dari pengadaan faskes, alkes, tenaga kesehatan, obat-obatan, hingga riset dan pengembangan sistem kesehatan.


Selain itu, penerapan sistem sanksi Islam, termasuk keberadaan para syurthah (polisi) dan kadi hisbah (hakim yang memutus pelanggaran hak publik) di tengah masyarakat, akan menutup celah penyimpangan dalam sistem layanan kesehatan, seperti kasus-kasus malapraktik dan bisnis-bisnis kesehatan yang biayanya sering kali di luar nalar.


Hanya dalam sejarah peradaban Islam, tercatat keagungan sistem layanan kesehatan. Sejak masa Rasulullah hingga era khalifah sesudahnya, negara Islam membangun konsep layanan kesehatan terbaik bagi semua orang. Termasuk konsep bimaristan (kerumahsakitan) yang menjadi model bagi kerumahsakitan di era sekarang. Layanan prima diberikan, mulai dari infrastruktur, layanan medis, hingga pemulihan. Bahkan, pada era kejayaan Khilafah, rakyat sehat pun berbondong-bondong ingin coba merasakan kenyamanan fasilitas di bimaristan.


Untuk rakyat yang ada di pelosok, rumah sakit keliling pun disediakan oleh negara, yakni berupa kafilah unta yang membawa dokter dan alkes untuk melayani orang sakit di tempat tinggalnya. Dengan begitu, semua rakyat, miskin atau kaya, bisa mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya, tanpa biaya.


Tidak hanya itu, kehadiran ilmuwan-ilmuwan muslim di bidang kesehatan membuktikan support system negara terhadap urusan jaminan kesehatan. Lembaga-lembaga riset dan universitas didirikan sejalan dengan optimasi layanan kesehatan. Semua pendanaannya diambil dari kas negara, sama sekali tanpa berhitung soal rugi laba.


Sungguh, kedua sistem ini benar-benar berbeda. Sudah saatnya umat Islam mencampakkan sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang memproduksi berbagai kezaliman dan beralih kepada keadilan sistem Islam. Hanya dengan sistem Islam, mimpi keadilan dan kesejahteraan bisa benar-benar diwujudkan dan umat ini bisa kembali meraih kemuliaan. [MNews/SNA]

Posting Komentar

0 Komentar