Kekerasan dan pelecehan seksual terus terjadi di lingkungan kampus. Baru-baru ini trending kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa salah satu kampus swasta di Depok. Tidak lama berselang, terjadi persekusi yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa kampus tersebut kepada terduga pelaku pelecehan seksual. Persekusi terjadi di lingkungan kampus mulai dari pengikatan, pemukulan, pelucutan pakaian, perusakan barang terduga pelaku, hingga mencekoki urine kepada terduga pelaku. Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menilai tindakan persekusi atau main hakim sendiri tersebut masuk dalam ranah penganiayaan yang semestinya diproses hukum. Ia menambahkan, tindakan pelecehan seksual yang dilakukan terduga pelaku pun tidak dibenarkan dan perlu dilakukan proses hukum (Kompas 14/12/2022).
Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sendiri telah memiliki peraturan untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus yaitu lewat Peraturan Menteri No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS). Namun, adanya Permen PPKS ini ternyata masih memberikan peluang persekusi atau main hakim sendiri kepada pelaku. Maka menjadi pertanyaan, apakah ini sekadar ketidakpahaman mahasiswa atas peraturan tersebut? Atau karena mahasiswa merasa tidak ada efek jera dari sanksi yang diberikan kepada pelaku?
Seriuskah Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus?
Sejak disahkannya Permen PPKS, kasus kekerasan dan pelecehan seksual di kampus masih sering terjadi, bahkan tidak jarang menjadi spotlight di sosial media. Jika dicermati, Permen PPKS ini tidak jauh dari napas liberalisme. Hal ini terlihat dari penggunakan frasa “tanpa persetujuan korban” yang dapat diartikan sebagai sexual consent. Frasa ini akhirnya menggambarkan bahwa hubungan seksual yang terjadi di antara civitas kampus dengan adanya consent adalah hal yang legal. Padahal ini jelas melanggar norma agama yang telah diyakini lama.
Nuansa liberal di Permen PPKS bukanlah suatu hal yang mengejutkan karena peraturan ini pada dasarnya memang dilaksanakan dengan prinsip liberalisme. Hal tersebut tertuang di pasal 3 yang salah satu prinsipnya adalah kesetaraan gender. Liberalisme dan kesetaraan gender merupakan pemahaman hasil impor dari Barat. Perjuangan kesetaraan gender dengan asasnya yaitu pemikiran liberal dan sekuler melahirkan pemahaman “My body my authority” yang memandang bahwa tidak ada satu pun yang berhak mengatur urusan tubuh manusia termasuk agama. Oleh karena itu, penafsiran kekerasan seksual terjadi ketika ada salah satu pihak yang tidak memberikan consent. Sementara, hubungan seksual berdasarkan consent tidak boleh diatur-atur baik oleh negara bahkan agama. Padahal kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi berakar dari gaya hidup serba bebas.
Selain itu, penanganan berupa sanksi yang diberikan pada Permen PPKS bisa dikatakan tidak membuat jera. Tertuang pada pasal 10, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual berupa pengenaan sanksi administratif kepada pelaku. Sanksi administratif berupa sanksi administratif ringan yaitu teguran tertulis atau surat permohonan maaf, sanksi administratif sedang yaitu pemberhentian sementara dari jabatan, skors bagi mahasiswa, pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lainnya, dan sanksi administratif berat yaitu drop out. Meskipun dituliskan bahwa pengenaan sanksi tersebut tidak menyampingkan sanksi administratif lainnya dan sanksi pidana yang ada. Namun, jika merujuk pada UU TPKS sanksi bagi pelaku kekerasan seksual hanya berupa penjara maksimal 9 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Apakah sanksi ini bisa meninggalkan efek jera dan setimpal dengan apa yang dialami oleh korban?
Menurut ahli psikologi sosial Universitas Pancasila, Ade Iva Murty, pelaku kejahatan seksual dalam berbagai bentuk memiliki kecenderungan perilaku menyimpang sehingga ada resiko mengulangi perbuatannya meskipun di penjara 20 tahun. Lantas, bagaimana aturan-aturan tersebut menjamin tidak adanya pelaku dan korban selanjutnya? Apalagi aturan-aturan tersebut pasti tidak dapat mencapai akar permasalahan. Maka, patut dipertanyakan sudah seriuskah penanganan kasus kekerasan seksual di kampus?
Mencari Akar Persoalan
Penerapan kehidupan dengan sistem sekulerisme adalah penyebab dari menjamurnya kekerasan dan pelecehan seksual. Karena sekulerisme akan memisahkan agama dari kehidupan sehingga manusia mengatur kehidupannya hanya bersandar pada akal semata. Akibatnya, hawa nafsu manusia berkuasa dan menghasilkan gaya hidup serba bebas (liberalisme) untuk mencapai kenikmatan jasmaniah yang merupakan parameter kebahagiannya. Ditambah lagi, sekularisme memandang bahwa seks adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, industri ponografi semakin menjamur, pergaulan antara pria dan wanita semakin bebas, serta aturan berpakaian dan menutup aurat dianggap sebagai pengekangan.
Bukti gagalnya sekulerisme sebagai asas yang melahirkan kebebasan termasuk sexual consent, dapat ditemukan pada Barat yang merupakan asal lahirnya paham tersebut. Paradoks Nordik yang terjadi pada negara-negara Skandinavia yang memiliki tingkat kebahagiaan tertinggi yang salah satu parameternya adalah tingginya indeks kesetaraan gender. Namun, pada faktanya memiliki tingkat kekerasan oleh pasangan intim (IPV) yang lebih tinggi terhadap perempuan daripada bagian Eropa lainnya (Enrique Garcia, Universitas Valencia, Spanyol).
Selain itu, wabah kekerasan telah menjamur hampir di seluruh negeri-negeri Barat. Berdasarkan statistik dari Jaringan Nasional Pemerkosaan, Penyalahgunaan & Incest (RAINN) yaitu organisasi anti kekerasan seksual di Washington D.C menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terjadi di AS setiap 98 detik. RAINN juga menambahkan bahwa 1 dari 6 wanita Amerika telah menjadi korban pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan dalam hidupnya.
Maka, jika Barat dengan sekularisme dan liberalismenya telah gagal menyelesaikan kekerasan seksual mengapa Indonesia perlu mengikuti jejak mereka?
Islam Solusi Tuntas
Islam sebagai din yang berasal dari pencipta manusia yaitu Allah SWT telah memiliki seluruh pemecahan masalah kehidupan. Hanya Islam yang memiliki solusi sistematis dalam menangani kekerasan seksual, baik preventif maupun kuratif. Dari segi pencegahan, Islam menerapkan sistem pergaulan yang mengatur interaksi antara pria dan wanita yaitu larangan khalwat, ikhtilat, menutup aurat, hingga perintah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Semua peraturan ini diterapkan tidak hanya untuk wanita tapi juga untuk pria karena Islam memandang pria dan wanita adalah mitra sejajar baik dalam hal domestik dan publik. Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki”.
Sistem pergaulan Islam juga menerapkan kehidupan antara pria dan wanita yang terpisah kecuali untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat seperti perdagangan, pengobatan, pendidikan, dan kemaslahatan lainnya. Lewat sistem pergaulan Islam inilah ditutup celah terjadinya kekerasan seksual. Adapula jaminan pada sistem penerangan dan media yakni dilakukan pengawasan terhadap media massa untuk tidak menyebarkan semua hal yang berbau pornografi dan menindak tegas jika melanggar.
Selanjutnya, masyarakat dalam Islam menjalankan perannya sebagai pengontrol sosial berupa amar makruf nahi munkar. Masyarakat tidak segan-segan menegur segala bentuk kemaksiatan dan selalu saling menasihati dalam hal ketakwaan. Masyarakat dalam Islam tidak menjadi masyarakat yang individualis seperti saat ini.
Selain itu, Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas. Sanksi dalam Islam menjadi solusi kuratif yang menjerakan. Bagaimana tidak jera jika pelaku pemerkosaan diberikan sanksi berupa had zina yaitu jilid 100 kali dan pengasingan selama setahun untuk pelaku yang belum menikah dan rajam hingga mati untuk pelaku yang sudah menikah. Adapun bagi pelaku kekerasan seksual lainnya baik fisik maupun non fisik yang tidak berujung pada zina akan dikenai sanksi berupa ta’zir yang diputuskan oleh Qadhi (hakim). Sanksi tersebut berupa 3 tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan serta akan dimaksimalkan jika korban adalah orang di bawah kekuasaannya (Syaikh Abdurrahman al-Maliki , Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm).
Alhasil, tindakan pencegahan dan penanganan yang diberikan oleh Islam hanya bisa diaplikasikan dengan baik apabila sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah penerapan syariat Islam secara kaffah.
Akhir kata, sudah seharusnya kampus sebagai lembaga pendidikan yang mencetak intelektual penerus peradaban bersih dari pelaku-pelaku kekerasan seksual. Akan tetapi, aturan yang ada saat ini tidak serius dalam menangani kekerasan dan pelecehan seksual sebab tidak menyentuh akar persoalan. Lebih lagi aturan tersebut semakin mengokohkan paradigma liberalisme dan sekularisme yang merupakan penyebab dari mewabahnya kekerasan dan pelecehan seksual di kampus.
Oleh karena itu, mahasiswa seharusnya meyakini hanya Islamlah yang memiliki solusi tuntas dalam mencegah dan menangani kekerasan dan pelecehan seksual baik di kampus maupun di ruang publik lainnya. Wallahu’alam.[]
Oleh: Fatimah Azzahrah Hanifah, Mahasiswa Universitas Indonesia
0 Komentar