Oleh : Siti Rima Sarinah
Kasus korupsi semakin tumbur subur, bak jamur di musim hujan. Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai korupsi. Namun sayangnya, hingga hari ini upaya tersebut belum memberikan hasil yang signifikan. Alih-alih kasusnya berkurang, malah sebaliknya semakin hari para pejabat berbondong-bondong melakukan hal yang serupa, tanpa rasa malu sedikit pun. Walaupun sanksi hukum yang berat telah ditetapkan bagi pelaku korupsi, namun rupanya sanksi hukum ini tak memberi efek apapun bagi mereka.
Dilansir detik.com. 05/12/2022 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima 335 pengaduan dugaan kasus korupsi yang terjadi di Jawa Barat. Pengaduan itu dilaporkan dalam rentang waktu Januari hinggan Oktober 2022. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebut, ratusan pengaduan dugaan kasus korupsi mayoritas berasal dari pengadaan barang dan jasa pemerintah. Saat ini KPK sedang fokus memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah terutama Jawa Barat, agar potensi korupsi tersebut tidak terjadi.
Hari Korupsi Sedunia (Hakordia) tahun 2022 yang mengangkat tema yaitu “Indonesia Pulih Bersatu Lawan Korupsi.” Berkolaborasi, sinergi dan bahu membahu dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi menjadi makna dari peringatan Hakordia tahun ini. Daerah Jawa Barat melalui survei penilaian integritas (SPI), setidaknya ada 7 daerah yang berstatus waspada dan masih rentan terjadi resiko korupsi. Di antaranya, Kota Depok, Bogor, Bekasi, Sumedang, Kuningan dan Kota Cimahi. (Sonara.id, 06/12/2022)
Gurita korupsi bukan hanya terjadi di Jawa Barat, bahkan seluruh wilayah di negeri ini masih menjadikan korupsi sebagai PR yang harus segera dituntaskan. Sehingga ada anggapan yang menyatakan bahwa korupsi merupakan tren masif di kalangan pejabat pemerintahan. Korupsi bukanlah sebuah prestasi, melainkan sebagai bentuk kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Sulit rasanya mencari pejabat yang bersih dari korupsi di sistem ini. Oleh sebab itulah, ajang pemilihan Kepala Daerah bahkan Presiden menarik minat aktivis partai untuk ikut berkompetisi untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Setelah jabatan diperoleh, kemudian mencari celah dan bagian empuk untuk korupsi. Sebab, untuk menjadi Kepala Daerah atau bagian dari pejabat pemerintahan, tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Aksi korupsi sebagai upaya balik modal yang telah dihabiskan di masa kampanye. Hal ini membuktikan sistem kapitalisme telah sukses melahirkan pejabat korup dan tidak amanah. Alih-alih sibuk mengurusi urusan rakyatnya, justru sebaliknya malah sibuk memperkaya diri untuk mengeksiskan diri, kekuasaan dan partainya.
Sistem kapitalisme yang digadang-gadang bisa memutus mata rantai korupsi, justru menjadi pemicu masifnya korupsi di kalangan pejabat. Karena sistem yang meminggirkan peran agama dari kehidupan, hanya memandang asas manfaat dan materi sebagai tujuan satu-satunya.
Fakta ini diperparah dengan adanya KUHP yang baru saja disahkan oleh pemerintah terkait hukuman pidana koruptor yang dipangkas/dikurangi. Sehingga opini Hakordia 2022 yang menjadikan KUHP sebagai kado manis para koruptor, bukanlah hanya isapan jempol semata. Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pengesahan KUHP merupakan salah satu bentuk konsolidasi politik yang anti pemberantasan korupsi kian kentara.
Keberadaan KUHP ini justru menjadi payung hukum bagi pelaku korupsi. Bukannya jera malah menjadi kebal hukum, karena sanksi yang diberikan begitu ringan. Hukum bisa dibeli dan dimanfaatkan sesuai kepentingan. Apabila korupsi dilakukan oleh pejabat beserta kroni-kroninya, hukum begitu lemah dan menjadi ringan sanksinya. Sebaliknya, apabila dilakukan oleh rakyat biasa, hukum menjadi sangat tajam dan kejam. Inilah akibatnya jika kewenangan membuat hukum diberikan kepada akal manusia yang lemah dan serba kurang. Yang terbukti tidak mampu mengatasi persoalan korupsi, juga persoalan multidimensi yang sedang mendera negeri ini.
Oleh karena itu, dibutuhkan sistem yang benar dan mampu memutuskan mata rantai korupsi hingga ke akar-akarnya. Sistem tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah sistem yang berasal dari zat pencipta manusia, alam semesta dan apa saja yang ada di muka bumi ini, yaitu sistem Islam (khilafah). Sistem khilafah merupakan sistem yang komprehensif dan paripurna, mengatur seluruh lini kehidupan manusia dan mengantisipasi setiap individu melakukan pelanggaran hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Khilafah pun memiliki aturan dalam memilih dan mengangkat para pejabat negara yang diamanahi untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dalam sistem pemerintahan Islam, pengangkatan Kepala Daerah dan pemilihan anggota majelis wilayah yang amanah, berjalan dengan singkat, tanpa biaya yang mahal. Sebab, pemilihan dan pengangkatan kandidatnya berasal dari orang-orang yang berkualitas, amanah dan memiliki kapasitas serta siap melaksanakan tugasnya sesuai yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.
Dengan landasan inilah, maka mayoritas pejabat negara tidak akan melakukan kecurangan, korupsi, maupun aktivitas lainnya yang melanggar aturan Islam. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut, seperangkat hukum telah dipersiapkan untuk mengatasi setiap kecurangan yang dilakukan oleh pejabat ataupun pegawai negara lainnya.
Selain itu, harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaan, misalnya riswah (korupsi), ghulul (penggelapan harta) dan lain sebagainya adalah harta yang dimiliki dengan cara yang diharamkan. Dalam kitab Al Amwal fi Daulah karangan Abdul Qadim Zalum, dijelaskan beberapa langkah-langkah untuk mencegah korupsi dan sejenisnya.
Pertama, khilafah akan membentuk badan pengawasan/pemeriksa keuangan, untuk mengetahui apakah pejabat tersebut melakukan kecurangan atau tidak. Ditambah lagi adanya keimanan yang kokoh yang menjadikan seorang pejabat selalu merasa diawasi oleh Allah (muroqobah) tatkala melaksanakan tugasnya. Allah Swt. berfirman, ”Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa saja yang kamu kerjakan” (TQS. Al Hadid : 4).
Kedua, khilafah akan memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawai negara. Gaji ini cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Selain itu dalam sistem khilafah biaya hidup murah karena politik ekonomi negara khilafah menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyatnya. Kebutuhan asasi berupa sandang, pangan, papan bisa diakses dan dipenuhi dengan biaya murah. Sedangkat kebutuhan asasi yang bersifat komunal digratiskan, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, jalan raya dan lain sebagainya
Sistem perekonomian yang bertumpu pada sektor riil yang akan membuka peluang terbuka lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyatnya. Dengan menggunakan mata uang berbasis emas dan perak, kenaikan harga kebutuhan pokok dan inflasi tidak akan pernah terjadi. Karenanya, dapat dipastikan harga-harga barang dan jasa cenderung stabil, sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhannya.
Ketiga, dalam pengangkatan pejabat/pegawai negara, khilafah menetapkan syarat takwa dan amanah sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas. Dengan dorongan takwa dan amanah, menjadi self control yang kuat. Sehingga menjadi pemahaman yang mengakar kuat bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat, serta menjadi bekal masuk surga.
Dan terakhir, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Hukuman keras tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Dengan sanksi yang keras ini akan memberi efek jera bagi pelaku korupsi dan lain sebagainya.
Demikianlah langkah konkrit khilafah dalam membabat habis kasus korupsi hingga ke akar-akarnya. Hal ini menjadi bukti hanya Islamlah yang mampu mengatasi problematika kehidupan manusia, dan hanya aturan Islam sajalah yang layak diterapkan di muka bumi ini. Wallahua’lam.
0 Komentar