Menakar Keseriusan Negara Menjaga Pulau dan Wilayah Perbatasan di Nusantara

 


Oleh Anggun Permatasari


#Analisis - Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Beberapa di antaranya merupakan gugusan pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga. Sayangnya, banyak dari rangkaian kepulauan di Nusantara yang luput dari penjagaan.


Seperti dilansir dari laman cnnindonesia.com, 24/11/2022, Kepulauan Widi di Halmahera Selatan, Maluku Utara, dilelang di situs asing Sotheby's Concierge Auctions pada Desember 2022. Situs lelang tersebut berbasis di New York, Amerika Serikat. Untuk membuktikan keseriusan peminat, mereka diminta untuk memberikan deposit sebesar USD 100 ribu (Rp1.621.600.000). Dalam situs tersebut disebutkan bahwa Kepulauan Widi terdiri dari 100 pulau lebih di 'Segitiga Terumbu Karang' yang luasnya mencapai 10 ribu hektare.


Namun, menurut Juru bicara Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, pihak swasta hanya bisa mempunyai hak pengelolaan pulau. Pulau di Indonesia tidak untuk dimiliki swasta (detik.com, 23/11/2022).


Miris, kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan seharusnya membuat pemerintah berperan aktif dalam mengelola SDA di dalamnya. Memberikan izin pengelolaan pulau kepada swasta apalagi asing merupakan tindakan gegabah. Seperti PT. Leadership Islands Indonesia, yang diduga melelang Kepulauan Widi. Alih-alih membuat MoU dengan Pemprov Maluku Utara, Pemkab Halmahera Selatan pada 27 Juni 2015 untuk pengembangan pulau, mereka malah mengundang investor asing karena ketiadaan dana.


Namun hal ini tentu bukan kali pertama terjadi. Seperti dikutip dari halaman bisnis.com, 18/1/2016, Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo mengatakan bahwa saat ini tercatat ada 110 pulau di wilayah utara Jakarta. Dari jumlah itu, sekitar 60 pulau sudah dikelola oleh swasta untuk dibuat resort. Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Seribu menggandeng pihak swasta untuk mengembangkan wilayah tersebut sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). 


Sementara itu, Pusat Kajian Maritim Untuk Kemanusiaan mencatat (republika.co.id, 19/1/2017), sebanyak 11 pulau kecil di sejumlah kepulauan di Tanah Air telah dikelola swasta asing. Nilai investasi yang ditanamkan tidak sedikit, yaitu mencapai Rp11,046 triliun. Direktur Pusat Kajian Maritim Untuk Kemanusiaan Abdul Halim menjelaskan bahwa sebelas pulau kecil itu tersebar di Kepulauan Riau (Riau), Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Pandeglang (Banten).


Sebenarnya, menyerahkan pengelolaan pulau kepada pihak swasta/asing di negeri yang bernaung di bawah sistem demokrasi kapitalisme wajar terjadi. Walaupun, menurut Undang-Undang yakni pasal 33 hal tersebut telah melanggar. Namun kenyataannya, aturan dalam demokrasi sekuler kapitalisme dibuat untuk dilanggar.


Atas nama investasi, sumber daya alam yang harusnya bisa diakses untuk mencukupi kebutuhan rakyat, hanya bisa dinikmati segelintir orang/kelompok. Terbukti, sistem kapitalisme demokrasi melegalkan praktik privatisasi dalam pengelolaan sumber daya alam milik publik. 


Pondasi pembiayaan pembangunannya bertumpu pada investasi asing yang orientasinya untuk meningkatkan gross national product. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa investasi merupakan nama lain dari utang yang menggadaikan kedaulatan negara. Akibatnya, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan di negeri ini terus terjadi.


Belum lagi masalah penyelundupan barang haram seperti narkoba dan praktik human trafficking (perdagangan manusia) yang keluar masuk melalui perbatasan seperti yang terjadi di Tarakan. Oleh karena itu, sangat jelas, aturan demokrasi kapitalisme sangat abai terhadap aspek pertahanan dan keamanan negara dan rakyat.


Sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut terluas di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia dan merupakan unsur penting bagi kemajuan dan kejayaan sebuah negara. Tapi bagaimana mungkin jika tiap jengkal daratan pesisir dan perairannya tidak benar-benar dalam kendalinya yakni dengan pemberlakuan UU Nomor 27 tahun 2014 tentang

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.


Dalam sistem demokrasi kapitalisme, pusat kota selalu mendapat perhatian lebih dalam pembangunan fisik maupun manusia. Terbukti, segala fasilitas pendidikan, kesehatan perumahan bahkan tempat hiburan tersedia. Berbanding terbalik dengan wilayah di luar ibu kota, apalagi pulau-pulau kecil yang seringkali diabaikan. Faktanya, potensi yang dimiliki tidak kalah besar dengan pulau yang menjadi pusat aktivitas masyarakat.


Dalam hal ini pemerintah tidak tepat memperlakukan wilayah terluar tersebut. Padahal seperti halnya rumah, halaman adalah bagian terluar rumah. Tetapi, justru menjadi tempat yang sangat kita perhatikan karena merupakan garda terdepan atau pintu masuk. Tentu kita tidak akan membiarkan orang lain memanfaatkan apalagi menguasainya.


Menyerahkan pulau-pulau terluar di Nusantara kepada swasta/asing sama saja memberi jalan bagi mereka masuk ke dalam negeri yang kita cintai ini. Seperti diberitakan laman batamnews.co.id, 24/6/2014, Sebagian lahan di Pulau Nipah dikelola pihak swasta. Lahan di pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Singapura. Dengan adanya penyerahan pengelolaan dan pembukaan kran investasi yang deras, jelas pemerintah tidak sungguh-sungguh menjaga pulau-pulau terluar Indonesia. 


Hal tersebut terjadi karena para pemangku kebijakan yang mayoritas muslim tidak paham dan menerapkan aturan Islam. Menjaga wilayah perbatasan negara sangatlah penting dalam kacamata politik pertahanan Islam. Allah SWT berfirman dalam surat al-Imran ayat 200 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung" (QS. Ali Imran 200).


Penjagaan wilayah perbatasan disebut ar-ribath. Ar-Ribath maknanya menempatkan pasukan tentara Islam lengkap dengan senjata dan peralatan perang lainnya di daerah yang rawan. Wilayah-wilayah perbatasan yang memungkinkan menjadi pintu masuk musuh masuk, menyelundupkan barang berbahaya atau memungkinkan untuk menyerang kaum muslim dan negara.


Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Ribath (menjaga perbatasan wilayah Islam dari serangan musuh-musuh Islam) sehari semalam lebih baik dari pada puasa sunnah dan shalat sunnah sebulan penuh, dan jika seorang murabith mati di tengah ia melakukan ribath, maka amal perbuatannya itu akan terus berpahala, dan ia diberikan rizqinya di surga kelak, serta tidak ditanya di dalam kubur (oleh malaikat munkar dan nakir)” (HR. Muslim).


Oleh karena itu, penjagaan secara totalitas hanya bisa dilakukan apabila pemerintah menjalankan sesuai aturan Islam yang berasal dari Allah SWT pencipta alam semesta. Selama negeri zamrud khatulistiwa ini bertahan dalam naungan sistem Demokrasi, mustahil pulau-pulau terluar nusantara bisa dijaga dan dimanfaatkan seutuhnya untuk kepentingan rakyat, wallahualam bishawab.

_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar