Pejabat Dapat Gelar Kehormatan, Tepatkah?



Oleh: Siti Rima Sarinah


#wacana - Dalam bahasa Indonesia gelar Doctor Honoris Causa disebut dengan Gelar Doktor Kehormatan. Aturan tentang gelar Doktor Honoris Causa ini terdapat di dalam Peraturan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Gelar kehormatan ini diberikan oleh suatu perguruan tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. (KompasTV, 08/11/2022).


Beberapa yang pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini pernah mendapatkan gelar kehormatan ini. Selanjutnya rencana pemberian gelar doktor honoris causa akan diberikan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir. Pemberian gelar kepada kedua pejabat pemerintahan ini menuai polemik dan penolakan dari aliansi dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). 


Ketua Komisi 3 Senat UNJ Suyitno Muslim menyatakan, pleno baru menyepakati akan adanya revisi aturan soal pemberian doktor honoris causa. Anggota aliansi dosen UNJ, Ubedillah Badrun mengatakan, upaya pemberian gelar pada pejabat sudah ditolak pada September 2020. “Kini upaya pemberian gelar tersebut muncul kembali dan kami konsisten tetap menolak” kata Ubedilah. (Tempo.co,15/10/2021).


Ada yang menarik dari gelar kehormatan yang diberikan kepada sederet pejabat di negeri ini. Pasalnya, gelar ini diberikan kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan berkarya luar biasa terkait ilmu pengetahuan dan umat manusia. Pertanyaannya, apakah pejabat yang mendapatkan gelar tersebut memang telah berjasa bagi ilmu pengetahuan dan rakyat?


Sebagai contoh, seorang Muhammad Al Fatih bersama 250 pasukannya telah berhasil menaklukkan Kota Konstantinopel setelah ratusan tahun lamanya berkuasa. Maka wajarlah, apabila gelar sang penakluk disematkan pada seorang Muhammad Al Fatih. Sebab, ia telah terbukti berupaya keras membuat strategi yang pada awalnya diragukan dapat meruntuhkan benteng konstantinopel.


Contoh lainnya adalah Abbas bin Firnas atau Abbas Ibn Firnas. Seorang penemu penerbangan pertama, seribu tahun sebelum pesawat bermotor ditemukan. Sebagai manusia pertama terbang dengan bantuan kerangka bambu, sepasang sayap dari sutra, kayu dan bulu asli yang didesainnya sekilas mirip sayap burung elang.  Dia pernah melakukan percobaan penerbangan pertama pada tahun 875 masehi. Kala itu, alat ciptaannya berhasil terbang selama 10 menit. Tak menyerah terus melakukan percobaan bertahun-tahun hingga ia mengkaji konsep dan mengembangkan parasut.


Islam sangat banyak memiliki tokoh muslim yang ilmunya memberi pengaruh pada dunia Islam, bahkan sangat berkontribusi bagi peradaban dunia. Para penemu, polymath, penakluk, ilmuwan dan gelar-gelar lainnya, mereka dapatkan karena ilmu yang mereka miliki, dan diperuntukkan semata-mata demi kemaslahatan umat manusia. Dan hingga hari ini nama-nama mereka diabadikan di tempat-tempat bersejarah di negeri-negeri Barat.


Hal ini menjadi bukti nyata bahwa, mereka berlomba-lomba memberikan persembahan terbaik bagi umat dan Islam, bukan sekedar untuk mendapatkan gelar atau pujian dari manusia. Melainkan, semata-mata ilmu mereka menjadi ladang amal karena membawa manfaat bagi umat manusia di seluruh dunia. Sebab, ilmu dalam pandangan Islam adalah ilmu yang bermanfaat bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi juga bermanfaat bagi umat dan berkontribusi untuk kejayaan Islam.


Jika kita melihat gelar yang diberikan oleh para pejabat di negeri ini, sangat bertolak belakang dengan para penakluk, ilmuwan, polymath di masa kejayaan Islam. Mereka muslim, tetapi tidak memberikan kontribusi apapun untuk rakyat apalagi untuk agamanya. Gelar tersebut pun hanya setingan dan pencitraan untuk mendapat simpati di tengah masyarakat, atau maksud terselubung lain.


Inilah perbedaan yang sangat bertolak belakang antara Islam dengan sistem batil kapitalisme yang bertahta saat ini. Pemberian gelar bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik. Dan hal ini sudah menjadi tabiat dari kapitalis yang menghalalkan segala cara untuk tetap berjaya di kursi kekuasaan.


Seharusnya mereka yang menduduki jabatan pemerintahan, berpikir dengan serius bagaimana merubah nasib bangsa dan rakyat ini agar menjadi negara yang mandiri tanpa ada intervensi dari negara Barat penjajah. Mencerdaskan umat dengan pemikiran dan pemahaman Islam dan melindungi umat dari pemahaman Barat yang merusak. Serta berjuang mengeluarkan negeri ini dari kemiskinan dan menuju pada kesejahteraan. Jika hal ini yang mereka lakukan, maka gelar kehormatan layak untuk disematkan kepada para pejabat ini. 


Jika tidak, gelar yang ada hanya bentuk pembohongan publik untuk mengelabui dan membohongi rakyat, serta menodai integritas akademik sebagai pihak yang berwenang memberikan gelar tersebut. Namun, hal ini takkan terjadi dalam sistem yang memuja materi dan kepentingan di atas segalanya. 

Sistem yang sangat concern pada ilmu hanyalah Islam dalam naungan khilafah. Khilafah adalah negara yang mengupayakan pendidikan  berkualitas bagi setiap individu rakyatnya. Di masa Khalifah Abu Ja’far Abdullah ibn Muhammad al-Mansur (khalifah kedua Abbasiyah), mengalokasikan dana yang sangat besar untuk proyek penerjemahan karya astronomi dari periode klasik (Yunani-Romawi). Tingginya perhargaan khilafah pada sumber daya manusia di bidang pendidikan, menjadikan ilmu pengetahuan berkembang pesat di masa itu. 


Guru di masa Khalifah Umar bin Khaththab digaji 15 dinar, yang satu dinarnya setara dengan 4,25 gram emas. Jika harga emas saat ini Rp 900 ribu per gram, maka gaji guru setara Rp 57 juta. Dan bagi mereka yang menghasilkan karya tulis, buku hasil karyanya ditimbang dan beratnya diganti dengan emas.


Maka wajarlah, kekhilafahan Islam di masa kejayaannya menjadi mercusuar ilmu dan pendidikan bagi dunia. Dan mereka pun berkontribusi dalam ilmu dan pendidikan bukan untuk mendapatkan gelar atau pujian dari manusia. Karena pada hakikatnya kaum muslim membutuhkan ilmu yang menjadi bagian dari perintah Allah Swt. dan wujud keimanan kepada Rabb-Nya. Yang diperlukan oleh kaum muslim adalah gelar dan pujian dari sang pemilik jiwa manusia. Agar kelak ia mendapatkan predikat takwa disisi-Nya dan berhak menempati surga bersama para Nabi, Rasul dan para pejuang Islam lainnya. Wallahua’lam. 



Posting Komentar

0 Komentar