Pekerja Migran, Antara Dunia Nyata dan Harapan

 


#EDITORIAL — Tidak banyak yang tahu bahwa pada 18 Desember adalah Hari Buruh Migran Internasional (HBMI). Penetapan tanggal ini merujuk pada peristiwa deklarasi Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya atau dikenal sebagai Konvensi Buruh Migran pada 18 Desember 1990 di New York, Amerika Serikat.


Kementerian Ketenagakerjaan RI sendiri memperingati HBMI 2022 ini dengan mengambil tema “Pekerja Migran Indonesia Bangkit Bekerja, Indonesia Jaya”. Sedangkan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperingatinya dengan tema “Stop Human Trafficking: Pekerja Migran Bermartabat, Negara Berdaulat.”


Nasib Malang Pekerja Migran

Hingga saat ini, masih ada deretan panjang problem pekerja migran. Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), tetapi tampaknya belum memberi perlindungan apa pun bagi pekerja migran. Sindikat penempatan PMI ilegal, bahkan masih saja marak, padahal aktivitasnya menjurus pada praktek perdagangan orang yang berujung pada penderitaan pekerja migran.


Pada 16 Desember lalu, situs DataIndonesia sempat merilis Laporan Bank Indonesia yang menyebutkan, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) hingga kuartal III/2022 diperkirakan mencapai 3,37 juta orang. Angka ini naik 3,4% dibandingkan 2021 yang mencapai 3,25 juta orang. Dari jumlah tersebut, nyaris setengahnya bekerja di negeri jiran, Malaysia. Selanjutnya diikuti negara Saudi Arabia, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Yordania, Uni Emirat, dan sebagainya.


Menurut catatan Kementerian Luar Negeri, selama lima tahun terakhir ada tren peningkatan jumlah kasus yang menimpa PMI. Pada 2016 tercatat ada 15.069 kasus, 2017 ada 14.651 kasus, 2018 ada 16.903 kasus, 2019 ada 24.465 kasus, dan 2020, tercatat 54.248 kasus. Pada 2021 dan 2022 ditengarai meningkat juga.


Adapun bentuk-bentuk kasus yang dihadapi PMI cukup beragam. Data pengaduan Crisis Center Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2022 menyebut kasusnya, antara lain gaji tidak dibayar, PMI gagal berangkat, perdagangan orang, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, tindak kekerasan dari majikan, depresi/sakit jiwa, penipuan peluang kerja, dan sebagainya.


Juga sering terjadi adalah kasus penahanan dokumen, pemalsuan data, pemaksaan kontrasepsi, hilang kontak, dan overcharging (membayar biaya penempatan berlebih). Tidak sedikit pula PMI yang harus berhadapan dengan hukum, baik karena soal administratif (pekerja ilegal) maupun terlibat tindak kriminal. Di antaranya, banyak yang ditahan, dipulangkan, bahkan ada yang terancam hukuman mati.


Kasus yang saat ini sedang ramai terjadi adalah ratusan PMI yang terancam stateless di Malaysia. Konjen Indonesia di Malaysia mencatat WNI yang berpotensi menjadi stateless di Sabah, Malaysia sebanyak 151.979 orang WNI di Kinabalu dan 173.498 orang di Tawau, dengan total keseluruhan 325.477 orang (Republika, 18-12-2022).


Negara Abai    

Nasib kebanyakan PMI memang malang. Mereka yang mayoritas kaum perempuan, dipuja bak pahlawan karena menjadi salah satu sumber utama devisa buat negara, bahkan menjadi sektor penyumbang devisa kedua terbesar setelah migas. Namun di saat yang sama, mereka harus rela menghadapi berbagai persoalan di rantau orang, nyaris tanpa bantuan.


Seberapa besar jasa PMI, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat pada 2021 saja PMI menyumbang devisa dari remitansi yang dikirimkan ke Indonesia sebesar USD 9,16 miliar atau setara dengan Rp133,95 triliun. Dari tahun ke tahun, angka ini terus meningkat, bahkan pada 2019 atau sebelum pandemi, dana remitansi ini sempat mencapai level tertinggi, yakni sebesar USD11,44 miliar atau setara dengan Rp157,87 triliun.


Itulah kenapa, di tengah berbagai problem yang dihadapi PMI, pihak pemerintah masih saja terus melakukan upaya perluasan pasar kerja ke luar negeri. Berbagai MoU pun dilakukan untuk memuluskan ekspor pekerja migran. Hingga tidak heran jika Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara pengekspor buruh migran terbesar dunia dengan persentase buruh migran perempuan (BMP) mencapai 80%.


Dalam UU memang disebutkan bahwa PMI dan keluarganya berhak mendapat jaminan pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia, perlindungan hukum, ekonomi dan sosial. Namun realitasnya, implementasi UU tersebut masih jauh dari harapan. Bahkan, faktanya banyak kebijakan negara yang cenderung makin menambah penderitaan para pekerja migran.


Sebagai contoh, soal minimnya informasi dan sosialisasi tentang regulasi terkait PMI, serta lemahnya penegakan hukum atas praktek sindikasi PMI, termasuk oleh para calo dan PJTKI. Negara juga belum mampu menyelesaikan soal besarnya biaya pengiriman uang remitansi yang ditarik pihak ketiga (misal western union) yang jumlahnya mencapai 10-15%. Juga soal biaya asuransi perlindungan kesehatan dan ketenagakerjaan (BPJS) yang dikritik banyak pihak memberatkan para pekerja migran, sementara itu manfaat yang dirasakan sangat minimal.


Bayangkan saja, sepanjang 5 tahun terakhir ada 1,66 juta PMI yang membayar premi asuransi dengan total Rp348,12 miliar. Namun, jumlah nominal pencairan klaimnya hanya mencapai Rp30,03 miliar, yakni oleh 877 orang atau 8,63% peserta.


Problem Kemiskinan

Bisa dipastikan menjadi PMI sejatinya pilihan yang sulit bagi sebagian besar orang. Namun, problem kemiskinan dan sulitnya pekerjaan di dalam negeri menjadikan PMI sebagai peluang tersendiri. Tidak jarang yang nekat berangkat, meski dengan bekal pengetahuan dan skill masih minim, bahkan hingga terjebak dalam praktik perdagangan orang.


Memang tidak dimungkiri, negara telah gagal memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Hegemoni kekuasaan oligarki akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal telah menjadikan sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah ruah hanya dinikmati segelintir orang. Proyek-proyek pembangunan yang jor-joran dilakukan hanya menyisakan penderitaan pada rakyat akibat tanggungan utang dan pajak yang kian beraneka ragam.


Undang-Undang Ciptakerja yang digadang-gadang akan mendorong terbukanya lapangan kerja, termasuk pelaksanaan proyek-proyek mercusuar yang disebut proyek strategis nasional, seperti pembangunan kawasan-kawasan ekonomi khusus, food estate, dan sejenisnya nyatanya hanya buang-buang uang utang. Bahkan, atas nama investasi, proyek-proyek tersebut menjadi karpet merah penjajahan oleh negara pemilik modal sekaligus menyolusi problem pengangguran di negeri-negeri mereka. Oleh karena itu, menjadi ironis ketika rakyat berbondong-bondong menjadi buruh di luar negeri, sedangkan di saat yang sama, berbondong-bondong pula pekerja asing masuk mencari rezeki di dalam negeri.


Mirisnya lagi ketika diketahui bahwa 80% PMI adalah kaum perempuan. Mereka terpaksa bertahun-tahun meninggalkan anak dan keluarga demi merenda asa. Tidak peduli bahwa pilihan ini bisa berdampak pada pelalaian terhadap hukum syarak, terutama pada kewajiban mereka sebagai seorang ibu dan isteri yang sejatinya memiliki kedudukan yang penting dan mulia, yakni sebagai pencetak generasi pemimpin di masa depan.


Terlebih sektor yang mereka rambah adalah pekerjaan-pekerjaan yang sangat berat dan berisiko besar, seperti menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh lansia atau balita, tenaga buruh di perkebunan, juru masak, kebersihan, bahkan ada yang menjadi PSK. Adapun sektor pekerjaan untuk PMI laki-laki, antara lain menjadi juru taman, sopir pribadi, atau menjadi awak kapal perikanan migran.


Butuh Naungan Islam

Dalam perspektif Islam, persoalan seperti ini masuk pada ranah tanggung jawab kepemimpinan. Pemimpin dalam Islam adalah raain (pengurus). Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap yang dipimpinnya. Selain raain, pemimpin pun berposisi sebagai junnah (pelindung). Ia adalah orang yang diharapkan oleh setiap rakyat mampu menjauhkan mereka dari segala marabahaya.


Jelas bahwa problem yang menimpa PMI terkait dengan penerapan sistem rusak oleh negara atau pemimpin, yakni penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal dengan turunannya. Mulai dari sistem ekonomi dan keuangan yang eksploitatif dan destruktif, sistem politik yang oportunistik dan koruptif, sistem sosial yang rusak dan permisif, sistem pendidikan yang sekularistik dan kapitalistik, sistem hukum dan persanksian yang diskriminatif, dan sebagainya. Semua sistem ini telah menciptakan berbagai krisis di semua sektor kehidupan, termasuk memproduksi kemiskinan dan gap sosial.


Oleh karena itu, menyelesaikan problem PMI harus dimulai dari akarnya, yakni mengubah tatanan kehidupan, dari yang rusak alias destruktif ini kepada sistem yang dipastikan menjamin kesejahteraan. Tidak lain dan tidak bukan adalah sistem yang berasal dari Zat Pencipta semesta alam, yakni sistem Islam.


Sistem Islam tegak di atas asas yang sahih, yakni keyakinan bahwa Allah Swt. bukan hanya Pencipta kehidupan, tetapi juga yang Maha Mengatur kehidupan, Maha Tahu, Maha Adil, Maha Sempurna, dan Maha Bijaksana. Syariat Islam yang terpancar dari akidah ini, dipastikan akan membawa kebaikan, serta mampu menyolusi seluruh problem kehidupan sehingga jika diterapkan, maka dipastikan akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan kesejahteraan yang didambakan.


Syariat Islam memang memiliki mekanisme rasional dan komprehensif dalam mewujudkan kesejahteraan, termasuk bagi kaum perempuan. Mulai dari sistem politik yang menjamin stabilitas dan kemandirian, sistem kepemimpinan yang bertanggung jawab mengurus dan memberi perlindungan, sistem ekonomi berkeadilan dan memberi jaminan finansial, sistem keuangan yang kuat dan berdaulat, sistem pendidikan yang mengokohkan kepribadian Islam, sistem hukum yang menjamin keamanan, dan sebagainya.


Tidak heran jika sepanjang peradaban Islam tegak sekira 14 abad, umat Islam bahkan non-Islam bisa merasakan level kesejahteraan yang tidak pernah ada bandingan. Kaum perempuan optimal dalam peran strategisnya hingga generasi umat Islam tampil menjadi umat terbaik, pemimpin peradaban termasuk pionir berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam kehidupan.


Kalaupun ada persoalan atau penyimpangan, semuanya hanya besifat kasuistik yang segera bisa diselesaikan. Bahkan, karenanya Khilafah yang menerapkan Islam tersebut mampu tampil sebagai negara pertama. Hingga warga negara-negara non-Islam berbondong-bondong ingin merengguk kelezatan dan kebaikan yang diberikan oleh negara penerap risalah Islam.


Khatimah

Berharap problem PMI dan problem lainnya selesai tuntas dengan solusi yang diberikan sistem sekuler kapitalisme adalah seperti punggung merindukan bulan. Para pekerja migran tetap akan menjadi sapi perah bagi sistem kepemimpinan yang tidak mengenal kesadaran ruhiyah ini. Begitu pun dengan masyarakat, akan tetap berkubang dalam krisis berkepanjangan sebagaimana yang Allah Swt. peringatkan,


وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ


“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124)


Adalah kewajiban kita untuk konsisten membangun kesadaran bahwa Islamlah satu-satunya harapan. Meskipun bukan perkara mudah, tetapi yakinlah bahwa suatu saat umat akan menyadari bahwa fitrah dan kemuliaan hidupnya adalah hanya untuk dan dengan Islam saja. [MNews/SNA]

_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar