Oleh Tri Fani
Rabi’ah binti Isma’il asy-Syami adalah wanita terpandang dan kaya raya. Imam Abdurrahman al-Sulami menggambarkannya dengan kalimat:
كانت من كبار نساء الشام، وكانت موسرة، فأنفقت جميع ملكها علي أحمد وأصحابه
“Rabi’ah binti Ismail asy-Syami merupakan bagian dari wanita terpandang di Syam. Ia adalah wanita yang kaya raya. Kemudian ia menafkahkan semua (kekayaan) miliknya kepada Ahmad (bin Abi al-Hawari) dan sahabat-sahabatnya (atau murid-muridnya)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 399).
Kisah pernikahan Rabi’ah binti Ismail asy-Syami dengan Imam Ahmad bin Abi al-Hawari cukup menarik. Rabi’ah menjadi orang pertama yang mengajukan lamaran kepada Ahmad al-Hawari, bukan sebaliknya. Dalam kitab Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn diceritakan:
وخطبت رابعة بنت إسماعيل أحمد بن أبي الحواري، فكره ذلك لما كان فيه من العبادة وقال لها: والله ما لي همة في النساء لشغلي بجالي، فقالت: إني لأشغل بِحالي منك وما لي شهوة، ولكن ورثت مالا جزيلا من زوجي فأردت أن تنفقه علي إخوانك، وأعرف بك الصالحين فيكون لي طريقا إلي الله عز وجل
Terjemah bebas: “Rabi’ah binti Isma’il melamar Ahmad bin Abi al-Hawari. (Namun), Ahmad al-Hawari tidak senang dengan lamaran itu karena hendak fokus beribadah. Ia berkata kepada Rabi’ah: “Demi Allah, aku tidak punya keinginan (menikahi) wanita, karena aku sibuk dengan perjalananku.” Rabi’ah binti Isma’il berkata: “Sungguh aku lebih sibuk dengan perjalananku dibandingkanmu, dan tiada (lagi) syahwatku. Tapi, aku mewarisi harta yang sangat banyak dari suamiku. Karena itu aku berkeinginan menafkahkannya kepada saudara-saudaramu (atau teman dan murid-muridmu), dan aku tahu yang bersamamu adalah orang-orang saleh, maka bagiku (itu) menjadi jalan menuju Allah ‘Azza wa Jalla” (Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016, juz 6, h. 232).
Setelah mendapat lamaran dari Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami, Imam Ahmad al-Hawari meminta izin kepada gurunya, Imam Abu Sulaiman al-Darani. Pada awalnya, gurunya tidak mengizinkannya, tapi setelah mendengar penjelasannya tentang Rabi’ah binti Isma’il asy-Syami, Imam Abu Sulaiman al-Darani menyetujuinya. Ia mengatakan:
تزوج بها فإنها ولية الله
“Nikahlah dengannya. Sesungguhnya ia adalah wali Allah” (Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 2016, juz 6, h. 232).
Dalam kisah di atas, Rabi’ah bin Isma’il mengatakan bahwa perjalanannya atau pengembaraannya melebihi Ahmad al-Hawari. Ini karena Rabi’ah asy-Syami merangkap peran dalam setiap perjalanannya. Ia menjadi seorang ulama perempuan yang menyibukkan diri beribadah dan berdakwah; ia juga mewarisi harta dan jaringan bisnis suaminya terdahulu. Karena itu, perjalanan yang dilaluinya lebih berat daripada perjalanan yang dilalui Imam Ahmad al-Hawari.
Selain itu, “perjalanan” (al-jâl) bisa juga diartikan sebagai perjalanan atau pengembaraan menuju Tuhan. Menggunakan makna ini, tentu perjalanan yang dilalui seorang wanita jauh lebih berat dari laki-laki, apalagi jika ia seorang ulama, pengusaha, istri dan ibu. Ia harus menjalankan banyak peran sebagai wanita sekaligus menapaki perjalanannya menuju ridho Allah Swt.
Demikianlah sosok Rabi'ah binti Ismail yang selaiknya menjadi salah satu teladan wanita muslimah dewasa ini. Perannya sebagai istri, ibu, bahkan pengusaha, tak menghalanginya menjadi seorang ulama faqih fiddiin yang tak lelah berjuang di atas jalan Allah Swt. Bahkan pernikahannya, merupakan jalan yang ia tempuh agar segala potensi yang ia miliki, tersalurkan secara optimal di jalan dakwah.
Wallahu a'lam bish showab
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar