Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Isi kandungan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan melalui rapat paripurna di Gedung DPR RI pada Selasa (6/12/2022) menuai kontroversi. Padahal, sebelumnya naskah RKUHP yang telah disahkan tersebut telah banyak mendapat penolakan dari masyarakat sipil. Penolakan pengesahan RKUHP pun nyatanya tidak hanya terjadi belakangan ini saja. Bahkan kandungan naskah KUHP telah menjadi polemik dalam empat tahun terakhir, dimana pada 2019 saja berbagai pihak menggelar demo besar-besaran agar RKUHP tersebut tidak disahkan.
Pasca pengesahan KUHP, penolakan dari pihak rakyat masih terus digaungkan. KUHP baru dinilai masih memuat pasal-pasal warisan kolonial yang bermasalah dan rentan digunakan sebagai alat kriminalisasi rezim terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengannya. Terlebih lagi KUHP baru secara nyata berpotensi menjerat kebebasan sipil yang esensinya sama dengan UU warisan kolonial. Dan dengan ditemukannya sejumlah pasal multitafsir di dalam KUHP baru, menjadi bukti adanya kemunduran dalam pembuatan regulasi di negeri ini.
KUHP Baru Membuka Peluang Perluasan Amoralitas Generasi
Umat muslim negeri ini sempat “berbahagia” dengan tertuangnya beberapa pasal dalam KUHP yang memuat hukum pidana bagi pelaku zina. Namun sayang, dengan dijadikannya delik aduan atas perbuatan zina dan kohabitasi atau kumpul kebo di dalam RKUHP yang sudah disahkan menjadi undang-undang, secara pasti akan membuka gerbang amoralitas kian lebar.
Di dalam pasal 415 ayat (1) contohnya disebutkan bahwa, “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Namun pasal tersebut hanya dapat diberlakukan jika terdapat aduan dari pihak suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan sebagaimana yang tertera dalam ayat (2) di pasal yang sama. Celakanya pasal terkait perzinahan ini justru mengharamkan pihak manapun termasuk Satpol PP atau warga sekitar untuk melakukan penggerebekan atas tindakan asusila yang terjadi.
Di sisi lain, hukuman maksimal pelaku zina yang sudah menikah yang hanya mencapai setahun masa kurungan dan enam bulan bagi yang belum menikah tentu tidak akan memberi efek jera. Dan pemberlakuan masa kurungan masih tersandung dengan delik aduan yang harus berasal dari pihak suami atau istri, orang tua atau anak dari para pelaku zina.
Celakanya KUHP yang memuat lebih dari 600 pasal nyatanya tidak ada satupun yang mengkriminalisasi perbuatan L68TQ+. Perbuatan laknat tersebut ironisnya bisa terlepas dari jerat hukum Indonesia dan tidak terkategori sebagai perbuatan yang dapat merusak entitas keluarga.
KUHP Melindungi Oligarki dengan Paradoks Demokrasi
Selain berpotensi meningkatkan amoralitas negeri, KUHP baru secara nyata memiliki agenda besar dalam melindungi oligarki yang berkuasa di negeri ini. Pasalnya substansi KUHP menempatkan rakyat sebagai musuh bagi rezim dan menjadikan penguasa sebagai neopenjajah atas rakyat.
KUHP baru secara jelas menjadikan jajaran penguasa sebagai pihak yang wajib “di-Tuhan-kan” dan tidak berpeluang untuk dikritik. Pasal 218 (1) misalnya memuat pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang sangat rawan disalahtafsirkan oleh aparat penegak hukum guna membungkam kritik terhadap penguasa. Padahal sebelum RKUHP disahkan saja, sudah banyak pihak yang dikriminalisasi rezim dengan delik kasus penghinaan terhadap penguasa.
Begitu pula dengan pasal 240 yang menyatakan bahwa seseorang bisa diancam pidana penjara hingga 3 (tiga) tahun lamanya jika menghina pemerintah yang berakibat pada terjadinya “kerusuhan” di tengah-tengah masyarakat. Definisi “kerusuhan” pun kemudian memiliki definisi karet yang bisa disesuaikan dengan penafsiran rezim jika dianggap mengancam keberadaan oligarki. Ancaman hukuman 3 tahun penjara yang disebutkan dalam pasal 240 akan dinaikkan menjadi 4 (empat) tahun, jika penghinaan yang dimaksud dilakukan di media sosial.
Parahnya lagi, rezim tidak hanya berusaha membungkam suara rakyat dengan pasal-pasal terkait penghinaan tetapi juga mempersempit ruang gerak rakyat dalam menyalurkan aspirasinya melalui aktivitas demo ataupun unjuk rasa. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 273 dimana siapa saja yang mengadakan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum tanpa pemberitahuan lebih dulu dapat dijerat hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun. Padahal demonstrasi rakyat yang beresensi menyalurkan aspirasi umat biasa dilakukan secara spontan sebagai bentuk aksi kekecewaan atas kinerja pemerintah.
Dari pengesahan KUHP kita melihat inilah yang disebut sebagai paradoks negara demokrasi. Dimana negara menggembar-gemborkan kedaulatan rakyat, penjaminan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan berpendapat, tetapi di sisi lain ada hukum pidana yang mengintai masyarakat sipil yang mengkritik pemerintah dan kebijakannya. Yang pada akhirnya menjadikan KUHP sebagai alat represi rezim terhadap rakyatnya.
KUHP Menyasar Perjuangan Islam Kafah
Lebih lanjut, KUHP baru telah melahirkan peluang besar bagi rezim untuk memberangus syiar Islam dalam perjuangannya menerapkan Islam kafah dan penegakan Khilafah. Dimana dalam pasal 188 disebutkan adanya hukuman pidana maksimal 4 (empat) tahun penjara bagi siapa saja yang menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme ataupun “paham lain” yang dianggap bermaksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara.
Seperti kita ketahui bersama bahwa selama ini dakwah Islam kafah melalui penegakan institusi Khilafah selalu digambarkan oleh rezim sebagai aktivitas anti-Pancasila. Bahkan tidak jarang aktivitas perjuangan Islam diidentikkan dengan radikalisme dan terorisme. Maka dengan adanya pasal 188 dalam KUHP menjadikan penguasa kian mudah dalam upayanya menekan gerakan Islam politik di negeri ini. Seperti halnya mengulang problematika materiil muatan UU Ormas terdahulu yang rentan sekali disalahgunakan sesuai syahwat politik penguasa, ketentuan di pasal tersebut juga cenderung dijadikan sebagai alat gebuk terhadap lawan politik rezim. Apalagi pasal 188 mencakup ruang yang lebih luas dibanding UU Ormas yang secara mudah bisa menyasar individu manapun yang dianggap sebagai oposisi oligarki.
Selain itu, terdapat pula ancaman kurungan maksimal 5 (lima) tahun bagi anggota masyarakat yang bergabung dengan organisasi yang “dianggap” bertujuan melakukan tindak pidana di dalam pasal 261 KUHP. Jelas saja kita melihat bagaimana pasal 261 tersebut menjadi perpanjangan tangan rezim dalam upayanya memberangus organisasi-organisasi Islam yang dianggap tidak sejalan dengan visi misi penguasa semisal HTI dan FPI.
Dengan banyaknya pasal kontroversial, “ngaret” serta represif dalam KUHP menjadi bukti betapa hipokritnya demokrasi tentang penjaminan HAM dan kebebasan berpendapat. Celakanya KUHP justru berpotensi menjadikan rakyat sebagai korban kedaulatan kekuasan oligraki yang bercokol di negeri ini. Bahkan tidak hanya melindungi oligarki, KUHP berpeluang besar meningkatkan amoralitas generasi bangsa yang sudah berada di ambang kehancuran.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar