Tragedi Gempa Cianjur, Indonesia Butuh Politik Perumahan Islam

 



Penulis: Rini Syafri


#FOKUS — Alam yang tunduk pada sunatullah—keteraturan ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla—kembali membuka aib kelalaian rezim demokrasi. Kali ini, gempa bermagnitudo 5,6 terjadi di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21-11-2022).[1]


Sungguh tragis, kematian massal berulang di tengah panjangnya catatan sejarah gempa, juga berlimpahnya ilmu pengetahuan dan teknologi infrastruktur tahan gempa, serta para ahlinya bagi upaya mitigasi struktural dan nonstruktural. 


Artinya, bukan gempa yang membunuh, melainkan tangan penguasa yang lalai dengan politik perumahan kapitalistik. Sungguh berbahaya jika kelalaian ini tidak segera diakhiri. Pasalnya, gempa adalah bagian dari kehidupan Indonesia sebagai konsekuensi geografisnya berada di rangkaian ring of fire (cincin api) atau circum-pacific belt.[2][3]


Dengan demikian, butuh paradigma baru tentang politik tata kelola perumahan agar tragedi seperti di Cianjur tidak kembali terjadi. 


Bukan Gempa yang Membunuh

Tercatat hingga Ahad (27-11-2022), sedikitnya 321 jiwa meninggal dunia, ribuan lain cedera, dan banyak orang tinggal di pengungsian yang seadanya.[4] Kematian massal dan cedera serius ini bukanlah karena gempa, melainkan akibat tertimpa reruntuhan rumah dan infrastruktur lain yang berkonstruksi tidak tahan gempa.


Hal ini ditegaskan pihak pemerintah sendiri, yakni Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), “Gempa itu sebenarnya tidak membunuh dan melukai, tapi bangunan yang tidak standar aman gempa yang kemudian roboh yang menimpa penghuninya itu menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dan luka.”[5] 


Terkait desain bangunan yang tidak tahan gempa, ditegaskan ahli konstruksi bangunan sekaligus Ketua Umum Himpunan Ahli Konstruksi (HAKI). “Saya lihat kalau dari pola-polanya, kebanyakan yang runtuh itu yang unconfined, atau confined, tetapi tidak sempurna. Itu yang banyak runtuh kemarin akibat gempa di Cianjur,” ujarnya.[6]


Ahli desain konstruksi tahan gempa anak negeri juga turut bersuara. Ahli dari LIPI menegaskan bahwa berdasarkan peta zona gempa, seorang ahli sipil bisa mendesain struktur tahan gempa yang cocok untuk seluruh wilayah Indonesia.[7] 


Para ahli sangat mengkhawatirkan berulangnya kerusakan bangunan akibat gempa sebab berujung kematian massal yang sebenarnya bisa dicegah.[8] Pengetahuan kaidah konstruksi bangunan tahan gempa yang begitu maju sudah tersedia dan bukanlah hal baru. Bahkan, tata konstruksi tahan gempa adalah bagian dari sejarah konstruksi Indonesia. 


Berbagai suku di Indonesia sendiri berdiam di rumah tradisional yang diselaraskan dengan kondisi alam Indonesia yang ada di wilayah ring of fire—yang memang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung api.[9][10]


Pada saat yang sama, politik perumahan kapitalistik yang didukung sistem kehidupan kapitalisme dan abainya negara menjamin pemenuhan kebutuhan rumah, mengakibatkan biaya pembangunan rumah dan harga rumah menjadi sangat mahal. Hanya 56,75% keluarga tinggal di rumah layak, sedangkan puluhan juta lainnya hidup di hunian tidak layak. 


Jadilah, mitigasi struktural (berupa pembangunan konstruksi tahan gempa) dan nonstruktural (berupa rencana tata ruang wilayah berdimensi kegempaan dan law enforcement) menjadi sekadar konsep indah di atas kertas. 


Oleh karenanya, bukan gempa yang membunuh, melainkan tangan-tangan rezim sistem demokrasi kapitalisme yang lalailah yang menyebabkannya.


Kapitalisme, Akar Masalah

Apabila ditelisik, akar kelalaian pengurusan kehidupan masyarakat, khususnya pemenuhan hajat hidup perumahan, berawal dari adanya rezim berkuasa sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Ini karena sistem kehidupan paling berperan dalam pembentukan watak rezim.


Sementara itu, sistem kehidupan sekuler terpancar dari akidah rusak yang kompromistis dan mengabaikan kebenaran sebagai asasnya. Tidak heran jika rezim mengabaikan kebenaran ilmu pengetahuan dan peringatan pakar bahwa Indonesia berada di wilayah rawan gempa yang sangat berbahaya apabila infrastruktur tidak berkonstruksi tahan gempa. 


Dalam sistem kapitalisme, kebenaran hanya akan diambil selagi berfaedah secara materi sebagai nilai paling menonjol dalam peradaban yang dibentuk oleh sistem kehidupan batil ini. Bahkan, materi menjadi satu-satunya nilai yang diakui.


Sekularisme dan kapitalisme sebagai akar masalah juga terlihat dari visi negara yang nihil dari aspek ri’ayah (pengurusan) umat. Tata kelola pemerintahan yang baik menurut pandangan sekularisme berwujud keberadaan negara sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Fungsi yang tidak sehat menjadi tuntutan negara demokrasi dengan konsep good governance-nya. Oleh karenanya, tidaklah heran apabila kebijakan negara tidak lagi tulus untuk kemaslahatan masyarakat. 


Seiring dengan itu, seluruh materiel bahan bangunan—batu kali dan pasir hingga perumahan yang merupakan kebutuhan dasar—difasilitasi agar dikendalikan korporasi, bahkan rencana tata ruang dan wilayah sekalipun. Dari 6.621 kasus pelanggaran tata ruang dan wilayah dan pada banyak kejadian pelanggaran, pemerintah tidak berdaya menghadapinya.[13][14] 


Artinya, kelalaian rezim ini bersifat sistemis. Upaya tambal sulam apa pun pada persoalan bersifat sistemis hanyalah solusi palsu yang akan memperpanjang kesengsaraan publik.


Sungguh, telah datang peringatan Allah ‘Azza wa Jalla, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum: 41).


Politik Perumahan Islam

Politik perumahan Islam merupakan sekumpulan syariat dan peraturan administrasi yang bersifat mubah, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Kehadiran penguasa sebagai pelaksana syariat kafah menjadikan khalifah berkarakter penuh kepedulian dan tanggung jawab.


Hal ini tampak pada visi pengurusan hajat hidup publik yang begitu menonjol. Model sistem Khilafah didukung penuh oleh sistem kehidupan Islam secara keseluruhan, khususnya sistem ekonomi dan politik Islam yang seluruhnya berlandaskan akidah Islam yang sahih. 


Adapun negara, keberadaannya adalah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas jaminan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Tidak saja dari aspek kuantitas, melainkan juga kualitasnya. Pendirian bangunan hanya akan diizinkan apabila sudah memenuhi kriteria keamanan, termasuk aspek rencana tata ruang wilayah dan berkonstruksi tahan gempa. Di samping itu, juga harus memenuhi tuntutan syariat, khususnya segi fungsi dan model bangunan rumah, serta kriteria kesehatan dan kenyamanan.


Rancangan tata ruang wilayah sendiri diformulasikan selain berdasarkan aspek kemaslahatan dan segi kebenaran sains, juga harus berlandaskan pada politik dalam dan luar negeri Khilafah yang bervisi mewujudkan rahmatan lil ‘aalamiin.


Oleh karenanya, tatkala terjadi pelanggaran atas ketentuan izin pendirian bangunan dan rencana tata ruang wilayah, semisal membongkar paksa bangunan yang sudah didirikan, akan ada sanksi yang bersifat pencegah dan membuat jera pelanggarnya.


Rumah sendiri merupakan kebutuhan pokok individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendukung penuh fungsi dan kewajiban individu ini. Apabila individu yang bersangkutan tidak mampu, negaralah pihak yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah. Walhasil, setiap individu rakyat akan benar-benar merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.


Khilafah dengan model kekuasaannya yang bersifat sentralistis dan administrasi yang bersifat desentralisasi—yang mengacu pada tiga prinsip, yakni aturan yang sederhana, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh orang yang kapabel—meniscayakan penanganan berbagai persoalan bisa berlangsung cepat dan tepat. 


Ditambah dukungan sistem ekonomi Islam, pengelolaan sumber daya alam barang tambang sebagai materiel bangunan yang jumlahnya berlimpah akan dikelola sebagaimana layaknya harta milik umum dan status kepemilikan industrinya adalah milik umum. Ini adalah ketentuan syariat tentang industri, yakni dikembalikan pada status kepemilikan bahan asalnya.


Pada saat yang sama, sistem pendidikan Islam—khususnya tingkat pendidikan tinggi dengan keberadaan gugus tugas bagi kemaslahatan publik—akan bersinergi dengan bidang mashali-hunnaas, anggaran mutlak berbasis baitulmal, serta dukungan politik industri berbasis industri berat. 


Hal ini meniscayakan SDA bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat. Pemenuhan ini tidak hanya memperhatikan aspek keindahan, melainkan juga nyaman dan aman untuk dihuni.


Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.


Di wilayah rawan gempa, penggunaan konstruksi bangunan tahan gempa begitu diperhatikan. Sinan (1489—1588), misalnya, arsitek utama Kekhalifahan Ottoman, selama karier panjangnya dalam melayani tiga Khalifah di Turki, ia telah merancang dan mendirikan 477 bangunan. Karyanya termasuk Masjid Selimiye di Edirne, bermenara tertinggi, tetapi paling tahan gempa di seluruh Turki. (nationalgeographic[dot]com, 19-1-2012). 


Selain itu, kita masih bisa menyaksikan di sejumlah kota tua, seperti di Persia dan Khasmir, terdapat keagungan arsitektur era peradaban Islam. Meski wilayah tersebut sudah berkali-kali dilanda gempa, bangunan-bangunan tersebut tetap berdiri kokoh hingga kini. (researchgate[dot]net).


Bukan hanya keindahan bangunan yang dikedepankan, melainkan juga aspek kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan jiwa masyarakat. Semuanya berlangsung di atas kaidah-kaidah syariat. 


Artinya, dari segi kesahihan konsep maupun bukti sejarah peradaban, apalagi segi keyakinan, lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kehadiran politik perumahan Islam yang dilaksanakan Khilafah (sebagai satu-satunya metode yang kompatibel) adalah kebutuhan mendesak bagi negeri ini. 


Lebih dari itu, Khilafah adalah ajaran Islam yang Allah ‘Azza Wa Jalla wajibkan pada kita semua. Keberadaannya menjadi kunci terbukanya pintu-pintu keberkahan.


“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96). Wallahualam. [MNews/Gz]


_______________


Posting Komentar

0 Komentar