Sebelum membahas jurus jitu yang dapat menangkal virus liberalisme yang hari ini mengjangkiti generasi muda kita, yang pertama harus dipahami adalah bahwa ‘Islam bukan Liberal dan Liberal bukan Islam. Hal ini tegas di sampaikan Ustadzah Estyningtyas dalam sebuah Diskusi Publik yang digelar oleh Muslimah Jakarta, pada Ahad, 04 Desember 2022, di salah satu hotel di Jakarta.
Para tokoh muslimah se-DKI Jakarta hadir dalam diskusi ini, mulai dari mubalighah, tokoh masyarakat, tokoh organisasi, praktisi pendidikan, hingga para aktivis dari kalangan mahasiswa. Berangkat dari keprihatinan akan kondisi generasi muda yang kian mengalami banyak kerusakan, diskusi kali ini mengangkat tema “Menangkal Arus Liberal Pada Milenial”.
Mengawali pemaparannya, Ustadzah Estyningtyas mengajak peserta diskusi menyamakan persepsi tentang apa itu liberalisme. Yaitu sebuah paham atau ide yang menjunjung tinggi kebebasan. Setiap orang bebas melakukan apapun, mengatakan apapun, dengan cara apapun, tanpa memandang apakah itu benar atau salah, baik atau buruk. “Dalam paham liberalisme, kebenaran itu bersifat relatif. Tidak ada kebenaran mutlak. Orang-orang liberal berdalih, yang ada hanya beda perspektif. Maka semua boleh berpendapat dan semua benar. Tidak boleh merasa paling benar dan memaksakan pendapatnya.” jelas Ustadzah Esty.
Ustadzah Esty melanjutkan, prinsip tersebut seolah positif, bahwa semua pendapat harus dihargai. Masalahnya, kebebasan dalam liberalisme diberlakukan dalam semua kondisi. Baik terkait persoalan ekonomi, pendidikan, perilaku, bahkan hukum dan agama. Kemudian yang memaksakan pendapat akan dicap radikal.
“Contoh nih, ada anak yang melaporkan ibunya karena dilarang pacaran. Dari kacamata liberalisme sudah benar. Karena sang Ibu harusnya menghargai pendapat anaknya dan tidak boleh melarang anaknya pacaran. Orang-orang liberal juga lantang teriak ‘my body is mine’. Tubuhku adalah milikku. Jadi terserah mau diapain, mau ditutup atau dibuka, untuk suami atau untuk semua laki-laki”, ungkapnya prihatin.
Selanjutnya Ustadzah Esty menunjukkan, inilah dampak dari liberalisme, yang membuat orang semakin liar. Mirisnya, kebijakan pemerintah justru turut memperkokoh paham liberalisme ini. “Dalam Permendikbudristek No. 30 tahun 2021, disebutkan yang dikategorikan kekerasan seksual itu jika tidak dengan persetujuan, jadi kalau ada persetujuan tidak dianggap kekerasan seksual’, ungkapnya.
Ustadzah Esty menyampaikan bahwa orang-orang dengan paham kebebasan ini, telah digambarkan dalam Alquran surat Muhammad ayat 12. “Dalam ayat ini disampaikan, orang-orang kafir ini menikmati kesenangan dunia. Hidupnya hanya untuk urusan perut dan syahwat. Bebas melakukan apa saja. Dan mereka itu makan seperti makannya hewan ternak, nggak peduli halal atau haram. Nggak peduli makanan itu milik siapa. Yang penting kenyang. Itulah gambaran orang-orang kafir, orang-orang dengan paham liberal yang jelas berbeda bahkan sangat bertentangan dengan Islam”, tegasnya.
“Nah, dimanakah letak perbedaannya dengan Islam? Bukankah dalam Islam juga ada beda pendapat? Tanya Ustadzah Esty kepada peserta diskusi. Kemudian dilajutkan dengan menjelaskan bahwa, ketika dalam liberalisme perbedaan pendapat itu berlaku pada semua hal, maka di dalam Islam ada pendapat yang boleh berbeda dan ada yang tidak boleh berbeda. Dan semua jelas aturannya di dalam Islam.
“Yang menciptakan kita siapa Ibu-Ibu? Tanya Ustadzah Esty lagi. “Jelas yang menciptakan kita adalah Allah Swt. Ketika Allah menciptakan kita, Allah itu tahu apa yang akan terjadi kalau kita diberikan kebebasan seluas-luasnya. Allah tahu kalau dia diberi kebebasan dia akan pacaran. Allah tahu kalau dia tidak menutup aurat dia pasti akan digoda laki-laki nakal. Allah itu tahu bahwa manusia ketika diberi kenikmatan dunia sedikit, dia pasti ingin yang lebih, rakus. Oleh karena itu manusia dikasih aturan. Dan apa yang diberikan Allah adalah aturan yang benar”, papar Ustadzah Esty Panjang lebar.
Tegas Ustadzah Esty menyampaikan, kebenaran mutlak adalah milik Allah, ‘Al haqqu mirrobbikum’. Ketika terkait dengan hukum syariat, terkait halal-haram, terkait baik-buruk dan benar-salah, maka standarnya adalah Allah. “Kita pakai kerudung sudah benar atau belum, nanyanya ke siapa? ke Allah, lewat Al-Qur’an. Jangan nanya ke teman, tetangga, saudara, orangtua, guru, karena akan berbeda-beda jawabannya. Dan ini yang terjadi pada generasi hari ini. Mereka kebingungan karena nggak ada yang dipegang’, ungkapnya.
Ustadzah Esty mengingatkan bahwa perbuatan manusia seluruhnya harus terikat pada syariat. Karena manusia tidak bisa menentukan halal dan haram. Ustadzah Esty mencontohkan memakan daging ayam yang hukumnya mubah. Namun ketika makan di siang hari di bulan Ramadhan, atau ayamnya tidak disembelih atas nama Allah, atau ayamnya hasil mencuri, maka berubah hukumnya menjadi haram.
“Contoh berikutnya, dua keluarga sama-sama hidup harmonis, yang satu melalui akad nikah, yang satu lagi kumpul kepo, secara akal dan perasaan manusia realitanya sama. Tetapi di mata Allah jelas keduanya berbeda. Yang satu halal yang satu haram karena zina. Pun pada level negara, sama-sama negaranya aman, tentram, damai dan sejahtera, tapi kemudian yang satu tidak tunduk pada syariat Allah, maka jelas berbeda nilainya di mata Allah. Oleh karena itu, yang menjadi penentu kebenaran adalah keterikatannya kepada syariat”, jelasnya.
Inilah kemudian Islam disebut sebagai akidah ruhiyah sekaligus akidah siyasiyah. Ustadzah Esty menjelaskan, disebut akidah ruhiyah karena Islam melahirkan aturan terkait ibadah. Sementara akidah siyasiyah karena Islam juga melahirkan aturan di luar ibadah. Contoh tentang haramnya riba, tentang pernikahan, cara berinteraksi dengan lawan jenis, hubungan dengan diri sendiri terkait akhlak, makanan, pakaian, cara mendidik anak, cara berdagang dan sebagainya. Semua lengkap diatur oleh Islam.
“Kalau hari ini kita masih tidak mau terikat dengan syariat, ingin bebas seperti orang-orang liberal, atau memilih syariat yang menguntungkan saja, ini di dalam Al-Quran surat An Nisa 150-151 disebutkan sebagai ciri-ciri orang munafik, ‘mereka mengatakan kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian’. Orang seperti ini kata Allah adalah orang kafir yang sebenar-benarnya. Jadi jangan sampai kita memilih-milih syariat. Apalagi dalam Surat Al-Baqarah ayat 208 disebutkan, masuklah ke dalam Islam secara kafah.”, lanjutnya.
Di akhir pemaparan Ustadzah Esty merekomendasikan langkah untuk menangkal virus liberalisme. Pertama kenali dulu pemikirannya. Kedua, kenali gejalanya. Ketiga berikan imunitas dengan pemahaman Islam yang utuh. Keempat, perlu berjamaah dan bersinergi dalam menanamkan pemahaman Islam yang benar secara terus menerus. Dan kelima, liberalisme itu hanya bisa ditangkal dengan penerapan syariat Islam secara kafah, maka langkah yang terakhir adalah mengupayakan segera tegaknya Khilafah Islamiyah. “Inilah satu-satunya tips paling jos untuk menangkal liberalisme tadi!”. Tegasnya menutup pemaparan yang disambut pekik takbir peserta diskusi.
Reporter Anita Rachman
0 Komentar