BOP Jadi Dana Bancakan, Kualitas Pendidikan Rakyat Jadi Taruhan


Oleh : Mitri Chan

Dana Rp15,19 miliar yang merupakan anggaran Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Kesetaraan Tahun Anggaran 2019-2020 di Kabupaten Bogor diduga menjadi bancakan sejumlah oknum pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Demikian terungkap dari Ketua Umum LSM Komite Aksi Pemberantasan Organ Korupsi (Kapok), Kasno dalam keterangan resminya, Rabu (31/8).

Kasno menjelaskan dari total 84 kegiatan penerima BOP untuk PKBM, sebanyak 30 kegiatan diantaranya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan diduga menggunakan alamat fiktif. Selain itu, 20 persen dari total anggaran atau Rp 3,04 miliar disinyalir sebagai uang suap yang mengalir ke sejumlah oknum pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Ditambah dengan kasus dugaan alamat fiktif PKBM sebesar Rp 4,22 miliar. Jadi, total penyelewengan keuangan negara yang dikorupsi sekitar Rp 7,24 miliar.

Dana BOP diduga kuat menjadi dana bancakan (hidangan untuk dimakan beramai-ramai) saat Dinas Pendidikan Kab.Bogor dipimpin oleh Entis Sutisna. Penyelewengan tersebut berpotensi merugikan keuangan negara atau korupsi. Korupsi yang dilakukan pejabat terkesan sulit dimintai pertanggungjawaban. Sampai saat ini LSM Kapok terus mendesak aparat penegak hukum untuk segera memanggil dan memeriksa Juanda Dimansyah (Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor) tahun 2022 dan Entis Sutisna mantan Kepala Dinas Pendidikan Kab.Bogor tahun 2019-2020. Rakyat masih menunggu kelanjutan penyelidikan atas korupsi berjamaah Anggaran BOP TA 2019-2020.

Harta rakyat yang seharusnya disampaikan untuk membangun kualitas pendidikan rakyat, tidak dikelola sebagaimana mestinya. Dampaknya adalah kualitas pendidikan rakyat tidak berubah, mutu sumber daya manusia rendah, bahkan produktivitas dan daya saing menurun. Akibatnya kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat, kesejahteraan pun sulit didapat.

Korupsi makin menjadi manakala sistem politik negeri ini berbiaya tinggi. Bukan rahasia lagi, untuk menjadi penguasa di sistem demokrasi butuh ongkos politik yang mahal. Inilah yang membuka jalan tindak kejahatan korupsi dengan mengambil berbagai kesempatan seperti menyunat dana BOP dari pusat. Sistem seperti ini membuat manusia yang masuk ke dalamnya terseret korupsi. Tak heran ambisi menjadi pejabat daerah kerap dijadikan sebagai lahan empuk memiliki harta fantastis.

Korupsi demi korupsi dilakukan seolah lupa amanat mereka menjadi pejabat. Miris sekali rakyat terus dimanfaatkan manakala janji kosong saat pemilu diwacanakan. Sudah saatnya rakyat sadar bahwa korupsi akan terus jadi budaya ketika masih mengadopsi sistem kapitalisme. Kapitalisme hanya memproduksi orang-orang tamak harta dengan cara tercela. Kapitalisme hanya menciptakan problem korupsi yang menguntungkan segelintir pihak dan menyengsarakan rakyat.

Oleh karenanya, kita membutuhkan sistem politik yang mampu menihilkan tindak korupsi di negeri ini. Bukan sekedar membuat produk hukum baru, mengganti hakim baru atau presiden baru. Terlebih lagi hukum buatan manusia itu lemah dan tidak ada keselarasan. Di tengah slogan perang melawan korupsi, Peraturan Pemerintah 99/2012 yang mengatur pengetatan remisi bagi koruptor justru dibatalkan. Akibatnya koruptor menikmati bebas bersyarat tanpa menunggu waktu lama. Vonis hukuman 20 tahun bisa dijalani 2 tahun saja berkat remisi. Kalau begini, siapa yang kuat menahan godaan korupsi?

Sistem yang rusak hanya melahirkan aturan yang rusak dan tidak selaras. Banyak intervensi dari manusia dalam membuat hukum berdasarkan kepentingan pribadi dan golongan. Berbeda dengan sistem yang berasal dari wahyu Allah dan dijalankan manusia sebagai upaya pencegahan (zawajir) maupun sanksi (jawabir).

Lihatlah bagaimana sikap tegas Khalifah Umar bin Khattab saat walinya datang membawa harta yang besar. Meskipun harta tersebut didapatkan dari hasil berdagang, namun Umar tidak bisa menjamin bersihnya harta tersebut. Sebab, pejabat yang berdagang rawan mendapatkan fasilitas saat menjabat. Itu termasuk tindakan merugikan rakyat atau KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Harta tersebut disita dan dimasukkan ke Baitul Mal.

Begitulah sistem Islam mampu menjalankan mekanisme hukum sanksi sekaligus menciptakan sikap wara' atau kehati-hatian bagi setiap pejabat. Alih-alih berebut uang rakyat, pejabat dalam sistem Islam sibuk mengurus urusan umat. Sebab, mereka paham bahwa pemimpin itu untuk melayani rakyat bukan memperkaya diri dari uang rakyat.


_____


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Posting Komentar

0 Komentar