Fenomena Bonge, Jeje, Farel, Kamu Nanyyeeaa, Fajar Sadboy; Bukti Kapitalisme Suskes Membajak Potensi Generasi





Dalam beberapa bulan terakhir, media sosial ramai membicarakan nama-nama mereka. Satu persatu muncul silih berganti menjejali ruang-ruang publik, nyata maupun maya. Siapakah mereka? Bonge, Jeje Slebew, adalah remaja usia belasan yang diklaim menjadi pelopor munculnya fenomena Citayam Fashion Week (CFW). Ajang fashion jalanan ala Barat yang membuat merekal terkenal, didatangi banyak public figure, hingga banjir cuan, tawaran kerjasama dan beasiswa. 



Farel, siswa kelas 6 sekolah dasar dari Jawa Timur ini berhasil mengguncang panggung Istana dengan lagu Jawa “Ojo dibanding-bandingke” Momen inipun membuat kehidupannya berubah 180 derajat. Dari awalnya bergelut mengamen di jalan, kini mampu membeli mobil, membantu renovasi rumah orangtua dan cuan yang terus mengalir dari tawaran manggung di berbagai acara dan kota.



Setelah itu, jargon “kamu nanyyeeaa” tiba-tiba terdengar dimana-mana. Dari kalangan biasa hingga artis latah mengikuti logat Tiktoker Ali Cepmek yang mempopulerkan jargon ini. Kemudian perhatian publik beralih pada seorang Fajar Sadboy. Remaja yang terkenal setelah videonya berlinang air mata menceritakan perjuangan cintanya kandas, viral. Dari jalan ini pula Ali Cepmek dan Fajar Sadboy diundang ke berbagai acara TV. Mendulang cuan setelah viral. 




Generasi Instan



Meskipun mereka bukan gambaran seluruhnya generasi muda, namun fenomena ini ada di tengah-tengah masyarakat. Ada cara mudah dan instan untuk terkenal sekaligus mendapatkan cuan. Meskipun awalnya mereka tidak menyangka akan menjadi terkenal dan kebanjiran cuan. Tetapi fenomena ini seolah membentuk pola yang kemudian menarik orang untuk mengikutinya. Memilih cara instan. Jadilah generasi instan. 



Generasi instan ini bukanlah muncul tiba-tiba. Diakui atau tidak, kemunculannya sangat dipengaruhi oleh sistem yang ada hari ini. Sistem hari ini menciptakan kondisi segala sesuatu harus diraih dengan uang. Tidak ada uang tidak ada barang. Pun harganya mahal. Untuk sekedar makan, beli baju, punya rumah, orang harus kerja dari pagi hingga petang bahkan malam. Itupun kadang kurang. Ketika sakit, mau mendapatkan pengobatan yang layak, harus merogoh kocek lebih dalam. Mau sekolah bagus, jelas mahal. Padahal sekolah di sistem ini, menjadi salah satu jalan, jika tidak mau dikatakan satu-satunya, untuk bisa mendapatkan pekerjaan. 



Jadilah lingkaran setan yang tak terputus. Miskin tak bisa sekolah. Tidak sekolah akan susah mencari pekerjaan. Ketika susah mencari kerja, jauhlah dari kata hidup sejahtera. Maka memilih cara instan menjadi pilihan paling rasional. Akhirnya sosok seperti Bonge, Jeje, Farel, Ali Cepmek, Fajar Sadboy dan lain-lain terus bermunculan. Apalagi, datang apresiasi bahkan dukungan dari public figure bahkan pejabat, karena dianggap sebagai bentuk kreatifitas. Bahkan kreatifias yang menghasilkan, yaitu cuan. Istilah kerennya, membangun ekonomi kreatif. Sebuah narasi yang kesannya positif hingga tidak sadar kerusakan di balik itu. 



Standar Halal Haram


Membangun ekonomi demi meraih kesejahteraan tentu bukan sesuatu yang dilarang. Ini adalah cara menjemput rezeki yang justru diperintakan di dalam Islam. Namun, yang menjadi permasalahan adalah, apakah cara yang ditempuh tersebut telah sesuai dengan standar halal haram? Karena sebagai seorang muslim harusnya paham bahwa setiap aktivitasnya terikat dengan rambu-rambu ini.



Faktanya, aturan halal haram jauh dari kamus ekonomi yang diterapkan hari ini. Bahkan sengaja dipisahkan. Ekonomi hari ini berorientasi pada materi dan materi dengan hitung-hitungan untung rugi. Apapun itu, selama menguntungkan, selama mendatangkan manfaat, maka dianggap memiliki nilai ekonomi yang harus terus dikembangkan. 



Perhatikan potensi macam apa yang hari ini diapresiasi bahkan oleh pemerintah? Yang dianggap berhasil dan sukses adalah yang viral, yang mengalirkan banyak cuan, yang meningkatkan nilai ekonomi, yang membuat konten kreatif walaupun unfaedah, bahkan jelas-jelas maksiat. Lihat saja ketika ada remaja tanpa rasa malu membuat konten mengumbar aurat atau bebas bergaul dengan lawan jenis, bukan menjadi masalah. Tak penting apakah ada nilai prestasi yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat dan agama atau tidak.



Inilah konsekuensi dari sistem kapitalisme. Yang dikejar memang hanya cuan dan keuntungan karena dianggap sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan. Karena terus menerus dipropagandakan, maka prinsip ini latah diikuti oleh generasi muda hari ini. Sementara generasi penerus sesungguhnya, yaitu mereka yang mampu membangun negeri, yang beriman, bertakwa dan menunjukkan prestasi, tidak mendapatkan “panggung” yang sama, bahkan terkesan diabaikan.



Jelahlah sudah bahwa sistem kapitalisme sukses membajak, melemahkan dan merusak potensi generasi muda, termasuk generasi muda muslim. Serangannya datang dari berbagai arah dengan berbagai cara. Bukan dengan cara yang kasar, justru dengan sentuhan lembut dan kemasan yang menarik, hingga para pemuda terseret dalam arus kerusakan tersebut tanpa sadar. Yaitu melalui musik, seni, film, olahraga, komik, humor atau 5 F: fun, food, fashion, faith and sing, yang kesemuanya semakin menjauhkan para pemuda dari Islam. 



Padahal, hari ini umat muslim tengah mendapatkan bonus demografi usia produktif. Dan mereka adalah penerus estafet perjuangan Islam. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk segera “menyelamatkan” mereka, mengembalikan pemahaman mereka tentang jati dirinya sebagai seorang muslim, dengan terus melakukan dakwah dan dakwah. Jika tidak, maka kapitalisme lah yang akan menangkap potensi mereka. Rela? 


Oleh Anita Rachman

Posting Komentar

0 Komentar