Kekuasaan adalah Amanah dan Wasilah Menerapkan Syariah

 


Oleh Rini Sarah


#TelaahUtama - Tahun 2023 merupakan tahun politik. Di tahun ini eskalasi politik makin meningkat. Tidak hanya  hiruk pikuk kontestasi calon pemimpin nasional yang mewarnainya. Tapi, berbagai tuntutan yang menggerakkan masa juga turut meramaikannya. Semuanya tidak lepas dari ambisi berkuasa dan peningkatan kekayaan.


Pada Rabu (25/01/2023) puluhan ribu perangkat desa turun ke jalan. Mereka menyambangi Gedung DPR RI guna menyampaikan tuntutannya. Salah satu tuntutan para kades adalah revisi Pasal 39 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 untuk memperpanjang masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Mereka berpendapat, masa jabatan 6 tahun berdampak negatif terhadap desa. Sebab, masa tersebut belum cukup untuk meredam konflik sosial yang muncul akibat pemilihan kades. (www.kompas.com, 26/01/2023). Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap jabatan dan kekuasaan?


Amanah


Dalam diri manusia secara fitrah terdapat sebuah naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqo). Salah satu ekspresi dari naluri ini adalah hasrat untuk berkuasa, menduduki jabatan, atau berpengaruh di tengah-tengah umat. Islam sendiri tidak melarang itu semua.


Hanya saja Islam memberikan tuntunan bahwa kekuasaan adalah amanah. Amanah  merupakan sebuah beban berat untuk ditanggung seseorang. Hal ini terlihat dari bagaimana ekspresi Umar bin Khaththab ketika menerima kesempatan untuk berkuasa dalam sejarah.


Ketika para sahabat terkemuka dan Abu Bakar sendiri telah bulat memilih Umar sebagai Khalifah untuk menggantikan Abu Bakar yang mulai sakit-sakitan, Umar bukannya bergembira. Umar justru menentang keras. Bahkan beliau berkata bahwa ia justru akan dijerumuskan ke dalam neraka. 


Umar menyadari bahwa jabatan bukanlah sebuah tempat untuk memenuhi ambisi untuk meraup kekayaan, ketenaran, kekuasaan, dan kesenangan dunia lainnya. Jabatan yang menghantarkan kepada kekuasaan dalam pandangan Umar adalah sebuah amanah. Sebagaimana pesan Rasulullah Saw kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan ini adalah amanah. Ia akan mendatangkan kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang mengambil amanah itu dengan haq dan menunaikannya dengan sebaik-baiknya (HR Muslim).


Dan, setiap upaya pengkhianatan atas amanah kekuasaan diancam Allah dengan siksa yang teramat keras. Diriwayatkan  bahwa Ubaidillah bin Ziyad pernah memasuki rumah Ma’qil bin Yasar saat ia sakit. Ma’qil berkata kepada dia: Sungguh aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadis yang seandainya aku tidak merasa akan mati, aku tidak akan menyampaikan hadis ini. Aku pernah mendengar Rasululullah saw. bersabda:

مَا مِن عَبْدٍ اسْتَرْعاهُ الله رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْها بنَصِيحَةٍ، إلَّا لَمْ يَجِدْ رائِحَةَ الْجَنَّةِ

Tidaklah seseorang yang diberi amanah mengurusi rakyatnya, lalu tidak menjalankannya dengan penuh loyalitas, melainkan dia tidak mencium bau surga (HR al-Bukhari).


Imam Muslim juga meriwayatkan hadis dengan redaksi yang berbeda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ الله رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَموُتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةِ

Siapa saja yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya (HR Muslim).


Menghayati beratnya tugas sebagai khalifah, suatu ketika Umar bin Khaththab berkata, “Tidak mungkin jabatan khalifah ini dapat dipikul kecuali oleh orang yang tidak mudah dirayu dan ditundukkan orang lain, yang tidak mempunyai kepentingan pribadi, yang tidak berkata kecuali dibuktikan oleh perbuatannya dan menghukum dengan adil.” (Kehidupan Para Shahabat, Muhammad Yusuf al-Khandahlawy). Semua yang dibahas di atas tentu saja bukan hanya berlaku pada pemimpin negara saja, tetapi termasuk jajarannya mulai dari pusat hingga daerah. 


Wasilah Menerapkan Syariah


Setelah dibaiat sebagai khalifah, Abu Bakar berpidato. Di antaranya ia mengatakan, “Wahai manusia, sungguh kalian membaiat aku, sedangkan aku bukan orang terbaik di antara kalian. Karena itu bila kalian mendapati aku berada di jalan kebaikan, maka bantulah aku. Sebaliknya, bila aku berada di atas jalan yang salah, maka luruskanlah aku. Sungguh jujur itu adalah amanah dan berdusta itu adalah khianat. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, bila aku melanggar Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian menaati aku…” (Al-Bidâyah, 5/248).


Pidato Abu Bakar Assiddiq ini menyiratkan bahwa kekuasaan adalah wasilah untuk menerapkan syariat sebagai wujud ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah misi utama dari sebuah kekuasaan. 


Kepemimpinan (kekuasaan) dalam Islam memang ditujukan untuk melaksanakan syariah secara kafah. Kepemimpinan tanpa syariah tak akan menghantarkan pada kesejahteraan umat. Syariat tanpa kepemimpinan juga hanya akan jadi lembaran teori tanpa implementasi. Tidak akan terwujud Islam sebagai rahmat seluruh alam.


Ada satu hal yang perlu dicermati ketika seseorang ingin mengambil kepemimpinan dalam Islam. Bahwa, Islam memiliki pedoman terkait sebuah visi kepemimpinan. Visi itu mencakup paling tidak tiga hal sebagai berikut: pertama, visi melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâf al-hayâh al-islâmiyyah). Visi ini menggambarkan visi untuk kembali hidup di bawah naungan Islam. Hal ini akan terwujud dalam sebuah metode baku yaitu penerapan syariah Islam secara kafah dalam negara khilafah. Ketika Islam diterapkan oleh khilafah maka kehidupan berbasis tauhidullah dan tuntunan Alqur’an akan bisa diwujudkan dengan sempurna. Peradaban Islam akan tegak kembali. Kemuliaan Islam dan muslimin akan terwujud kembali.


Kedua, visi menyatukan kaum Muslim di atas asas akidah Islam. Islam begitu tegas mewajibkan agar umat Islam tidak boleh bercerai berai. Umat Islam harus bersatu berdasarkan akidah Islam yang diikat oleh satu kepemimpinan yaitu khilafah Islamiyah. Umat dilarang dipisahkan oleh dua atau lebih negara. Dan Islam melarang umat bersatu dengan ikatan-ikatan yang lain selain akidah Islam dengan simpul pemersatu yaitu khilafah.  Sebagaimana tercantum dalam Alquran, hadis, dan aqwal Ulama mutabar. Al-Hafizh al-Qurthubi, menegaskan bahwa Imam atau Khalifah itu menyatukan kalimat kaum Muslim. Ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2]: 30, ia menyatakan bahwa Khalifah ditaati dan didengar perintahnya untuk menyatukan kalimat kaum Muslim


Terakhir, visi menegakkan dakwah Islam demi meraih kembali predikat khairu ummah. Melakukan aktivitas dakwah adalah aktivitas kenabian yang harus diteruskan oleh umatnya. Rasulullah diutus untuk seluruh manusia secara universal. Hal itu termaktub dalam QS.Saba:28. Oleh karena itu, umat Islam harus berdakwah kepada seluruh umat manusia tanpa memperhatikan ras, bangsa, dan asal wilayah. 


Selain itu, ada hal yang perlu dipahami juga bahwa Allah Swt. dalam QS.Almaidah:110 berfirman bahwa umat Islam adalah umat terbaik. Umat terbaik disifati oleh ayat tersebut dengan senantiasa melakukan aktivitas menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan, kekufuran merupakan kemungkaran yang terbesar. 


Inilah hal-hal yang harus terwujud dalam diri seseorang ketika ingin mengambil amanah kekuasaan. Agar kekuasaan bisa diraih dan digunakan sesuai dengan khiththoh-nya. Dan, agar kekuasaan tidak berbuah penyesalan. 

_______________


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/

Website : www.muslimahjakarta.com

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial

Posting Komentar

0 Komentar