Oleh Annisa Al Munawwarah
Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi
#Analisa - Sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja, Indonesia semakin gaduh, menambah ketidakpastian keadaan yang sudah ada. Terkhusus, bagi para buruh dan pekerja Indonesia, Perpu ini bagai kado getir untuk tahun baru 2023. Pasalnya, Perpu ini adalah pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Gelombang penolakan atas Perpu ini sangat deras dilakukan. Para cendekiawan, akademisi, tokoh-tokoh, dan para ahli hukum dan tata negara. Aliansi Aksi Sejuta Buruh pun akan melakukan unjuk rasa besar dalam waktu dekat oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (bisnis.tempo.co, 11/1/2023).
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bahkan menyebut langkah Presiden Joko Widodo mengesahkan Perpu Cipta Kerja sebagai langkah sewenang-wenang yang meniadakan konsep check and balances. Padahal ciri demokrasi yakni membagi kekuasaan menjadi tiga bagian (nasional.tempo.com, 12/1/2023).
Feri Amsari, akademisi dan direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas juga menilai bahwa Perpu Cipta Kerja hanya akan menguntungkan para investor. Tingginya gelombang penolakan, akankah digubris pemerintah? Nyatanya hingga hari ini, tidak ada kejelasan bahwa Perpu tersebut akan ditolak DPR RI atau pihak lainnya. Tindakan pemerintah ini sesungguhnya menggambarkan kemesraan sistem ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi dalam memuluskan kepentingan para oligarki.
Terdapat setidaknya tiga bukti kuat bahwa Perpu Cipta Kerja adalah pesanan oligarki kapitalis, yakni sebagai berikut:
Pertama, aturan yang terbaru ini memberatkan kerja buruh dan ketentraman hatinya. Sebab aturan-aturan yang dituangkan dalam Perpu tersebut banyak menimbulkan ketidakpastian. Misalnya, aturan baru penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada Perpu Cipta Kerja pasal 88D ayat 2 dilihat dari tiga komponen, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Namun belum ada keterangan lebih lanjut mengenai indeks tertentu yang dimaksud.
Selain itu, aturan baru tentang tenaga kerja alih daya atau outsourching pada Perpu Cipta Kerja ini juga tidak dibatasi pada sektor apa saja. Sedangkan pada UU Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan lima sektor yang diperbolehkan adanya outsourching, yakni bidang pembersihan, keamanan, transportasi, katering, dan jasa minyak dan pertambangan. Presiden Konferensi Serikat Pekerja Said Iqbal tegas menyebut outsourching model ini sebagai model perbudakan modern.
Adapun dari sisi jam kerja, tertuang dalam Pasal 79 ayat 2 bahwa istirahat 1 hari untuk 6 hari kerja dalam sepekan. Hal ini berbeda dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan 2 hari kerja dalam sepekan.
Melalui Menteri Perekonomian Airlangga Hartanto, langkah pemerintah ini diklaim memberikan rasa keadilan dari kondisi perekonomian yang bervariasi di tiap daerah, memberikan kepastian dan memastikan kesejahteraan pekerja. Benarkah demikian? Padahal aturan-aturan di atas menunjukkan bahwa para buruh Indonesia semakin ditekan. Gaji para buruh semakin tidak pasti, sementara beban kerja semakin berat.
Kedua, bukti bahwa Perpu Cipta Kerja adalah pesanan oligarki kapitalis dapat dilihat dari alasan munculnya Perpu itu sendiri, yakni dorongan investasi. Investasi besar-besaran yang diklaim dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja adalah pepesan kosong. Sebab, investor yang datang tidak banyak masuk ke sektor industri primer dan sekunder yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan bahwa aliran modal asing cenderung banyak mengalir ke sektor tersier yang tidak signifikan menimbulkan multiplier effect atau rembetan penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, kuartal 1 2022 hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 319.013, kuarta 2 sebanyak 320.534, dan kuarta 3 sebanyak 325.575 (cnbcindonesia.com, 30/12/2022).
Artinya, peredaran kapital akan lebih banyak mengalir kepada para pemilik modal semata. Sementara rakyat hanya dijadikan argumentasi pelegalan hadirnya investor itu.
Kritik keras yang dilayangkan oleh Bivitri Susanti, seorang ahli hukum tata negara yang menuding Perpu Cipta Kerja sebagai cara culas pemerintah untuk mengakali aturan main pemerintah sendiri merupakan statement yang tepat dalam hal ini.
Ketiga, kegiatan perekonomian berupa produksi sektor primer pengolahan batu bara justru sangat longgar. Perpu Cipta Kerja menggelar karpet merah bagi para taipan batu bara dengan memberikan kebebasan iuran produksi atau royalti batu bara sebesar 0% (nol persen). Hal ini tertuang dalam pasal 128A Perpu Cipta Kerja. Meski diberi syarat harus melakukan hilirisasi untuk menghasilkan multiplier effect, namun pada dasarnya keuntungan terbesar ada pada para pemilik modal yang dengan modalnya itu dapat mengeruk kekayaan alam dalam jumlah yang tak terbatas.
Demi oligarkhi, semua dilakukan dan dilegalkan. Munculnya Perpu Cipta Kerja, meski bertentangan dengan konstitusi yang ada, tetap dikebut, disahkan, dan dicari dalih pelegalannya. Padahal, Perpu hanya dapat dikeluarkan saat ada kondisi kegentingan yang memaksa dan mendesak. Hal ini tertuang pada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yang secara umum memberikan standardisasi ihwal kegentingan yang memaksa (radarjember.jawapos.com, 12 Januari 2023).
Demikianlah wajah asli pemerintahan yang menerapkan sistem ideologi kapitalisme. Politik demokrasi akan menjadi jalan terciptanya iklim kondusif bagi para kapitalis untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, demokrasi hidup karena adanya kapitalisme. Bagaikan dua sisi mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kapitalisme hampir pasti merupakan prasyarat bagi demokrasi, seperti dikemukakan Milton Fiedman. Demokrasi juga membutuhkan pusat-pusat kekuatan ekonomi swasta yang independen dari otoritas pusat. Jika tidak, orang tidak dapat menyimpang dari ortodoksi resmi dan juga memberi makan keluarga mereka. Karena itu, keduanya harus bergandengan bersama.
Namun perlu dipahami bahwa kebersamaan sistem ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi hanyalah menyengsarakan bangsa. Dalam buku berjudul Supercapitalism, Robert B. Reich mengemukakan bahwa pada dekade-dekade pertama abad ke-20, kaptalisme tampaknya menuju kemenangan yang menakjubkan. Tetapi konsekuensi sosialnya—kemelaratan perkotaan, upah yang sangat sedikit dan jam kerja yang panjang bagi para pekerja pabrik, pekerja anak, melebarnya ketidaksetaraan, kemunduran atau pengabaian kota-kota kecil—menyesatkan banyak orang. Demokrasi tampaknya tidak mampu merespon hal ini.
Lantas, apakah Indonesia harus mengikuti jejak langkah negeri-negeri kapitalis di atas? Tentu rakyat Indonesia tidak ingin seujung kuku pun melangkah menuju jurang kesesatan tersebut. Karena itu, bukan hanya Perpu Cipta Kerja yang harus ditolak, namun sistem yang melahirkan aturan menyengsarakan ini pun harus dibuang. Sebaliknya, ganti aturan yang lahir dari Islam yang dapat menentramkan para pekerja dan buruh.
Dalam Islam, yang berhak menetapkan hukum di tengah masyarakat adalah Allah ﷻ. Sebab Allah ﷻ saja satu-satunya Sang Pembuat Hukum bagi manusia. Adapun sistem demokrasi kapitalisme menetapkan hukum di tangan manusia. Maka akan terjadi perbedaan, pertentangan, adu kepentingan di antara para pembuat hukum tersebut. Karena itu, meletakkan demokrasi kapitalisme dalam ranah pembuatan hukum adalah kesalahan.
Allah ﷻ sendiri telah mengingatkan dan memperingati agar manusia hanya berhukum secara totalitas kepada-Nya. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian" (Surat Al-Baqarah ayat 208).
Dalam Islam, Investasi tidak akan dianggap sebagai tempat bergantungnya perekonomian rakyat. Pemerintah sendiri yang akan aktif membuka banyak lapangan perkerjaan yang akan menyerap tenaga kerja dalam negeri. Negara dapat menjadikan harta milik umum dari baitul Maal sebagai modal usaha, yang secara penuh hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat.
Negara Islam tidak akan mengambil modal dari individu atau swasta, apalagi meminta bantuan dari negeri-negeri asing dengan persyaratan yang mencekik. Maka dalam sistem pemerintahan Islam, tidak diperlukan penerapan modal-modal asing yang akan menyengsarakan itu.
Islam juga memiliki fikih muamalah yang dapat menjadi panduan dalam bertransaksi di tengah masyarakat. Dengan penerapan fikih mualamah tersebut, maka dibuat perjanjian-perjanjian antara majikan dan buruh, pekerja dengan yang mempekerjakan. Setiap perusahaan akan mendapatkan kepastian hukum, begitu juga dengan para pribadinya. Sebab akan diterapkan hukum yang adil sesuai dengan syariah.
Demikian gambaran sistem Islam. Bagaikan oase di tengah padang pasir, namun ia menjadi penawar bagi siapa saja yang memiliki tekad kuat untuk terlepas dari segala kezaliman penguasa dan kebijakannya yang menyengsarakan, wallahu a’lam bishawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar