Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#wacana- Peran pemuda senantiasa dikaitkan dengan kemajuan suatu bangsa. Tidak diragukan lagi bahwa peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat signifikan di setiap generasi, mengingat pemudalah yang ke depannya akan menjadi pemimpin bangsa masa depan. Karena sesungguhnya pemuda adalah tonggak kemajuan dan pembangunan bangsa, yang menjadi komponen penting dalam pergerakan perubahan arah hidup bangsa. Hal ini tidak lain dikarenakan generasi muda memiliki fisik yang kuat, pengetahuan yang baru, inovatif dan juga memiliki tingkat kreatifitas yang tinggi.
Dengan peran pemuda yang begitu krusial bagi kehidupan setiap bangsa, tidak mengherankan jika pada akhirnya setiap negara di dunia termasuk Indonesia memiliki target serta visi misi dalam pembangunan kepemudaan. Bahkan di dalam UU No.40 tahun 2009 tentang kepemudaan disebutkan dengan jelas bahwa “Pembangunan kepemudaan bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam kerangka NKRI”. Maka berdasarkan tujuan pembangunan kepemudaan di atas, pemuda macam apa yang sebetulnya ingin dibentuk di negeri ini?
Jika kita mengupas setiap karakteristik yang tertuang dalam UU kepemudaan, tampak jelas bahwa yang dijadikan standar utama pemuda “ideal” adalah pemuda yang beriman dan bertakwa disertai dengan akhlak mulia. Yang artinya, negara “berkomitmen” baik melalui kebijakan-kebijakannya maupun sistem bernegaranya untuk menjadikan kaum muda Indonesia dekat dengan Sang Pencipta yang tercermin dengan perilaku akhlak yang mulia. Namun sayang, komitmen semacam ini hanyalah omong kosong belaka. Bagaimana tidak? Negara Indonesia yang katanya agamis dan memiliki populasi muslim terbesar di dunia, nyatanya sama sekali tidak ramah dengan Islam.
Hal ini tercermin jelas dari berbagai kebijakan rezim yang secara jelas menganaktirikan Islam dan kaum muslim. Sebut saja Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan awal Desember lalu menjadi “alat gebuk” pamungkas rezim untuk memberangus syiar Islam dalam perjuangannya menerapkan Islam kafah dan penegakan Khilafah. Dimana dalam pasal 188 misalnya disebutkan adanya hukuman pidana maksimal 4 (empat) tahun penjara bagi siapa saja yang menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme ataupun “paham lain” yang dianggap bermaksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara.
Sedangkan sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini dakwah Islam kafah melalui penegakan institusi Khilafah selalu digambarkan oleh rezim sebagai aktivitas anti-Pancasila. Bahkan tidak jarang aktivitas perjuangan Islam yang banyak diantaranya digerakkan oleh para pemuda Islam kemudian diidentikkan dengan aksi radikalisme dan terorisme. Maka tidak mengherankan pula jika pada akhirnya gerakan masif penyebaran narasi moderasi beragama, yang secara nyata menyesatkan dan mendangkalkan akidah umat, diprioritaskan menyasar kepada generasi muda di tanah air.
Tidak hanya dari sisi hukum positif Indonesia, sistem pendidikan negeri ini pun tak kalah berperan dalam menghancurkan generasi muslim Indonesia. Kurikulum pendidikan sekular yang berasaskan liberalisme-kapitalisme negeri ini justru kian menjauhkan peran agama dalam kehidupan yang bukannya mencetak generasi beriman dan bertakwa, tetapi malah fokus pada perkawinan dunia usaha dan industri dengan dunia pendidikan. Sistem pendidikan yang ada disibukkan dengan pengisian kekosongan kursi untuk kebutuhan industri, yang menjadikan potensi intelektual pemuda hanya mengarah pada pemenuhan syahwat industri korporasi.
Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya tujuan pembangunan kepemudaan beralih fokus hanya untuk membangun insan yang “berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan” (sebagaimana tertera pula dalam UU No.40/2009), tanpa memerdulikan aspek “iman dan takwa”. Hal ini tampak jelas dari betapa gencarnya kebijakan perekonomian rezim yang banyak menyasar kawula muda misalnya melalui Strategi Nasional Kewirausahaan Pemuda (Stranas KwP) ataupun dari banyaknya skema bantuan permodalan bagi wirausahawan muda yang sebetulnya bertujuan menggenjot roda perekonomian yang tengah lesu akibat terpaan pandemi COVID-19.
Dengan hilangnya fokus pemimpin negeri ini dalam mencetak generasi unggul yang berasaskan agama (Islam) yang hanya mementingkan ketersediaan tenaga kerja muda, tidaklah mengherankan jika kemudian para pemuda justru banyak menjadi aktor utama meningkat tajamnya angka kriminalitas di negeri ini. Sebut saja kasus begal, tawuran, pemerkosaan hingga pembunuhan yang baik pelaku maupun korban banyak berasal dari kaum pemuda. Tidak hanya itu kasus amoral di kalangan remaja pun kian tak terbendung seperti kehidupan seks bebas, narkoba, pornoaksi dan pornografi, hingga menjadi korban HIV/AIDS ataupun pelaku L98TQ+. Semua kerusakan remaja negeri ini pada akhirnya berawal dari sistem kehidupan merusak sekular-kapitalis-liberal yang diberlakukan di bumi Nusantara. Maka masih mungkinkah Indonesia mencetak generasi yang “beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia” sebagaimana tertuang dalam perundang-undangan, jika gaya hidup sekular-kapitalis-liberal masih dipertahankan?
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar