Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Ratusan Kepala Desa (Kades) se-Kabupaten Ponorogo, melurug kantor Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada Senin (16/01) lalu. Para Kades tersebut bermaksud untuk menuntut preodisadi jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Aksi tersebut kemudian berbuntut panjang dengan adanya demonstrasi lanjutan yang dilakukan pihak-pihak yang tergabung dalam PAPDESI (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) guna menyuarakan hal yang serupa keesokan harinya di depan Gedung Dewan.
Menanggapi hal tersebut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyebutkan usulan satu periode kepala desa sah-sah saja bertambah menjadi 9 tahun, dengan catatan maksimal masa jabatan periode kepala desa dibatasi hingga dua periode. Sebagaimana tertuang dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dalam pasal 39 bahwa masa jabatan Kades adalah 6 tahun dengan periode jabatan maksimal 3 kali baik berturut-turut maupun tidak. Artinya tiap-tiap Kades maksimal dapat menjabat hingga 18 tahun lamanya. Dengan demikian sebagai jalan tengah, Abdul Halim menilai masa jabatan bisa dinaikkan menjadi 9 tahun dengan maksimal 2 periode, yang berarti total masa jabatan tetap berada di angka 18 tahun.
Namun Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) tidak sepakat dengan pertimbangan Mendes PDTT. Wakil Ketua Umum Apdesi, Sunan Bukhari, menilai ketentuan tersebut tidak menguntungkan kepala desa yang sudah memasuki periode kedua masa jabatannya karena tidak bisa mencalonkan lagi. Lebih lanjut Apdesi mengusulkan agar masa jabatan kades diubah menjadi 9 tahun dan dapat diemban selama 3 periode seperti halnya saat ini, sehingga setiap Kades bisa menjabat selama maksimal 27 tahun.
Mereka yang mendukung penambahan masa jabatan Kades menjadi 9 tahun menilai bahwa masa jabatan 6 tahun tidaklah cukup untuk membangun desa secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Pasalnya pasca Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) nyaris merata terjadi konflik polarisasi di seluruh desa. Konflik tersebut tidak jarang berlarut-larut hingga berdampak pada tersendatnya pembangunan desa dan terbengkalainya beragam aktivitas desa. Oleh karenanya penambahan masa jabatan 3 tahun lamanya dinilai akan mampu meredam ketegangan politik pasca Pilkades.
Selain itu masa jabatan 6 tahun dinilai hanya efektif membangun desa selama 2 tahun. Pasalnya 4 tahun masa jabatan lainnya, yakni 2 tahun di awal dan di akhir masa jabatan, banyak terpakai untuk urusan pemilihan Kades dan penyelesaian konflik di lingkungan desa. Konflik pasca Pilkades mayoritas dipenuhi dengan persaingan tidak sehat yang banyak melibatkan status sosial masyarakat, nama baik keluarga besar, gengsi sosial hingga sentimen kekerabatan.
Namun tuntutan Kades tersebut ternyata tidak sedikit mendapat penolakan bahkan dari jajaran perangkat desa itu sendiri. Pada Rabu (25/01) ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI) berdemonstrasi di depan Gedung DPR/MPR guna menolak perpanjangan masa jabatan Kades karena dianggap merugikan perangkat desa yang masih berusia muda. Penolakan serupa juga digaungkan Kades Desa Letbaun, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Carlens Horison Bising, yang menganggap tuntutan penambahan masa jabatan Kades adalah bentuk kerakusan para Kepala Desa yang hanya akan berakibat pada kesengsaraan rakyat. Di sisi lain beberapa pakar hukum menilai tuntutan tersebut dapat merugikan regenerasi kepemimpinan dan membahayakan upaya pembatasan kekuasaan untuk mencegah absolutisme atau tindakan kesewenang-wenangan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah desa di alam demokrasi semacam ini mempunyai banyak problematika, salah satunya adalah perebutan kekuasaan yang cenderung alot dan berkepanjangan hingga melibatkan konflik internal di lingkungan pemerintahan desa. Hal ini karena memang di alam demokrasi, kursi atau jabatan sudah layaknya piala yang terus-menerus diributkan menjelang masa pemilihan. Bahkan tak jarang segala macam cara dihalalkan yang celakanya justru mengorbankan kepentingan rakyat. Pada akhirnya wajar jika kemudian konflik berkepanjangan pasca Pilkades merembet pada terbengkalainya proyek-proyek desa yang ditujukan untuk pembangunan wilayah pedesaan.
Belum lagi problematika level pemerintah desa terkait dengan tata kelola keuangan. Dana desa yang menyedot anggaran negara dalam jumlah fantastis nyatanya tidak diikuti dengan sistem pengelolaan dan pengawasan yang transparan dan akuntabel. Dengan minimnya pengawasan, penyalahgunaan dana besar oleh oknum Kades seringkali menjadi zona permainan penegakan hukum di level grassroots. Akibatnya, alokasi dana desa yang begitu besar tidak diikuti oleh inovasi kebijakan pembangunan yang signifikan di satuan pemerintahan desa karena sudah mengguritanya sel-sel korupsi yang menjalar hingga perangkat desa.
Dalam hal ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mencatat ada lebih dari 601 kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa sepanjang 2012-2021 dan menjerat sedikitnya 686 kepala desa. Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat, jumlah korupsi di sektor anggaran dana desa terus meningkat sejak tahun 2015 sejak program Dana Desa (DD) dimulai. Bahkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan aparatur desa lebih berperilaku koruptif daripada aparatur kota karena kurangnya kontrol dari pemerintah pusat (bbc.com, 25/01/2023).
Padahal kucuran Dana Desa dari tahun 2015 hingga tahun 2022 nilainya mencapai Rp 468,9 triliun. Sementara pada tahun 2023 Pagu Anggaran Dana Desa adalah Rp 70 triliun yang akan dialokasikan kepada 74.854 desa di 34 kabupaten/kota. Ironisnya angka fantastis kucuran Dana Desa nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat desa. Hal ini terlihat dari angka masyarakat miskin pada 2020 yang mencapai 13.2%, tahun 2021 sebesar 12.59% dan tahun 2022 di angka 12.2%. Angka kemiskinan tersebut jauh di bawah target nasional yakni 8.5-9% (hukumonline.com, 24/01/2023).
Dari sini kita melihat betapa buruknya tata kelola pemerintahan desa yang menyuburkan tindak pidana korupsi di level grassroots. Maka sulit dibayangkan apa jadinya jika masa jabatan Kades yang semula 6 tahun kemudian diperpanjang menjadi 9 tahun lamanya. Tentulah praktek korupsi akan kian merajalela dan kian pula menjauhkan kesejahteraan masyarakat desa.
Di sisi lain mencuatnya fenomena ini di waktu menjelang tahun politik pada 2024 mendatang, menjadikan isu tersebut sarat dengan transaksi politik yang menguntungkan bagi elit politik daerah dan nasional. Apalagi beberapa parpol seperti PDIP dan PKB memberi restu yang terbilang “mudah” dalam memuluskan usulan perpanjangan masa jabatan 9 tahun Kades, membuat banyak pihak menilai tuntutan Kades tersebut adalah “proyek sponsorship” yang secara langsung menguntungkan bagi pihak-pihak yang hendak maju dalam pesta demokrasi 2024 kelak.
Karena memang sudah menjadi hukum alam para elit politik daerah dan nasional membutuhkan dukungan Kades dan kalangan grassroots menjelang Pemilu. Apalagi kini Kades memiliki akses terhadap sumber keuangan desa yang berasal dari pemerintah pusat, dimana dana ini bisa digerakkan untuk mendukung kandidat tertentu dalam Pemilu 2024. Hal ini bahkan diperkuat dengan adanya dugaan ancaman yang dilayangkan oleh beberapa oknum Kades untuk menenggelamkan parpol yang tidak mendukung tuntutan penambahan masa jabatan menjadi 9 tahun.
Maka jelas sudah bahwa usulan Kades memperpanjang masa jabatan 9 tahun tidak lain adalah untuk mengukuhkan oligarki kekuasaan baik pada level pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Dimana tujuan utama “pemaksaan” usulan para Kades bukanlah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat desa, melainkan untuk melanggengkan tampuk kekuasaan dan jaringan oligarki yang sudah ada ataupun akan dirajut pada pesta demokrasi 2024. Lebih jauh, tuntutan Kades yang mengada-ada tersebut kian membuka lebar peluang para penguasa desa untuk memperkaya diri dengan jalan korupsi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar